[26] Mr. Max

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boards.8chan.org

/vst/ Virtual Streamers

========

[Anon7053]

Elita, maksudku Cia, dapat modal dari mana ya? Bukannya dia bangkrut parah sehabis keluar dari Virtulens?

[Anon8142]

Meh, kalian aja yang mau ditipu. Streaming cuma hobi orang kaya biar budak-budak korporat macam kalian rela ngosongin dompet buat mereka. Nggak yakin juga Cia beneran dikarantina. Paling cuma gimik biar orang pada kasihan.

[Anon2976]

^Ciri-ciri orang yang otaknya selalu di sumbu negatif.

[Anon1116]

Jangan fokus ke Cia, tapi ke Alice. Mereka sendiri yang bilang kalau Cia cuma performer, Alice yang mengatur segalanya. Bukan kebetulan karier Elita balik secara ajaib setelah ada Alice.

[Anon7053]

^Tahu nggak Alice sebenarnya siapa?

[Anon3562]

Kemarin ada yang bilang Alice mirip Almira. Tapi, masa sih dia ninggalin proyek film dan hiatus dari Kriptoverz cuma buat bantu streamer kecil yang lagi terpuruk?

[Anon5349]

Guys! Guys! Cewek di balik Almira udah mati. Belum ada pengumuman resminya, tapi aku barusan dapat bocoran dari temen yang kerja di kepolisian.

[Anon6846]

Jadi prediksi Ningen bener lagi?

[Anon7690]

Hoaks itu. Nama aslinya Rinai, kan? Waktu Ningen pertama ngomong pun forum Almirades udah rame-rame ngecek. Banyak bukti kamera dan kesaksian yang nunjukin kalau dia masih hidup.

[Ningen]

Itu bukan hoaks. Kalau benar ada sosok mirip Rinai yang berkeliaran, paling itu cuma salah lihat, cosplayer, atau impostor.

[Anon5349]

Nah ini sepuhnya muncul. Jelasin Puh!

[Ningen]

Semuanya jelas. Kriptoverz lagi ketar-ketir nyari pengganti Rinai dan tinggal nunggu waktu sebelum kebobrokan mereka terbongkar. Saranku, kalau kalian punya saham ISMAYA Corp, segera jual sebelum nilainya anjlok.



Suhu tubuh Jon naik dan kepalanya agak pening. Ia langsung berbaring di kasur sesampainya di kamar apartemen.

"Biar kuambilkan kompres dan obat," ucap AI-Mira sambil beranjak.

"Tak usah," sahut Jon. "Cuma demam biasa."

Kendati demikian, sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia demam. Entah kelelahan atau efek samping dari implan barunya.

"Tapi—"

"Duduklah," perintah Jon. "Ada yang mau kutanyakan padamu."

AI-Mira tampak ragu. Pelan-pelan ia menuruti perintah pria itu.

"Soal mata ini," lanjut Jon. "Aku mulai paham kemampuan dan batas-batasnya. Tapi aku masih belum bisa mengendalikannya secara sadar. Percuma jika kemampuan ini mati saat dibutuhkan, atau memperlihatkan sudut pandang acak yang tak penting untuk dilihat. Ada tips?"

AI-Mira menatap kedua mata Jon. Mata kanan gadis itu menyala, memunculkan simbol power layaknya mata Jon tatkala aktif memindai perangkat-perangkat sibernetik di sekitar. Selang beberapa detik, ia mengedipkan mata. Cahayanya sirna.

"Maaf, aku kurang tahu di mana letak masalahnya. Tak ada yang janggal dengan implan sel yang kupasang," ujarnya. "Apa pun yang Jon lihat, pada dasarnya mirip seperti yang kulihat sejak Rinai memberiku sensor penglihatan. Aku tak pernah berpikir ketika harus memindai banyak sudut pandang, atau berpindah-pindah dari kamera satu ke kamera lain. Itu semua refleks. Secara otomatis informasi visual yang masuk ke sistemku diproses sebagai mekanisme pertahanan diri."

Jon ingat ketika kemampuannya aktif saat diserang atau ada bahaya yang mengancam. "Maksudmu ... mata ini tak bisa dipakai untuk keperluan ofensif? Cuma untuk bertahan dan lari?"

"Bukankah itu yang Jon mau? Tetap hidup sampai mimpi Elita terwujud?"

"Tapi aku tak mau jadi pengecut!" bentaknya sambil memukul tepi kasur. Ia mulai berpikir bahwa rasa takut yang mendesaknya kabur dari puluhan mutan di persembunyian Cranker adalah efek dari "insting" AI-Mira.

Gadis cyber-mutan itu diam tertunduk. Meski wajah bonekanya tak seluwes wajah manusia asli, rasa bersalah cukup jelas tergambar dari kedua matanya.

"Lalu? Cuma itu?" tanya Jon dengan nada kesal. "Apa lagi yang kausembunyikan? Mana mungkin kau membajak tubuhku tanpa mendapatkan info lain."

"Membajak adalah kata yang kejam. Aku hanya mau membantu," balas AI-Mira. "Keselamatanmu, keselamatanku juga."

"Oh? Kalau begitu, tunjukkan lokasi kaummu. Tunjukkan letak mutan Araknoid yang tersisa dan kasih tahu kelemahan mereka."

"T-Tapi, bagaimana caranya?"

Jon kembali memukul kasur. "Pembohong! Jelas-jelas kalian punya sistem komunikasi jarak jauh yang tak terdeteksi perangkat apa pun." Napasnya tersengal-sengal. "Masih mau menyangkal? Kalian bisa mengendalikan apa saja dari makhluk hidup sampai robot rongsokan. Bisa saja kau sengaja menjadikanku proksi untuk membebaskan kaummu dan berbalik menguasai manusia. Itu kan tujuanmu sebenarnya? Jawab jika tidak—"

Pandangannya berpendar. Kepalanya seperti habis diputar-putar sebelum terkulai lemas dengan mata terpejam.

Ribuan mosaik piksel menyambut ketika matanya kembali terbuka. Resolusi meningkat, memperlihatkan jendela antarmuka pengaturan grafis, performansi kerja, memori, dan sebagainya.

Diagram-diagram lingkaran menunjukkan persentase pemakaian CPU, GPU, RAM, VRAM, dan clock speed, seperti pengaturan dalam komputer ataupun perangkat XR. Namun, Jon tak sedang memakai D-deck sekarang. Yang tampak selain antarmuka hologram hanya tangan-tangan AI-Mira yang terus mengotak-atik pengaturan di depan mata.

Jon langsung menepis dan berkata, "Apa yang kaulakukan? Mau mencuci otakku, hah!?" Kedua tangannya mencoba menghapus jendela hologram bak menghalau sekawanan nyamuk.

"Kuubah setting implanmu dari otomatis ke manual," terang AI-Mira. "Sekarang Jon bisa mengontrolnya sendiri."

Gadis itu menuntun jari-jari Jon untuk menggeser layar pengaturan ke antarmuka layar CCTV di berbagai sudut apartemen. Di situ, ia bisa mengubah berapa banyak sudut pandang yang ingin ditampilkan, atau bagian mana yang jadi fokus perhatian.

"Aku baru sadar kalau yang kuanggap normal dan intuitif, bisa jadi hal yang membingungkan bagi Jon. Maka kusederhanakan tampilannya sehingga mirip interface komputer," tambahnya. "Jon juga bisa mempercepat kinerja implan dengan overclocking, tapi lebih baik simpan sebagai pilihan terakhir. Aku tak tahu seburuk apa efeknya kalau dipakai berulang-ulang."

AI-Mira menunjukkan bilah kecepatan kinerja di bawah diagram clock speed. Ketika bilah digeser hingga rata kanan, terdapat opsi yang bisa dieksekusi dengan perintah suara.

"Catatan kedua: berhubung setting-nya manual, Jon perlu menyalakan dan mematikan sendiri. Implan juga tak lagi otomatis aktif ketika ada ancaman tak terduga. Jadi, Jon harus lebih hati-hati," pungkas AI-Mira.

"Begini lebih baik," ujar Jon. "Terima kasih. Maaf sudah menuduhmu tanpa bukti."

Hari mulai petang. Pening di kepalanya sudah agak hilang.

"Jon, tatap mataku," pinta AI-Mira.

Pria itu menatap dengan malu-malu. Mata gadis itu menyala, begitu pun matanya. Lalu kotak dialog melayang di antara mereka sambil bertanya:

[Tampilkan sudut pandang dari perangkat tersambung?]

Jon mengklik OK. Ia kemudian melihat dirinya sendiri duduk dari sudut pandang AI-Mira.

"Apa yang Jon lihat, adalah yang kulihat juga. Aku mungkin bisa memindai tubuh Jon secara fisik, serta mempelajari perilaku dan proses mental yang Jon tunjukkan. Tapi aku tak secanggih itu sampai bisa mengetahui seluruh pikiran, perasaan, apalagi mengendalikan Jon dari kejauhan."

"Tetap saja. Kemampuanmu jauh di atas mesin dan manusia normal."

"Ya, aku mengerti kenapa Jon cemas," balas AI-Mira. "Lalu soal koneksiku dengan mutan yang lain. Aku tidak tahu dan tak pernah bertemu dengan makhluk yang pernah Jon lawan. Mungkin mereka lebih canggih daripada aku. Sejauh yang kutahu, aku cuma pernah melihat Araknoid dalam bentuk Nekopi, yang sering dipakai oleh talent-talent Kriptoverz. Kalau ditanya apakah mereka kaumku, mungkin seperti saat manusia melihat serangga. Apa Jon menganggap serangga sebagai manusia juga? Apa Jon mau melakukan apa saja demi membebaskan mereka?"

Jon berpikir sejenak. "Kalau memakai analogimu, mereka sama seperti serangga yang mampu berevolusi menjadi manusia. Wujud aslimu juga mirip mereka, kan? Dengan potensi, kemiripan, dan nasib yang sama, aku ragu kau tak punya semacam ikatan batin dengan Araknoid yang lain."

"Jadi, Jon tetap tak percaya padaku?"

Pria itu menghela napas.

"Sudahlah." Ia mengalihkan topik. "Bagaimana dengan Elita? Dia tak merepotkanmu, kan?"

AI-Mira tersenyum. "Elita anak baik. Sedikit-banyak mengingatkanku pada Maya. Cuma Maya lebih ceroboh, sih. Namanya juga Pon Princess."

Terbayang lagi kotak suara pemberian Maya yang berisi momen-momen konyol.

"Menurutmu, apa dia bisa ke Luminostation sebelum aku mengembalikanmu?" tanya Jon.

"Potensinya ada," sahut AI-Mira. "Banyak hal baru yang kupelajari sejak bersama dia. Aku 'lahir' saat Rinai sukses sebagai Almira. Semakin tinggi pamor VStreamer, semakin jauh jarak antara dirinya dan fans. Kami tak lagi sempat membaca chat, bahkan superchat pun kami tutup. Rinai juga merasa bersalah. Sudah sesukses itu, tapi masih buka donasi yang tak memberikan timbal balik nyata selain ucapan terima kasih. Ia lebih suka kalau fans membeli merch, gim, atau album-albumnya."

"Apa bedanya dengan Elita?"

"Yang jelas, sekarang aku tahu rasanya memulai dari bawah. Berdebat dengan chat, membangun koneksi baru, mengatur batasan-batasan, dan aku jadi lebih mengenal komunitas yang dulu hanya kuanggap sebagai deretan angka. Untuk naik lebih berat, memang, tapi aku menikmatinya kok."

Jon menyimak dengan penuh perhatian. Makin lama mendengar, makin sulit menganggapnya bukan manusia.

"Kalau semua 'serangga' sepertimu, wajar ada manusia yang ingin membebaskanmu."

"Maksud Jon?"

"Lupakan."

Makin susah pula untuk menganggap AI-Mira otak dari segala kekacauan di Metro Lumina. Namun jika Jon memilih percaya pada gadis mutan itu, artinya ada entitas lain yang juga cerdas dan berbahaya.

D-deck di meja berdering. Ada pesan dari Mr. G.

[Maaf mengganggu liburanmu. Tolong segera ke kantor pusat. Penting.]


***


"Panggilan kerja? Tapi kan Jon masih sakit," ujar AI-Mira ketika Jon berkemas-kemas.

"Demamku sudah turun. Tenang saja."

Jon mengambil Kayzer di tempat parkir apartemen dan kembali ke Neon Stump. Tujuannya kali ini adalah kompleks ISMAYA Corp.

Markum dan Sara telah menunggu di sebuah ruangan, mengamati layar proyektor yang memperlihatkan Gilbert Ismaya dan seorang pria kaukasian bergaya flamboyan, dengan topi fedora putih dan jas berwarna keperakan. Mereka duduk berhadapan di ruangan luas yang pernah Jon masuki tatkala menandatangani perjanjian kerja. Seperti saat itu, Gilbert dan si tamu asing juga sama-sama memakai tubuh hologram.

"Siapa dia?" tanya Jon, merujuk pada pria bertopi putih.

"Massimo O'Shaughnessy, biasa dipanggil Mr. Max," balas salah satu robot dari skuad Rosco. "CEO Robodoki Inc., perusahaan yang berfokus di bidang produksi dan pengembangan perangkat keras untuk robot komersial. Mulai dari robot industri, pelayan, sexbot, petbot, sampai satuan keamanan seperti kami."

Robodoki, huh.

"Kupikir skuad Rosco sepenuhnya dikembangkan oleh ISMAYA," ucap Jon.

"Mr. G dan Mr. Max sudah lama bekerja sama. Bedanya, Mr. G lebih condong pada pengembangan software," sahut robot yang lain. "Mr. G yang memberikan 'nyawa' pada tubuh-tubuh metalik ini."

"Nyawa? Heh. Agak lucu mendengarnya dari robot rongsokan," komentar Sara. "Atau itu bukan cuma kiasan? Kalau melihat Rod Rosco, tingkahnya seperti mantan tentara manusia yang benar-benar diselamatkan dari kematian. Apa benar 'software' yang kalian maksud berasal dari manusia sungguhan?"

"Kami tak bisa menjelaskan secara detail. Yang jelas, Komandan Rosco adalah kasus yang spesial."

Sara hanya menatap, tak menginterogasi lebih jauh. Di layar lebar, pembicaraan kedua tokoh penting dalam kemajuan teknologi Malaraya tampak mulai serius.

"Jadi, apa kepentingan saudaramu di Blok MB?" tanya Max. Di kanan kirinya terdapat dua gadis android cantik dengan telinga kelinci.

"Keith? Mana kutahu. Dia kepala polisi Metro. Kalau dia pikir tempat itu perlu diselidiki, apa urusanmu?" Gilbert balik bertanya. Rod Rosco berdiri di belakangnya.

"Jangan pura-pura bodoh, Gil. Bukan begini caranya menjalankan bisnis."

"Kau? Menceramahiku soal bisnis?" Gilbert tertawa. "Ceramahi saja bawahanmu di Virtulens. Kudengar mereka hampir bangkrut gara-gara terlalu rakus mengeksploitasi talent. Barangkali kau belum sadar mayoritas fans hanya loyal pada VStreamers yang mereka sukai, bukan pada perusahaan, apalagi padamu. Ini bukan cuma soal uang, tapi bagaimana kau memperlakukan aset-asetmu."

Virtulens? batin Jon. Agensi yang memecat Elita hanya gara-gara warna kulit?

Muka Max semakin masam.

"Jangan bicara seolah-olah Kriptoverz juga bersih," balasnya. "Banyak kurir yang tewas di jalan gara-gara melindungi asetmu. Lagi pula, kalau kau memperlakukan talent-mu dengan baik, mana mungkin ada yang bunuh diri. Apa lingkunganmu setoksik itu sampai anak angkatmu lebih memilih mat—"

Gilbert menggebrak meja.

Max meringis, seolah sudah di atas angin.

"Itu pembunuhan," ucap Gilbert.

"Oh? Jadi kabar itu cuma pengalihan?"

"Kau tahu itu."

Max mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu? Bagaimana mungkin aku tahu sementara kau merahasiakan segalanya dari kami? Oh, jadi itu alasannya? Kau menganggapku punya andil dalam kasus Rinai?"

"Satu-satunya rahasia di sini adalah keterlibatanmu dengan tikus-tikus itu," sanggah Gilbert. "Kenapa gembong narkoba rendahan punya pengetahuan untuk menciptakan mutan dan cyborg dari Araknoid? Kenapa mereka bisa menguasai bekas pabrik Salvia Farma? Kenapa mereka sembunyi begitu dekat dengan wilayahmu?"

"Let me get this straight," ujar Max seraya mengambil napas. "Jadi benar orang-orangmu yang menggempur dan menghancurkan pabrik itu?"

"So what? Itu pabrik terbengkalai yang sudah jadi sarang sampah masyarakat sepertimu."

"Kita sudah pernah membicarakan ini, Gil," ucap Max. "Saat Salvia bangkrut dan paten Mirat jatuh ke tangan Kalvin, aku membantumu kembali menguasai siang, selama kau membiarkanku menguasai malam. Orang-orang yang kausebut tikus dan sampah itu adalah penyuplai utama bahan baku untuk mainan-mainan canggihmu. Mereka rela diupah murah, dijadikan subjek eksperimen, tanpa ada yang peduli saat mereka kenapa-kenapa. Mereka yang membuat perusahaanmu tetap bertahan, tapi malah kauhancurkan. Kaupikir berapa banyak hasil riset dan informasi tak ternilai yang ikut musnah bersama bangunan itu, hah!?"

"Intinya, kau yang mengompori perampokan dan membocorkan rahasia Araknoid pada mereka?"

"Aku tak pernah bilang begitu," bantah Max.

"Yeah, sure."

"Menurutmu dengan mengamuk membabi-buta bakal menyelesaikan masalah? Ujung-ujungnya, kaulah yang paling rugi." Max mendekati Gilbert. "Kita sudah sedekat ini dari peluncuran Proyek Eterna. Sebentar lagi umat manusia bakal menobatkan kita sebagai pahlawan. Kau mau merusak semuanya demi balas dendam? Orang awam pun tahu, butuh pengorbanan yang besar untuk menggapai cita-cita besar."

"Kita, kita, kita. Omong kosong," ucap Gilbert. "Kalau butuh korban, kenapa harus menyeret orang lain? Mulai saja dari dirimu sendiri."

"Maksudmu?"

"Bunuh dirimu. Baru kita impas."

"Maaf?"

"Kau tidak tuli. Bunuh dirimu."

"Heh. Heheheheh."

Max menoleh ke koleksi gadis android-nya, lalu tertawa terbahak-bahak. Robot-robot itu pun ikut tertawa dengan suara sintetis.

"Why don't you come to try?"


***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro