[17] Hoolers

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

RA KALVIN: PROYEK ETERNA 75% SIAP, INVESTASIKAN OTAKMU SEKARANG!

Filantropis dan CEO Mandala Farma, Rahadian Kalvin Atmanegara (Ra Kalvin) menyebut bahwa Proyek Eterna, proyek riset dan pengembangan teknologi pengunggahan pikiran (mind uploading), telah mencapai tahap akhir.

Proyek akbar yang melibatkan ratusan ilmuwan dari berbagai penjuru dunia digadang-gadang bakal menjadi penemuan yang paling mutakhir abad ini. Ra Kalvin sesumbar, proyek itu adalah jawaban dari segala penyakit, penuaan, dan penderitaan akibat kematian.

"Selama pikiran, memori, dan kesadaran kita tersimpan di pusat data Eterna, selama itulah kita bisa hidup di dunia," terangnya. "Kami juga memberi diskon 90% untuk seribu pendaftar pertama. Jadi, tunggu apa lagi?"

Perisai Markum hanya sanggup menahan kurang dari sepuluh serangan elektrotermal. Tangan raksasanya mulai lumer, mukanya mengerut menahan sakit.

"Kita tak bisa bertahan terus," ucapnya. Ia mengambil jarum suntik berisi cairan putih di saku celana, lalu menusuk lengan yang nyaris tinggal rangka. "Kalian berdua, menunduk!"

Jon dan Pristina menurut. Otot-otot di kedua tungkai Markum berkontraksi sedemikian rupa, mirip kaki belalang. Pria itu mengambil ancang-ancang kurang dari tiga detik, lalu meloncat sejauh tiga puluh meter. Tahu-tahu di kejauhan ia sudah membantai lima orang bersenjata plasmo dengan tangan kosong. Belum sempat menembak, leher-leher mereka patah. Kepala-kepala bergelimpangan. Tak ada yang sanggup meladeni kecepatan pria yang kini sudah sebesar badak.

"Untung dia bukan musuh kita," ujar Pristina. "Ah, ada sinyal asing masuk. Ke arah sini."

Jon mengikuti gadis itu, meninggalkan Markum dan Rosco. Ia merasa cuma jadi beban jika berdiam terlalu lama.

Mereka keluar gedung, memasuki jalur rel lain. Gerbong-gerbong kontainer bekas kereta barang satu per satu mereka lewati.

Sunyi sekali.

"Sinyal apa yang tertangkap?" tanya Jon.

"Kebanyakan petbot Hoolers, tapi ada anomali mirip ... Araknoid?" Pristina ragu. "Kemungkinan mereka memperkuat sistem gara-gara sempat terlacak. Makanya bot-ku nggak bisa mendeteksi apa-apa sejak tadi. Jangan-jangan sejak dari rumah Jackie mereka udah ...."

Jadi begitu. Kalau benar, wajar jika Sara tampak marah.

Pristina menggerutu sambil mengumpat lirih. Sebagai ahli cybersecurity, terlihat harga dirinya ikut terpukul.

Jon mendapat firasat buruk.

"Ini bukan perangkap, kan? Bagaimana kalau mereka sengaja menampakkan diri untuk menjebak kita?"

Gadis itu belum sempat membalas. Sebuah granat melayang di antara keduanya. Jon merangkul Pristina dan melompat ke depan. Granat meledak. Beruntung mereka telah menghindar agak jauh dari pusat ledakan. Namun, gelombang kejutnya cukup membuat mereka terlempar hingga jatuh tengkurap.

"Bangsat!" umpat Pristina. Kaki kirinya tertusuk serpihan besi berkarat. Jon hendak membantu, tetapi tubuhnya membeku. Bunyi tetes air, rintihan, disertai langkah kaki yang terseret-seret semakin dekat di balik punggung. Bulu kuduknya meremang.

"S-Sakit ... bu-nuh a-ku ...."

Sepuluh meter di belakang Jon, siluet manusia bertanduk rusa muncul dari dalam terowongan kereta. Tiba-tiba ia menghilang, dan dalam sekejap, ia berdiri satu meter di antara mereka berdua. Mulutnya berbusa. Tangan kiri memegang thermogrenade, dan tangan kanan hendak membuka kuncinya.

Refleks Jon cukup cekatan untuk menodongkan pistol sebelum makhluk itu menggapai pin granat. Namun, dalam sepersekian detik, keraguan menghambat tembakannya. Keraguan yang sempat ia lupakan saat membantai geng pembunuh Ido. Keraguan yang lahir dari trauma perang dan penyesalan karena telah membunuh manusia.

Sebuah tembakan melengking di telinga Jon. Bukan ia yang menembak, tetapi Pristina. Makhluk itu mengerang sambil memegangi tangan. Granat yang ia genggam terlempar beberapa meter di belakang.

Ia melolong-lolong, lalu menggeram. Saat hendak menerkam, Pristina menembak badannya beberapa kali. Makhluk itu mundur beberapa langkah tanpa tanda-tanda akan tumbang. Seolah tembakan-tembakan itu sekadar kerikil di tubuhnya.

Pristina tak menyerah. Ia terus menembak sampai granat di belakang monster itu meledak. Terdengar pekikan singkat, sebelum sekujur tubuhnya hancur oleh ledakan dan hawa panas.

Jon bernapas lega. Di sisi lain, ia kembali merasa tak berguna.

"Maaf, Pristina. Gara-gara aku, kau jadi—"

"Jangan minta maaf. Ini semua nggak akan terjadi kalau aku lebih waspada."

Gadis itu berusaha berdiri. Jon pun membantunya.

Mereka memeriksa jasad makhluk yang sudah tak berbentuk. Jejak-jejak cairan yang ia tinggalkan terlihat mirip Mirat encer, dan benda-benda di sekitarnya tampak mengalami ... pikselisasi?

Tak hanya itu, Jon juga menemukan benda yang tak asing. Sebuah benda seukuran bola mata, dengan cabang-cabang tentakel kecil seperti serabut saraf.

"Ini salah satu Nekopi milik Jackie," ujar Pristina. "Nggak salah lagi."

Usai memungut benda tersebut, Pristina meminta Jon menuntunnya ke tempat yang lebih aman. Sebuah toilet.

"Kayaknya kita harus nunggu yang lain kelar. Kita nggak mungkin lanjut dalam kondisi begini."

"Lanjut?" tanya Jon. "Ada sinyal Araknoid yang lain?"

"Ada satu," sahut gadis itu. "Tapi kalau dia dipakai buat mengontrol mutan kayak tadi, risikonya terlalu besar. Beberapa lebahku baru mengambil alih sepuluh bot Hoolers. Kalau maksa nyebar virus ke semua bot musuh, yang asli keburu kabur."

Jon menghela napas. Haruskah aku ikut menunggu? Ia satu-satunya yang masih sehat dan tak sibuk. Ia juga belum memberi kontribusi yang berarti. Kemungkinan besar, sinyal kali ini juga jebakan. Namun, apa gunanya di situ jika tak berbuat apa-apa?

"Biar kuperiksa," ujar Jon. "Kau bisa memandu dari sini, 'kan?"

"Sendiri? Jangan ngawur," balas Pristina. "Aku juga bisa salah. Bisa aja itu sinyal palsu."

"Kalau asli bagaimana? Tak ada jaminan kita bisa menemukannya lagi lain kali."

Pristina membuka D-deck dan menaikkannya ke dahi, lalu menatap Jon dengan mata kepalanya sendiri.

Jon tak gentar. Ia mengepalkan kedua tangan, membulatkan tekad.

"Fine. Matiin D-deck-mu. Kukasih instruksi lewat bot. Jangan lupa nyalain mode kamuflase Nekopi."

Jon mematuhi perintahnya. Usai mengotak-atik Nekopi di pergelangan tangan, ia pun bergegas.

"Maaf harus meninggalkanmu sendiri," ucapnya.

"Jangan remehkan aku. Aku bisa jaga diri," sahut Pristina.

Jon melalui lorong demi lorong sesuai instruksi. Tak ada cahaya. Ia juga tak bisa melihat bot virtual milik musuh dan milik Pristina tanpa D-deck. Ia lebih banyak mengandalkan pendengaran, penciuman, dan pengalamannya saat mengendap-endap di hutan tengah malam.

[Belok kiri. Masuk lubang parit pertama.]

Ia turun ke lubang parit. Ada suara kelelawar bercampur kera siamang di atas kepalanya. Namun, tak lama mereka lenyap seperti kereta yang hanya melintas.

"Bunyi apa itu?"

[Petbot Hoolers. Mereka yang berpatroli mengawasi kita sejak tadi. Tapi jangan khawatir. Jalan aja. Biar aku yang urus.]

"Tunggu, ada berapa banyak orang yang mengontrol mereka? Kedengarannya ada puluhan."

[Cuma satu. Sisanya perangkat zombi. Pelaku menginfeksi petbot milik orang-orang—kebanyakan fans Azula—dan mengendalikan mereka tanpa sepengetahuan pemiliknya. Server KripTown juga sempat down gara-gara ini.]

Jon kembali fokus. Target semakin dekat. Di ujung gorong-gorong, terdapat ruangan tanpa atap dengan dinding dan lantai yang dipenuhi pipa. Langit malam mirip sungai yang dicemari blue velvet dan cahaya disko. Namun, hanya sedikit sinar yang tembus ke bawah. Jarak pandang Jon cuma cukup untuk membuatnya sadar bahwa ia tak sendiri.

Sesosok pria kurus berkemeja putih muncul di antara dua pipa seukuran kayu jati dewasa. Ia memakai D-deck mirip mata laba-laba.

"Cuma satu? Aku yakin ada satu lagi sebelum sinyalnya hilang. Di mana cewek itu?" tanyanya.

Jon menodongkan plasmo. "Pris, dia sumber sinyal Araknoid yang kedua?'

[Ya. Hati-hati, Jon.]

"Hmm, tampangmu bodoh. Tak mungkin kau yang melucuti sistem ekolokasi yang kami sempurnakan. Penyamaran Mirat pun bisa kami tembus." Pria kurus itu mengelus dagu. "Cewek itu hacker kalian, 'kan? Boleh aku ngobrol dengannya?"

Jon tak menggubris. "Apa tujuan kalian?"

"Kau susah diajak bicara, ya," ucapnya. "Kami memang diutus untuk menghancurkan kalian, tapi kuharap aku bertemu dengan orang yang cukup cerdas dalam berunding."

"Serahkan dulu Araknoid yang kaucuri. Baru boleh bacot."

"Heh, padahal aku cuma bermurah hati." Ia mengetikkan sesuatu di udara. "Kaupikir pistol mainanmu bisa memojokkanku? Biar kutunjukkan siapa yang sebenarnya terpojok."

Bulu-bulu hitam bermunculan di sekitar wajah dan tangan pria itu. Tubuh dan mukanya menjelma menjadi kera. Telinganya memanjang, lalu muncul sepasang sayap menyerupai kelelawar.

Ukuran tubuhnya membesar hingga lima kali ukuran Jon. Sayapnya membentang, menutupi sisa cahaya yang sempat sedikit menerangi ruangan.

Kaki Jon gemetar, badannya membeku sesaat. Tembak, tembak, tembak! Dia mutan, dia bukan manusia. Bunuh dia! Bunuh atau dibunuh!

Jon menggigit bibir sampai berdarah, lalu melepas tembakan ke arah mata. Kena!

Makhluk itu mengerang kesakitan. "Bajingan! Aku belum selesai, Bangsat!"

"Kenapa aku harus menunggumu selesai?"

Jon kembali tenang. Ia lanjut menembak mata yang lain.

"Arrrggghhh!!! Ke sini kau, Anjing!"

Muncul glitch aneh seperti saat menghadapi si tanduk rusa. Dalam sedetik, monster itu mematung seperti layar komputer dengan RAM penuh. Detik berikutnya ia sudah melesat di samping Jon, menerobos pipa-pipa di depannya.

Sama seperti kasus Markum, mata Jon pun tak mampu mengikuti gerakannya. Beruntung serangannya meleset.

[Kerja bagus, Jon. Tanpa mata, ia cuma bisa mengandalkan ekolokasi. Biar kuganggu sinyalnya dengan bot yang udah kuambil alih. Bertahanlah.]

"Sampai kapan?" tanya Jon, masih sibuk menghindar. Meski serangan makhluk itu tak akurat, serpihan-serpihan pipa yang beterbangan tetap merepotkan.

[Lima menit.]

Mampus, batin Jon. Ia segera berguling tatkala pipa besar mengarah ke kepalanya. Ia lalu menggapai anak tangga dan memanjat setinggi-tingginya, tetapi ia juga tak mau monster itu lepas dan memasuki kota.

Jon membidik dari atas dan berhasil menghancurkan beberapa tulang. Namun, tak peduli berapa kali tembakannya kena, monster itu selalu bisa memulihkan diri. Hanya matanya yang masih mengucurkan darah.

Tampaknya ia tak bisa memulihkan organ vital.

Makhluk itu akhirnya sadar Jon berada di atas. Ia mengambil ancang-ancang terbang, sementara Jon sibuk menembaki tiang dan pipa-pipa. Saat monster mulai naik, puluhan pipa besi menghujani badannya sehingga ia kembali jatuh dan terkubur.

Jon duduk dan mengatur napas. Baru empat menit. Ia mulai menyesal tidak menunggu Markum lebih dulu.

Lolongan lantang terdengar dari tumpukan pipa. Suaranya begitu keras sampai pipa-pipa terpental, menghasilkan lubang dan retakan di mana-mana.

Monster itu masih berdiri. Sayap kirinya putus, sedangkan yang kanan sobek-sobek. Ia melompat-lompat ingin menggapai Jon, tak lagi bisa terbang.

Ia pun merayap, menggapai pipa demi pipa yang masih melekat. Jon berkali-kali menghancurkan tangan dan pegangannya, tetapi ia tak menyerah.

Lima menit berlalu. Monster itu melolong lagi. Namun, lolongan kali ini lebih seperti erangan kesakitan. Ia memegangi kepala sambil berjalan sempoyongan tak tentu arah.

"Apa yang kaulakukan?" tanya Jon pada Pristina.

[Serangan DDoS. Biar dia tahu yang admin KripTown rasakan. Sejak transformasi, aku sadar otaknya terhubung dengan sistem D-deck dan Araknoid. Setelah sukses kuretas, kukirim ribuan spambot berupa reseptor rasa sakit virtual.]

Rasa sakit palsu? Meski begitu, monster itu tampak benar-benar menderita.

[Jon! Kesempatan! Tembak belakang kepala dan ambil Araknoid di dalam!]

Jon meloncat tepat di punggung sang monster. Pijakannya licin. Bulu-bulu makhluk itu rontok. Lipatan kulit beserta otot perlahan meleleh hingga lambat laun postur kurus pria itu kembali.

Jon menempelkan moncong pistol ke atas tengkuk, tepat di bekas jahitan operasi. Ukuran badannya masih cukup besar hingga bisa menahan Jon yang menunggangi pundak.

Dia menangis?

"Tu-an Nin-gen ... hiks, kenapa ... kenapa sa-ya masih merasakan sakit ...."

[Jon, ada apa? Cepat tembak!]

Lambat laun Jon makin sulit memandangnya sebagai monster. Mungkin ia juga korban keadaan, seperti pasutri dan mutan di lorong tadi. Mungkin ia masih bisa diselamatkan. Mungkin kalau kutangkap hidup-hidup, dia tahu identitas Ningen. Mungkin, mungkin, mungkin ....

Sayap kelelawarnya kembali tumbuh. Ujung-ujungnya yang tajam menghujam ke arah wajah Jon seperti cakar raksasa. Salah satu ruas jari berhasil menggores pipi, sebelum ruangan yang nyaris tanpa cahaya menjadi sepenuhnya gelap.

Tubuh Jon dibekap oleh gumpalan padat, lentur, dan sedikit berminyak. Selama lima detik ia tak bisa bernapas. Apa aku akan mati? pikirnya. Namun, serasa ada tangan raksasa yang menggendongnya dengan lembut, lalu menidurkannya di lantai.

"Maaf telat. Berapa lama kau terjebak bersama makhluk itu?"

Markum baru saja menyelamatkannya.

"Entahlah. Lima atau enam menit."

Pria besar itu terbelalak. "Gila. Setahuku harapan hidup orang biasa yang melawan mutan cuma sekitar lima detik."

"Satu lawan dua. Tanpa Pristina, aku sudah jadi daging cincang dari tad—"

Pria kera-kelelawar kembali menjerit. Delapan tangan mekanik robot milik Sara mencengkeram dan menembus titik-titik vital, lalu menghujamkan tubuhnya ke tembok. Kepalanya dipenggal, tubuhnya disetrum sampai gosong seperti nasib empat cyborg di bawah tanah.

Sara membelah tengkorak pria itu dan mengambil Araknoid di dalam. Ia menatap Jon dan Markum tanpa ekspresi.

"Dia sudah mati. Untuk apa disetrum lagi?" tanya Markum.

"Banyak mutan yang masih hidup setelah dipenggal. Sebagai sesama mutan, harusnya kau tahu," balasnya. "Dan kau, Jonathan Marlo. Kau punya kesempatan membunuhnya tadi. Kenapa malah diam? Mau cari mati?"

Jon tak menyangkal. Tanpa Markum, lukanya bukan sekadar goresan di pipi.

Sara menghela napas. "Oh, well. Yang penting bonus untuk benda ini jadi milikku."

"Ha!?" Pristina memprotes via bot lebah. "Aku dan Jon yang kerja keras, kenapa kamu yang dapat semuanya?"

"Kerja keras? Oh, aku jadi ingat. Kau masih utang penjelasan padaku, Pristina. Apa gunanya seorang hacker yang gagal mendeteksi kedatangan musuh."

"Aku lebih setuju kalau bonusnya dibagi rata," ucap Markum. "Hasil ini berkat kerja tim. Kalau bukan karena Jon dan Pris, kita tak mungkin dapat dua target sekaligus dalam semalam."

"Jangan terlalu memanjakan mereka, Pak Tua," sahut Sara. "Dua bocah ingusan ini bisa membuatmu terbunuh kalau dibiarkan ceroboh."

Jon tertunduk lesu. Sebenarnya ia juga ingin berpendapat, tetapi ia tak bisa menampik fakta bahwa malam ini, ia sering telat mengambil keputusan. Tubuh dan pikirannya tidak sinkron. Kalau tak segera diluruskan, hal itu bisa menjadi bumerang di kemudian hari.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro