[1] Sindrom Piksel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam, semua. Bertemu lagi dengan Kaga Kukila, seekor pungguk setengah manusia yang jadi Vcaster karena tak sanggup menggapai bulan. Tentunya, stream ini takkan ada tanpa dukungan dari sponsor kita yang istimewa, Mirat. Ah, Mirat. Membuat malam semakin nikmat dengan wajah yang memikat.

Saat membuka pintu, Jon Marlo mendapati wajah Elita berubah menjadi kepingan puzzle.

"Kak ... aku harus gimana?" rintih sang adik. Petak demi petak kulit gadis itu menjelma menjadi kotak-kotak asimetris bak sensor mosaik di tayangan korban mutilasi. Mata kanan berpindah ke pipi, mata kiri bergeser ke jidat, sementara mulut dan hidung saling bertukar tempat.

Kecantikan yang jadi sumber penghasilan Elita sejak masih SMA, seketika pecah berkeping-keping seperti gim hiperrealistis yang dipaksa berputar di komputer kentang. Penampilannya berubah di tengah streaming. Livechat mengalir deras di sisi kanan monitor dan rata-rata menampakkan stiker syok. Ada pula yang skeptis dan mengira ia hanya pura-pura.

Alarm dari seluruh media sosial Elita tak kunjung berhenti berdenging, hingga Jon mengakhiri stream dan memanggil ambulans.

***

Terlalu banyak cahaya di Metro Lumina. Dari gedung tinggi hingga lampu jalan, dari pejalan kaki hingga iklan berjalan, semua punya cahaya sendiri-sendiri hingga tak seorang pun sadar akan kehadiran purnama. Orang-orang terlalu disibukkan oleh gadget-gadget di tangan; oleh realitas semu, obsesi, dan kecemasan. Tak terkecuali Jon. Meski matanya lurus menghadap sang rembulan, pikirannya mondar-mandir membayangkan kondisi sang adik dan uang yang harus ia keluarkan.

Seorang dokter muda keluar usai memeriksa Elita. Nama Jon dipanggil.

Mereka memasuki ruangan yang berbeda. Lalu dengan muka pucat, sang dokter menjelaskan hasil pemeriksaan.

"Sindrom Piksel."

Jon paham maksud sang dokter. Itu sindrom dengan gejala khas seperti yang adiknya alami. Penyakit yang akhir-akhir ini menjangkiti orang-orang yang terobsesi dengan tampan dan cantik, atau mereka yang bekerja di sektor dengan kriteria penampilan menarik. Penyakit yang tak memandang status. Mau dia artis, streamer, atau pelacur.

Penyakit ini sering dikaitkan dengan penyalahgunaan Mirat—losion kulit artifisial yang memungkinkan pengguna memanipulasi bentuk, warna, dan tekstur kulit sesuai yang ia mau. Semacam filter wajah, tetapi hasil editannya bukan sekadar foto dan video. Beberapa menganggap Mirat sebagai operasi plastik portable. Lebih cepat, lebih praktis, dan mudah dimodifikasi lewat aplikasi filter yang bersinergi dengan nanoorganisme penyusun Mirat. Hasilnya sementara, tapi sepadan.

Akan tetapi, kenyataan seringkali tak seindah iklan.

"Dari mana adik Anda mendapat Mirat?" tanya sang dokter. Namanya Sakti.

"Huh? Dari penjualnya, lah. Siapa lagi?" jawab Jon sok tahu.

"Tolong jawab dengan serius." Dokter Sakti menatap tajam. "Karena banyak penyalahgunaan, per 1 Januari 2x32, penggunaan Mirat secara rekreasional dilarang. Saat ini, Mirat hanya bisa diakses melalui rekomendasi dokter untuk pasien-pasien dengan kondisi tertentu."

Jadi dia menuduh Elita mendapat Mirat secara ilegal? batin Jon. Ia sendiri tak begitu paham yang adiknya lakukan selain menjadi streamer yang jarang keluar apartemen. Setelah seminggu mengembara sebagai kurir ekspedisi, ia baru mengunjungi Elita tadi siang.

"Tidak ada catatan bahwa saudari Elita pernah mendapat rekomendasi dokter. Jadi—"

"Saya mengerti, Dok," potong Jon. "Lalu apa yang harus saya lakukan? Apa Elita bakal berurusan dengan hukum? Apa dia bakal dipenjara?"

Dokter Sakti mengembuskan napas. "Saya tidak punya wewenang soal itu. Tapi berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, pasien sindrom piksel perlu melalui rehabilitasi dan karantina untuk mencegah mutasi dan penularan yang lebih parah."

"A-Apa tidak ada cara lain?"

"Seandainya adik Anda mendapat Mirat secara legal, kondisi saat ini bisa dikategorikan sebagai malpraktik dan Anda bisa mengklaim ganti rugi. Kami pun bisa melakukan operasi restrukturisasi gratis—meski itu juga bukan jaminan," terang sang dokter.

"Berapa biaya operasinya?"

"Tergantung tingkat keparahan, biaya operasi bisa mencapai seratus juta rye."

Jon menelan ludah. Ia belum pernah melihat uang sebanyak itu, bahkan ketika Elita masih jaya sebagai penyanyi dan VStreamer korporat. Hanya konglomerat atau artis papan atas yang bisa menanggungnya tanpa berdarah-darah. Sebagai kurir, butuh berapa kali bolak-balik antar distrik untuk mencapai jumlah itu?

"Kondisi pikselisasi di kulit saudari Elita sudah sangat parah. Beruntung belum bermutasi dan menyerang organ dalam," lanjut Dokter Sakti. "Berdasarkan hasil lab, ini disebabkan oleh Mirat yang sudah dicampur zat adiktif—untuk membuatnya jauh lebih murah. Mirat murni yang legal berkisar satu juta rye per 100 ml, dan harganya bisa berkali-kali lipat di pasar gelap. Namun, Mirat campuran bahkan ada yang tak sampai lima ratus ribu."

"Tunggu, zat adiktif?"

"Dalam kasus ini, kokain," balas sang dokter. "Itu juga yang paling umum dipakai. Pencampuran kokain membuat nanoorganisme Mirat bekerja lebih keras dan agresif daripada Mirat murni. Bahkan campuran 10% Mirat dan 90% kokain punya kinerja setara dengan Mirat murni dalam jangka waktu satu jam. Namun, risiko mutasi dan ketergantungan juga jauh lebih tinggi."

Mustahil, pikir Jon. Ia masih menerima ketika Dokter Sakti bilang adiknya memakai Mirat ilegal, tapi ... kokain?

"Dok, pasti ada kesalahan—"

"Karena itu saya tadi tanya, dari mana adik Anda mendapat Mirat?"

***

Jon duduk berhadapan dengan Elita, terpisahkan oleh layar hologram di ruang jenguk virtual—tempat berinteraksi dengan pasien penyakit menular. Adiknya tak benar-benar ada di depan; gadis itu berada di ruang karantina sementara. Satu jam lagi, Elita akan diberangkatkan ke Pikselatorium Distrik 26, seratus kilometer dari Metro Lumina.

Sebagai kurir yang sering berpindah dari distrik ke distrik, Jon sering mendengar reputasi tentang pikselatorium. Alih-alih rehabilitasi, itu lebih mirip tempat pengasingan bagi penderita Sindrom Piksel yang tak mampu membayar operasi.

Belum ada obat yang murah dan mujarab untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Petugas-petugas di pikselatorium kebanyakan adalah psikolog dan psikiater untuk membantu pasien menerima kenyataan.

Piksel-piksel di kulit Elita makin banyak. Sebelum ke rumah sakit, Jon masih bisa melihat bentuk mata, hidung, dan mulut. Kini wajahnya semakin blur seperti foto yang diperbesar seratus kali dengan kamera murahan. Bila Elita bergerak, terkadang gerakannya patah-patah. Lalu muncul beberapa garis horisontal yang berjalan dari atas ke bawah bak siaran statis yang lambat laun kehilangan kontak.

Jon tak tahu apa yang terjadi setelah penyakit itu melalui stadium akhir. Gosipnya, pasien bakal hilang, lenyap tak berbekas. Hal ini diperkuat dengan kabar bahwa banyak pasien di pikselatorium yang dinyatakan meninggal, tetapi jasadnya tak pernah diberitakan.

Rumor lain mengatakan bahwa itu cuma akal-akalan pemerintah. Pasien-pasien itu memang sengaja "dihilangkan" untuk menutupi aib Kekaisaran Malaraya. Apalagi Mirat adalah salah satu produk andalan negeri ini.

Jon sudah banyak kehilangan teman dan anggota keluarga di Perang Perbatasan. Ia tak mau kehilangan adik satu-satunya.

"Kenapa Kakak cuma diam dari tadi?" tanya Elita. "Takut?"

Jon bergeming.

"Heh. Siapa juga yang enggak takut lihat mukaku sekarang." Elita membalas pertanyaannya sendiri. "Aku udah jadi monster."

"Eli," panggil Jon. "Sejak kapan kamu pakai Mirat palsu?"

"Entahlah. Sebulan? Tiga bulan? Setahun? Apa itu penting?"

"Kenapa? Tanpa Mirat pun, kamu sudah cantik."

"Cantik?" Elita tertawa penuh ironi. "Menurut Kakak, aku cantik tanpa make up? Nggak ada satu pun kosmetik yang bisa bikin aku bersaing sama streamer-streamer lain, kecuali Mirat. Itu belum termasuk VStreamer."

"Penampilan bukan segalanya. Banyak kok artis yang sukses bermodal—"

"Apa? Kepribadian? Omong kosong."

"Bakat. Bukannya kamu pernah jadi penyanyi cilik? Waktu jadi VStreamer di Virtulens, kamu juga sering cover lagu, 'kan? Kenapa nggak dilanjut?"

"Menurut Kakak, aku belum pernah nyoba semuanya? Tapi lihat yang orang-orang bilang. One hit wonder lah, one trick pony lah. Sementara mereka yang cuma jual tampang dan bodi bisa untung berkali-kali lipat."

"Kamu nggak perlu dengar omongan mereka."

"Terus aku harus dengar omongan Kakak? Emang Kakak bisa bikin channel-ku populer lagi? Pulang aja jarang. Kapan Kakak punya waktu buat adiknya sendiri?"

Jon tak menjawab.

"Mending sekalian jadi mutan kayak gini. Paling nggak aku nggak perlu khawatir setiap kali kosmetikku luntur dan warna kulit asliku kelihatan."

"Apa salahnya? Selama bekerja di Metro Lumina, nggak ada yang bilang apa-apa soal kulitku. Beberapa rekanku juga berkulit merah seperti kita."

"Itu karena Kakak cuma kurir," ujar Elita. "Coba pikir, kenapa enggak ada artis, seleb, atau orang-orang penting di Metro yang berkulit merah? Kakak juga veteran, 'kan? Kenapa Kakak cuma jadi kurir sementara teman-teman Kakak yang kulitnya lebih cerah jadi pegawai pemerintah?"

"Bagaimana kamu tahu—"

"Kakak mau tahu alasan sebenarnya aku keluar dari Virtulens? Pas kumpul bareng rekan-rekanku, tanpa sengaja make up-ku luntur. Terus tahu-tahu enggak ada yang mau ngobrol sama aku. Tahu-tahu grup chat yang biasanya ramai jadi sepi kalau ada aku. Tahu-tahu pas lagi streaming, chat-ku sama Kakak bocor, terus ada yang nyebar fitnah kalau aku punya hubungan terlarang sama cowok. Siapa yang bela? Enggak ada! Yang ada aku malah disuruh mengundurkan diri!"

Suara Elita makin pecah. Kali ini bukan karena pikselisasi.

"Oke, oke. Aku paham," kata Jon lembut. "Aku cuma mau tahu, siapa yang mendesakmu memakai Mirat murahan? Apa kamu diancam?"

"Aku beli online." Elita mengembuskan napas perlahan, menahan tangis. "Maaf, aku kepancing emosi. Aku yang mutusin buat pakai produk itu, aku juga yang harus menanggung akibatnya." Tangan hologramnya mencoba menggenggam tangan sang kakak. "Kakak nggak perlu khawatir. Kerja aja kayak bias—"

Layar hologram di depan Jon hilang. Menyisakan robot humanoid berkepala proyektor dan berbaju ala perawat. Robot itu berkata, "Maaf, waktu kunjungan sudah habis. Silakan meninggalkan ruangan. Terima kasih atas perhatiannya."

Jon terhenyak. Satu jam terasa begitu cepat dan ia bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Kemudian ia teringat. Ia merogoh ransel, mengeluarkan Dieseldeck—perangkat extended reality (XR); perpaduan antara augmented & virtual reality (AR & VR) yang menyerupai kacamata selam—atau singkatnya, D-deck.

Ia menyodorkan benda itu pada sang robot sambil berkata, "Ini milik Elita. Tolong berikan padanya."

***

[A/N] Welcome & welcome back! Setelah mendalami lebih jauh tema ini, banyak perubahan radikal terutama di premis dan penokohan dari versi Mirat yang lama. Hope y'all enjoy it.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro