[2] Rajawali Express

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yap, satu jam lagi menjelang pembukaan NeoFest—New Reality Festival—kesepuluh bersama saya, Kaga Kukila, yang akan menemani kalian di live reaction malam ini.

Kalian bisa beli tiketnya via situs resmi NeoFest, dan bagi yang tak bisa hadir ke Luminostation, jangan khawatir! Kalian bisa menikmati konser secara realistis lewat gadget yang kalian miliki, terutama yang mendukung teknologi AR dan VR seperti D-deck. Bagi yang belum punya, kalian juga masih bisa melihat video siaran langsung.

Jon duduk di salah satu kursi milik Ronde Bar-Bar, perusahaan waralaba minuman yang berafiliasi dengan jasa pengiriman Rajawali Express. Letaknya di salah satu sudut gedung, dekat pintu masuk.

Bar buka pukul 19.15, beberapa menit setelah kasir berhenti menerima paket baru dari pelanggan. Kendati demikian, gedung masih ramai dengan kurir-kurir ekspedisi yang tengah memilah-milah barang untuk diberangkatkan ke distrik lain, kurir yang baru tiba di Metro Lumina, atau kurir sprinter yang tengah beristirahat usai seharian mengitari kota.

Hari yang melelahkan bagi Jon. Dua ratus lima puluh paket telah ia kirimkan hari ini, padahal biasanya rata-rata cuma dapat seratusan. Ada event besar di Luminostation yang mengundang banyak artis—baik riil maupun virtual. Kebanyakan paket yang Jon kirim berupa aksesoris, kostum, maskot AR, lengkap dengan ciri khas dari tiap-tiap artis tersebut. Beberapa agak absurd seperti cincin kawin, buku nikah, dan surat cerai, tetapi Jon tak mau ambil pusing.

Ia mendapat sekitar 2000 rye per paket, sehingga total pendapatan kotor hari ini mencapai 500.000-an. Lumayan, pikirnya. Namun, itu masih jauh dari target.

"Aku sudah dengar tentang adikmu," ucap Markum—bartender berkulit hitam, tinggi, dan berkepala plontos. Suaranya bergaung. Ia memakai syal berbentuk tabung yang mengitari leher sebagai pita suara buatan. Yang asli rusak karena kanker.

"Elita Mursi, 'kan? Man, padahal aku suka lagu-lagunya," sahut Ido, kurir di samping Jon. Matanya bengkak satu dan dahinya dibalut perban. Rahang bawahnya diganti rahang dari titanium akibat sering kecelakaan. "Yang tabah, Jon. Semoga dia tenang di sisi-Nya."

"Adikku belum mati."

Markum melotot ke arah Ido.

Kalau mengirim paket secara normal, pikir Jon, Elita mungkin sudah "lenyap" duluan sebelum dana operasi terkumpul. Ia punya pilihan ekspedisi antardistrik, tetapi kalau dikurangi jarak, waktu, tenaga, dan ongkos bahan bakar, keuntungannya tak jauh berbeda. Ia juga bisa mencari pelanggan yang mau memberi tip cukup banyak. Namun, pelanggan semacam itu sangat langka.

"Jon, lihat deh," ujar Ido sembari menunjuk seorang gadis yang tidur sambil duduk di ujung lain bar. Lengan kanannya tertutup tato bunga berkelopak lima dan sulur-sulur tanaman. "Kemarin malam dia juga di sini. Minum-minum melulu sampai bar tutup."

"Dia minum pakai duitmu?" tanya Jon.

"Hah? Ya enggak."

"Ya terserah dia, lah. Hidup hidup dia."

"Sebelumnya, aku belum pernah lihat dia," balas Ido. "Dia jelas bukan kurir. Aku cukup kenal penduduk sini dan nggak ada yang mukanya mirip dia. Aku curiga dia stalker-ku."

Markum mendaratkan segelas bajigur di depan Ido keras-keras. Ido dan Jon pun kaget.

"Abaikan dia," kata Markum pada Jon. "Dia begini sejak main gim Pacar Psikoplo. Dia pikir setiap cewek yang dia temui ingin menangkap dan menyekapnya di ruang gelap."

"Ngawur, siapa juga yang mau sama cewek tak dikenal," sanggah Ido. "Istriku satu-satunya cuma Almira!"

Jon dan Markum saling pandang. Mereka mengangguk mafhum, berbelasungkawa atas wafatnya akal sehat Ido.

Almira Truvelu. Bagaimana mungkin Jon tak tahu sementara dinding gedung, papan reklame, media sosial, dan turis yang berlalu-lalang di jalanan depan kantor membicarakan dia. Salah satu VStreamer andalan Kriptoverz, perusahaan hiburan berbasis extended reality dengan gimik kriptozoologi.

Dalam video promosi, dikisahkan bahwa Almira, Putri Al-Mi'raj terakhir, adalah talenta Kriptoverz yang kesepuluh. Ia didatangkan dari Jazirah At-Tinnin (Pulau Naga) setelah mencapai kesepakatan dengan manajemen Kriptoverz bahwa mereka akan membantu perekonomian kerajaan Al-Mi'raj yang hancur akibat perang melawan ras naga.

Karakternya digambarkan sebagai humanoid bertelinga panjang layaknya kelinci dengan tanduk spiral mencuat di ubun-ubun bagai unicorn. Wajahnya tipikal gaya animesque dengan rambut hitam granit sebatas bahu. Pupil mata tegak lurus dan gigi bertaring seperti kucing, serta badan ramping dan kostum yang tak terlalu menonjolkan seksualitas—kontras dengan banyak seleb virtual.

"Dia itu talenta murni. Entertainer sejati," puji Ido. Sementara Jon dan Markum hanya mendiamkan. Kalau diladeni, obrolan ini takkan selesai sampai pagi.

Demi terus mendukung Almira, Ido sering mengambil ekspedisi kelas AA—ekspedisi pengiriman dengan risiko tertinggi di Rajawali Express. Upahnya memang tinggi, tapi taruhannya nyawa. Tak heran ia sering kembali dengan luka-luka dan patah tulang. Bukan cuma rahang, kedua kakinya juga kini berbahan logam.

Jon menyadari peluang tersebut. Kalau butuh uang cepat dari pekerjaan ini, Ido adalah orang yang tepat untuk konsultasi.

"Do," panggil Jon. "Apa yang perlu kusiapkan untuk mengambil ekspedisi kelas AA?"

"Oh? Akhirnya kau punya nyali," sindir Ido. "SIM, itu jelas. Lalu lisensi kepemilikan senjata api. Sisanya modal nekat dan keberuntungan."

Soal senjata api, Jon sudah mengantongi izin sejak diangkat sebagai tentara pelajar. Namun semenjak dibebastugaskan, ia tak pernah menembak sesuatu apalagi seseorang.

"Pikirkan dulu matang-matang," kata Markum. "Aku tahu kau butuh banyak uang untuk operasi Elita, tapi tak ada gunanya kalau kau mati konyol. Pihak Rajawali Express tak lagi menanggung asuransi untuk kurir kelas AA. Kau perlu mencari perusahaan asuransi sendiri agar usahamu tak sia-sia. Lagi pula, cuma robot atau orang yang suka cari mati seperti Ido yang mau mengambil misi itu."

"Well, aku tahu beberapa perusahaan langgananku yang mau menanggung biaya asuransi," timpal Ido. "Kalau beruntung, kau bahkan bisa dapat sepuluh juta rye."

Jon terperanjat. "Sepuluh juta?!"

"Heh, menurutmu bagaimana aku bisa menyewa kamar apartemen di dekat Luminostation?" Ido beranjak. "Kukirim detailnya lewat chat nanti. Aku pamit dulu."

"Kau mau ke mana?"

"Almira sebentar lagi tampil."

Ido pun berlalu. Jika ucapannya benar, cuma perlu sepuluh kali pengiriman untuk menebus biaya operasi Elita. Namun, Jon tak mau berharap terlalu tinggi.

Ia memindai kode QR menggunakan kamera D-deck yang terpasang di kepala untuk membayar segelas bir pletok. Ia bergegas pergi ke Stasiun Kereta Auto-Maglev Rapid Transit (AMARTA), mengejar jadwal keberangkatan menuju apartemennya di daerah Tanjung Timur.

***

Dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2X23 tentang Kendaraan Bermotor, pemerintah menghapus dan melarang semua kepemilikan kendaraan pribadi. Aturan ini diberlakukan demi mengurangi polusi dan kemacetan, serta mendorong masyarakat untuk terbiasa jalan kaki, bersepeda, atau memakai angkutan umum.

Hanya instansi pemerintah dan perusahaan tertentu yang boleh memiliki kendaraan dinas, seperti jasa pengiriman. Motor listrik yang sering Jon pakai juga milik Rajawali Express dan tak boleh dibawa pulang, sementara penginapan yang paling cocok untuk kantongnya berjarak 84 kilometer dari kantor.

Pukul 21.30. Tiga puluh menit sebelum kereta cepat menuju Tanjung Timur tiba. Jon menunggu di bangku stasiun sembari mengamati warna kulit pengunjung yang berlalu-lalang. Mayoritas berwarna cerah; antara putih, kuning, atau cokelat muda. Sisanya hijau, biru, ungu, atau bercorak mirip bulu binatang. Komunitas furry. Sebagian bahkan mengubah kepalanya seperti kucing, anjing, kelinci, atau macan.

Jon jadi teringat ucapan Elita. Tak seorang pun berkulit merah seperti dia.

Beberapa orang membawa petbot atau aksesoris yang hanya bisa dilihat dengan perangkat XR. Serigala berbulu domba. Hiu berkostum dinosaurus. Benda bergumpal di balik selimut rumah sakit dengan motif polkadot. Seekor luwak. Sarung tangan terbang. Makhluk berkepala printer dan rice cooker yang berdebat siapa yang paling robot. Makin lama Jon memakai D-deck, makin kabur batas antara realita dan skizofrenia.

Tanpa perangkat XR pun, orang-orang di sekitarnya sudah begitu ekspresif. Metro Lumina menjamin kebebasan berekspresi seluas-luasnya, selama mereka atraktif. Atraktif di sini berarti penampilan mereka sesuai standar, dan Metro Lumina adalah salah satu kota dengan standar kecantikan tertinggi di dunia.

Jon tak bisa mencapai standar itu, kecuali memakai Mirat. Kakinya kapalan, betisnya gempal dan kasar, sementara jari-jari tangannya jempol semua. Hidung, bibir, dan pipinya juga terlalu besar untuk disebut atraktif, kecuali ada yang butuh badut untuk ulang tahun balita. Ia dikaruniai badan yang besar dan kekar, tetapi harus rajin bergerak agar semua ototnya tak lenyap ditelan lemak.

Di samping itu, kulitnya merah. Bukan berarti kulit merah tak bisa jadi menawan, tetapi masih banyak penduduk Malaraya yang takut dengan orang berkulit merah. Ada mitos bahwa kulit merah adalah keturunan iblis. Lalu diperkuat dengan kemunculan Kaliyuga, kelompok teroris di Distrik 62 yang rata-rata berkulit merah.

Stigma itu memudar semenjak diketahui bahwa kelompok tersebut juga menyerang suku kulit merah yang menentang paham mereka, termasuk kampung halaman Jon dan Elita. Kelompok itu pun jadi alasan Jon mendaftar sebagai tentara pelajar. Ia turut menggempur Kaliyuga di perbatasan, sedangkan sang adik—beserta pengungsi kulit merah yang lain—dijamin keamanan dan pendidikannya oleh pemerintah hingga dewasa.

Meski begitu, diskriminasi masih tetap ada. Jon pun berkali-kali ditolak oleh beberapa perusahaan sebelum akhirnya diterima di Rajawali Express. Kebanyakan khawatir tampangnya menakuti pelanggan. Ia jadi membayangkan komentar macam apa yang sering diterima adiknya, apalagi gadis itu bekerja di sektor yang sangat memperhatikan penampilan. Padahal, terlepas dari warna kulit, seharusnya kecantikan Elita sudah sesuai standar.

"Sendirian?"

Terdengar suara rendah seorang perempuan dari samping Jon. Ia gadis yang tertidur di Ronde Bar-Bar-gadis dengan tato bunga yang menutupi separuh badan, dari pipi hingga kaki kanan. Rambutnya pendek, dengan semir biru di ujung-ujungnya. Ada perangkat XR berbentuk monokel di mata kanan, sementara tubuhnya mengenakan rompi hitam tak berlengan dan celana pendek denim di atas lutut.

Di antara semua manusia yang telah ia amati sejak tadi, baru kali ini Jon melihat orang kulit merah selain dia.

"Pendiam, eh? Atau cuma lagi banyak pikiran?" ucap sang gadis sambil mengisap rokok elektrik. "Kau Jon Marlo, 'kan? Kakak Elita Mursi?"

"Siapa?"

"Panggil aku Sara," balasnya. "Awalnya aku mau menemui Elita, tapi dia keburu dikarantina dan tak bisa dihubungi. Kau satu-satunya keluarga yang ia punya."

"Apa keperluanmu dengan Elita?"

"Aku cuma pengantar pesan," sahut Sara. "Aku turut berduka cita pada kondisi adikmu, tapi bosku butuh kejelasan soal pelunasan utang-utangnya."

"Utang? Utang apa?"

"Mirat."

"Jadi kau yang menjerumuskan Elita untuk menggunakan Mirat palsu itu?"

Sara terkekeh. "Palsu? Hanya karena itu campuran bukan berarti itu palsu. Kami cuma mengorbankan kualitas untuk memaksimalkan performa. Toh tak ada yang melarang adikmu membeli. Ada harga, ada kualitas."

Jon mengepalkan tangan. "Bagaimana kalau kurekam dan kulaporkan kalian ke polisi?"

"Silakan," tantang Sara. "Semoga kau bisa menang di pengadilan dan mendapat ganti rugi. Itu pun kalau adikmu tak jadi kambing hitam."

"Apa maksudmu?"

"Sekalipun aku disingkirkan, ada seribu orang yang bakal menggantikanku." Sara merogoh saku. "Tapi bersiaplah jadi target seluruh mitra bosku di pasar gelap. Adikmu juga terlibat, Jon. Jangan kira dia bisa lolos tanpa noda."

Jon tertegun.

"Bukankah konyol?" tanya Sara. "Pemerintah melarang penggunaan Mirat secara bebas, cuma karena beberapa oknum tak becus menangkap kriminal yang memakainya untuk memalsukan identitas. Kenapa orang tak bersalah juga kena? Apa salah mereka karena ingin cantik? Siapa juga yang menetapkan standar kecantikan yang terlalu tinggi? Di mana-mana kalau nggak cantik, nggak bisa dapat kerja.

"Dulu Mirat adalah solusi cepat dan murah, tapi sekarang harganya puluhan kali lipat. Sebagai kulit merah, seharusnya kau paham. Banyak kaum kita yang takut keluar di tempat umum tanpa Mirat. Kau juga mau menyalahkan mereka?"

Jon memperhatikan sekitar. Ia merasa mata orang-orang yang tadi sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, satu per satu menatap ke arahnya.

"Kalau masih mau cepu, silakan," lanjut Sara. "Asal kau tahu, musuhmu bukan cuma bosku, tapi juga orang-orang dari rasmu dan mereka yang ditindas gara-gara punya tampang jelek. Kau kira kenapa aku berani bicara begini? Sebab meskipun sesuatu terjadi padamu, orang-orang hanya akan menganggapnya kecelakaan."

Tatapan-tatapan sinis di sekeliling Jon semakin banyak. Berapa banyak dari mereka yang bersekongkol dengan Sara atau jadi pelanggannya di pasar gelap? Atau ia hanya paranoid dengan ucapan gadis itu?

"Waktuku terbatas," ucap Sara. "Toh sejak awal ini urusan adikmu. Kau tak harus membantunya, dan kami takkan mengganggumu lagi selama kau juga tak mengusik kami."

"Berapa utang Elita?"

"Dia sudah bayar sebagian, tapi masih sisa 25 juta rye."

Jon menelan ludah. "Apa yang terjadi jika dia gagal bayar?"

"Pernah dengar cerita pasien Sindrom Piksel yang hilang misterius?"

"Apa itu ulah kalian?"

"Entahlah. Aku cuma pengantar pesan."

Kereta yang Jon tunggu-tunggu telah tiba. Namun, kaki dan pantatnya terasa begitu berat untuk beranjak dari tempat duduk. "Aku perlu bicara dulu dengan Elita. Beri kami waktu."

"Tentu. Kalian bisa mencicilnya lima juta per bulan," ujar Sara. "Sampai jumpa bulan depan."

Jon menaiki kereta dengan pikiran berkecamuk. Saat ia menoleh, Sara sudah menghilang dan hiruk-pikuk stasiun kembali seperti sediakala.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro