[27] 1:15 AM

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam, Kukilans! Kalian lihat ada yang baru? Hmm? Ya, betul sekali! Zirah baja yang saya pakai adalah kostum khas Robot Security Contractor, atau biasa disebut Rosco. Sungguh sebuah kehormatan, streamer kecil seperti saya mendapat kesempatan untuk mempromosikan merch resmi salah satu pasukan keamanan swasta terbaik di Malaraya. Kalau kalian butuh pengawal, atau hanya ingin mengoleksi aksesoris Skuad Rosco, silakan cek tautan toko di bawah.

Max memutuskan sambungan. Hologram dirinya dan kedua gadis android pun hilang.

Salah satu robot keamanan menerima pesan dari Rod Rosco. Gilbert meminta Jon dkk untuk memasuki ruang CEO.

"Kalian sudah dengar semua?" tanya Gilbert.

Jon dan Markum mengangguk. Sara tampak tak begitu peduli.

"Kalau begitu, untuk misi selanjutnya, tak perlu kujelaskan lagi." Gilbert menghela napas. "Bunuh pria tadi."

Jon tersentak. Baru kali ini ia mendapat misi yang khusus menargetkan nyawa seseorang.

"Heh, padahal aku sudah siap-siap liburan," sindir Sara.

"Maaf mengundang kalian tiba-tiba," ucap Gilbert. "Kunaikan bonusnya jadi lima kali lipat jika misi ini berhasil."

Lima kali lipat? Itu lebih dari cukup untuk membayar operasi Elita. Belum bonus-bonus misi terdahulu.

Masalahnya ....

"Ini bukan cuma soal uang," balas Sara. "Max O'Shaughnessy bukan berandalan yang biasa kubantai di jalan. Kau tahu sendiri, Pak Tua. Dia bukan cuma dekat dengan dunia bawah, dengan Distopedia, tapi juga dengan pejabat-pejabat parlemen dan keluarga Kaisar. Sekalipun berhasil, tak mungkin kroni-kroninya membiarkanku menikmati bonus dengan tenang."

"Jadi, apa maumu?"

"Beri aku jaminan. Dengan teknologi dan koneksimu, kau bisa mengubah seluruh identitasku, 'kan? Jika misi ini berhasil, beri aku identitas baru dan hak istimewa untuk mendapat perlindungan ISMAYA Corp seumur hidup."

"Mengenai hal itu, sudah kami pertimbangkan," ujar Gilbert. "Ada lagi?"

"Aku mau beroperasi dengan caraku sendiri. Jangan paksa aku satu tim dengan beban seperti dia." Sara melirik Jon dengan sinis. "Misi ini tak cocok untuk orang yang selalu ragu untuk membunuh."

"Oh ya?" Gilbert mengalihkan pandangan pada Jon. "Setahuku kau cukup efektif saat membereskan Spacer seorang diri."

"Mungkin cuma beruntung," potong Sara.

"Sara," hardik Markum.

Jon bergeming. Ia enggan menyampaikan bahwa PTSD-nya kembali kambuh pasca-pembantaian Spacer. Lain cerita jika lawannya robot, mutan, atau monster tanpa sedikit pun sisi manusia.

Kendati demikian, api amarah perlahan membakar rasa takutnya. Apalagi seusai mendengar bahwa Max adalah bos besar dari agensi yang memecat adiknya secara tidak wajar.

"Mr. G," panggil Jon. "Apa benar, Mr. Max pemilik agensi Virtulens?"

"Ya, tapi bukan cuma itu," jawab Gilbert. "Dulu Virtulens sempat menyaingi Kriptoverz dalam peta virtual streamers dunia, khususnya di Malaraya. Namun, sekarang agensi itu cuma kedok untuk menutupi bisnis prostitusi artis dan virtual idol. Midnight Butterflies adalah pusat orang-orang yang gagal menjadi idol, terlilit utang, lalu menjual diri di tempat-tempat hiburan. Max, melalui Robodoki dan Virtulens, adalah pemilik 90% franchise di kawasan itu."

Jon mengepalkan kedua tangan. Gilbert pun memperhatikan perubahan di raut muka pria kulit merah tersebut.

"Kalau tidak salah, adikmu mantan talent Virtulens, kan?" tanya Gilbert.

Jon mengangguk.

"Ah, begitu rupanya. Dulu skandalnya cukup terkenal juga."

"Adik saya tidak salah apa-apa. Justru dia jadi korban rasisme."

"Tak heran," timpal Gilbert. "Sejak awal Max dan anak-anak buahnya sudah bermasalah. Dia sendiri sering memamerkan pacar baru yang usianya puluhan tahun lebih muda. Kadang ia ambil dari talent-nya sendiri."

"Kenapa dari dulu tidak dilaporkan saja?"

"Banyak yang lapor, tapi semuanya mental. Bahkan untukku, melawannya di pengadilan memakan banyak waktu dan biaya. Dia tidak takut hukum. Aku mengabaikannya selama dia tak mengusik kepentinganku, tapi ternyata itu salah. Pada akhirnya, aku yang harus membereskan boroknya."

Jon melirik Markum. "Apa keputusanmu?"

"Aku banyak berutang budi pada Mr. G. Mungkin ini lancang, tapi anak angkat beliau sudah seperti saudaraku sendiri. Kalau benar Mr. Max adalah penyebab utama kematian Rinai dan perampokan Nekopi, hukuman yang paling pantas adalah hukuman mati."

"Terima kasih, Mark. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu," ucap Gilbert sambil tersenyum tipis. "Jadi bagaimana, Jon?"

"Boleh saya tanya lagi?"

"Silakan."

"Bagaimana dengan misi sebelumnya? Masih ada tiga Nekopi yang belum ketemu."

"Well, kupikir sudah cukup jelas bahwa Max menyembunyikan salah satu atau ketiga barang curian itu. Kita fokus ke situ dulu."

"Maksud saya, apa tidak masalah jika saya ikut membantu misi pembunuhan, tapi lebih mengutamakan pencarian Nekopi? Tak masalah jika Markum dan Sara mengambil misi pembunuhan."

"Oh, begitu." Gilbert manggut-manggut. "Oke, tidak masalah. Asal jangan saling sikut saja."

"Terima kasih."

Gilbert mengakhiri rapat darurat. Ia mengotak-atik suatu program, lalu memberi komando pada Rod Rosco untuk beralih ke mode militer. Rod dan seluruh anak buahnya diizinkan untuk melanggar seluruh aturan kepemilikan robot sipil; larangan menyerang tanpa provokasi, serta larangan memakai senjata pemusnah massal.

"Wow, rasanya kepalaku jadi lebih ringan," komentar Rod, "meski aku tak benar-benar punya kepala. Hehe."

"Sudah paham semua tugasmu? Kerjakan!" seru Gilbert.

"Siap, kerjakan!" balas Rod diikuti robot-robot di seantero ruangan. Mereka memberi hormat, balik badan, lalu bergegas keluar dengan serentak. Derap langkah kaki logam berdentuman menyaingi mesin-mesin di tempat penghancuran baja.

"Biarkan mereka menangani sistem keamanan komplotan Max," ucap Gilbert pada Jon, Markum, dan Sara. "Kalian pergilah ke bagian riset dan pengembangan. Ada yang ingin kami tunjukkan."

Penelitian mutan Jackalope dari kasus Salvia Farma mencapai tahap akhir. Tim peneliti ISMAYA Corp mendeteksi sampel DNA mutan dari tubuh Pristina dan mengembangkan antibodi untuk meredam replikasi mereka.

Kondisi Pristina jadi lebih stabil. Namun, penanganan dengan antibodi tak cukup untuk mengembalikan gadis itu seperti semula. Sel-sel yang rusak akibat pikselisasi masih belum bisa direkonstruksi.

Bahkan saat sekarat pun dia masih berguna, batin Jon.

Jon menerima pistol dengan peluru berisi antibodi. Jumlahnya terbatas, hasilnya juga belum konsisten karena baru diuji dalam lab terkontrol. Berdasarkan tes, sampel sel mutan dapat dibekukan sehingga tak bisa membelah diri dan "dihidupkan" kembali. Hanya saja, belum ada cukup data apakah efeknya permanen atau sementara.

"Selain itu, bisa saja sampel yang kami teliti berbeda dengan mutan lain," terang kepala lab. "Kadang kita butuh penanganan yang berbeda untuk jenis mutasi yang berbeda."

"Lebih baik daripada tidak ada," ujar Jon. Ia mengambil pedang laser bercampur antibodi sebagai senjata jarak dekat.

Markum dan Sara mendapat pembaruan perangkat. Gilbert meminjami Markum implan araknoid dan menyuntikkan antibodi ke tubuhnya. Sara, seperti Jon, mendapatkan senapan. Bedanya ia memilih bedil sniper laras panjang agar bisa menembak dari kejauhan.

"Jangan kasih ampun," perintah Gilbert. Mata kirinya menyala, menampilkan tombol power seperti mata AI-Mira. "Tunjukkan akibatnya jika berani macam-macam dengan Ismaya."

***

https://www.youtube.com/watch?v=lvDNdCBcKJE

Pukul 1.15 dini hari. Ronde Bar-Bar semakin lengang. Kurir-kurir yang biasa mampir sudah pulang atau tepar di gudang. Tinggal Leon, Pras, dan sesosok robot kepolisian yang masih duduk termenung di depan meja bar.

Beberapa hari mereka sulit beristirahat gara-gara insiden ledakan, ditambah temuan mutan di pusat kota. Leon sudah kenyang dengan semprotan Komisaris Keith akibat memobilisasi pasukan sebelum menganalisis medan.

Tak ada waktu untuk meratapi rekan-rekan yang meregang nyawa. Sehari semalam Leon tidak tidur demi melacak jejak. Namun, mutan-mutan itu lenyap tak berbekas.

Keheningan semacam ini kadang memang dibutuhkan. Walau singkat, minimal benang kusut yang melilit saraf-saraf di kepala jadi lebih renggang.

Leon menikmati koktail americano tanpa banyak bicara, membiarkan lagu demi lagu berlalu di earphone nirkabel yang terpasang di telinga. Setiap lagu Almira berputar, ia meneguk minumannya sekali. Memorinya otomatis mengenang wujud Rinai sebelum gadis itu berpulang.

Banyak lagu milik idol virtual yang merambah media mainstream, meski sering diremehkan sebagai kultur rendahan yang cuma disukai pengkhayal. Leon pun tak pernah berpikir bakal mengikuti perkembangan VStreamer seandainya tak bertemu Rinai. Aparat normie seperti dia, bisa menjalin hubungan dengan ilmuwan wibu saja sudah keajaiban dunia.

Tanpa sadar minumannya habis. Bartender muda berambut kuncung menawarkan isi ulang, tapi Leon menolak halus.

Lalu ia balik bertanya, "Seingatku di sini ada bartender bernama Markum Saxon. Ke mana dia?"

"Bang Markum? Maaf, saya pegawai baru jadi kurang tahu."

"Sejak kapan dia cuti? Kau tahu?"

"Dua minggu yang lalu, kalau nggak salah."

"Di mana dia tinggal?"

"Wah, kalau itu saya nggak tahu juga."

Leon mengucapkan terima kasih dan berpikir. Dua minggu yang lalu. Waktu yang berdekatan dengan penemuan jasad Rinai. Memang terlalu dini untuk menyimpulkan keterkaitan pria bergenetik mutan dengan kematian kekasihnya.

Markum punya sejarah panjang dengan Gilbert Ismaya. Semua petunjuk memperlihatkan bahwa hubungan mereka relatif baik. Tak ada alasan untuk Markum mengakhiri hidup putri kesayangan pria yang menyelamatkannya.

Namun, berdasarkan pengalaman, banyak pula kasus pembunuhan yang dilakukan orang terdekat. Motif dan perilaku mutan sulit diprediksi. Puluhan tahun adalah waktu yang cukup lama untuk sel mutan membentuk resistensi, sehebat apa pun kontrol AI dan otaknya.

Pertanyaannya, apakah Markum masih manusia, atau sudah jadi mutan seutuhnya?

Sebuah iklan menginterupsi pemutar lagu. Aneh, pikirnya, padahal aku sudah berlangganan premium.

[Halo, warga sipil sekalian! Ketemu lagi dengan Rod Rosco, asisten keamanan kesayangan kalian. Sehubungan dengan penemuan mutan di sekitar Blok MB, kami mengimbau untuk segera meninggalkan lokasi, sebab akan ada pembersihan besar-besaran. Jangan nangis ya kalau kena pecahan kaca.]

Berbagai laporan masuk. Sebuah rekaman CCTV menunjukkan interior Virtual Love, sebuah diskotek dan kasino di Blok MB. Alarm berdengung, pengunjung berhamburan. Sistem keamanan dalam gedung balik menyerang para pegawai, sexbot, dan cyborg yang mengawasi jalannya pesta. Video lain menunjukkan kerumunan drone dan tracerbot yang menyerbu gedung-gedung seperti wabah belalang.

Leon menggebrak meja. "Apa-apaan!?"

Komisaris Keith memanggil via D-deck.

"Kau ke mana saja? Suruh anak buahmu ke Blok MB. Cepat!"

"Komandan? A-Apa yang terjadi?"

"Gilbert bangsat! Dia menyatakan perang pada Mr. Max tanpa koordinasi denganku dulu."

"Tunggu, jadi Mr. Max pemilik mutan-mutan itu?"

"Mana kutahu. Harusnya dia lebih sabar menunggu hasil penyelidikan," balas Keith. "Shit! Aku capek menutupi semua ketololannya."

Usai mengenakan seragam dan helm anti-plasma, Leon dan bawahannya segera ke TKP. Segenap aparat kepolisian Metro Lumina mendapat perintah dari Mabes untuk memblokade Blok MB, sehingga kerusuhan tak makin meluas. Begitu tiba, robot-robot dan hovercraft Brimob bahu membahu membentuk kubah bermotif heksagon untuk menutup wilayah tersebut dari segala penjuru.

Sementara itu, Midnight Butterflies telah menjadi lautan api.

Robot dan cyborg bertarung, jalan layang dan jembatan penyeberangan diledakkan. Potongan-potongan mayat dan logam berat makin menumpuk di jalan raya depan barikade aparat. Muntahan peluru, mortir, dan sinar-sinar plasma berlalu-lalang turut meramaikan wilayah metropolitan yang sejak awal sudah bermandikan cahaya.

Belum ada satu jam sejak pengumuman Rod Rosco. Namun, konflik sudah separah ini.

"Warga sipil sudah dievakuasi?" tanya Leon pada anggota yang lebih dulu datang.

"Harusnya," jawab polisi di sebelahnya. Tak yakin.

"Kenapa tak ada yang menghentikan mereka?"

"Menghentikan? Kau mau menghentikan itu?" Polisi di depan Leon menunjuk skuad Rosco. Mereka terlalu gesit untuk diikuti mata, bahkan setelah dibantu perangkat. Mereka melesat ke dalam gedung, ke bawah tanah, ke jalan layang, dan tahu-tahu lawan sudah meledak berhamburan bagai kertas penggulung petasan. "Robot-robot polisi nge-freeze saat menganalisis pergerakan mereka. Kita manusia biasa cuma bisa menunggu."

Sistem dan prosesor robot polisi memang jauh tertinggal dengan robot hasil riset ISMAYA Corp. Pasukan cyborg dari pihak Robodoki pun tak sanggup menahan gempuran. Jumlah mereka lebih banyak, tetapi secara kualitas, mereka kalah kelas.

"Drone tempur mereka sih biasa saja. Yang ngeri justru robot-robot berkepala baskom," terang pria di sebelahnya lagi. "Sejauh ini kuhitung cuma ada delapan, tapi belum ada yang tumbang."

Skuad Rosco, batin Leon. Ia mendengar bahwa mereka adalah pasukan keamanan elite yang dimiliki ISMAYA Corp. Jadi begini kalau mereka diprogram untuk menyerang.

Salah satu robot berkepala baskom berdiri di atas tumpukan mayat dan tubuh prostetik, dikepung puluhan cyborg dan android milik Robodoki Inc. Berkali-kali ia ditembaki plasma, laser, granat termal, tapi semua dimentahkan. Lapisan pertama zirahnya terbuka, menampakkan puluhan moncong pelontar rudal.

Rudal-rudal menyerang ke segala arah, otomatis mengunci pergerakan lawan-lawan yang mengepungnya. Mereka terlambat bereaksi sehingga meledak bersama-sama. Beberapa serpihan terlempar jauh membentur kubah anti-plasma.

Hening mencekam, menemani api yang perlahan membakar mayat. Suara tembakan dari dalam gedung di kanan-kiri jalan pun makin melambat.

Robot di tengah jalan melepas helm, memperlihatkan sosok pria berbaret Angkatan Darat. Wajahnya juga muncul bertubi-tubi di papan-papan iklan dan dinding-dinding hologram yang masih berfungsi.

"Ada apa, Mr. Max? Kau sendiri yang menyuruh kami datang. Apa cuma segini kemampuanmu?"

Suaranya mirip Rod Rosco, sosok yang sempat "membajak" jaringan pemutar musik.

"Aku tahu kau menyembunyikan aset kami. Apa perlu kuratakan semua propertimu dulu?"

Tetesan air menimpa kaca helm. Hujan. Makin lama makin deras. Disertai guruh, kilat, dan angin kencang. Tapi, bagaimana bisa? Leon bertanya-tanya. Bahkan rudal dan sinar plasma pun tak sanggup menembus kubah raksasa kami.

Halilintar menyambar. Rod Rosco yang disasar. Kepalanya hilang, begitu pun sambungan di seluruh dinding penyedia iklan. Aliran listrik tampak memercik di sekitar zirah sebelum dirinya tumbang; menyatu dengan gunungan mayat dan baja rongsokan.

Papan reklame menyala lagi. Tampak sosok bertelinga kelinci dengan topeng suku Aztec, menampilkan seringai lebar seperti mayat penderita lockjaw. Ia berdiri di atap gedung, menjatuhkan salah satu robot Rosco yang pecah berkeping-keping sebelum mencapai permukaan tanah.

"Maya?" ucap Leon. Tak salah lagi, sosok itu menyerupai avatar milik rekan Rinai. Gadis yang juga adik dari teman seprofesinya, Nora.

Para pasukan bergemuruh. Beberapa kalang kabut mengacaukan formasi. Sebaliknya, Leon justru penasaran. Ia merangsek ingin melihat apa yang terjadi.

Gumpalan-gumpalan hitam bermunculan dari lubang-lubang parit, sela-sela gedung, dan tumpukan mayat. Tangan dan kaki tumbuh memanjang seperti antena siput yang baru keluar cangkang. Lalu di kepala yang tumpul bak jempol kaki, keluar mulut dengan gigi-gigi melingkar beruas-ruas hingga kerongkongan.

"Tembak! Tembak! Aaarrrgghhh!!!" pekik seorang aparat dengan pistol plasmo di tangan. Mulut dan jemarinya tak sinkron hingga mutan tersebut melahap kepalanya. Dalam sekejap, tubuhnya mengerut kisut, kering kerontang.

Situasi di titik-titik lain tak jauh berbeda. Mau ditebas, ditembak, atau dibom sekalipun, mutan-mutan itu tetap bangkit dan bertambah banyak. Sementara satu per satu personel gugur. Robot-robot polisi juga hanya bisa bertahan.

Leon memandangi sekeliling tanpa tahu harus berbuat apa. Hujan membelenggu akal dan penglihatan, sementara air membuat mutan-mutan semakin kuat. Sesosok mutan meloncat bagai belatung, tapi ia hanya bersimpuh pasrah.

Mutan itu tertembak, lalu jatuh meronta-ronta. Muncul piksel-piksel dan busa-busa hingga tubuhnya mengecil seperti lintah bertabur garam. Akhirnya, ia mengeras bagai batu comberan.

Dua aparat mendekat. Pria yang lebih besar bilang, "Jangan buang-buang peluru, simpan untuk mutan yang lebih kuat."

"Maaf," sahut rekannya. Ia mengambil sebilah pedang laser dari balik punggung.

Mereka polisi yang sempat meladeni pertanyaan Leon.

Sementara kawannya sibuk menebas mutan, pria besar melepas helm dan seragam. Ia memakai kain penutup kepala serta implan pita suara.

"Nah, begini kan enak," komentarnya. Tampak benjolan-benjolan kecil di lengan kanan yang diperban. "Masih bisa jalan, kan? Tinggalkan tempat ini."

"Siapa kau?" Meski penampilannya agak lain, Leon punya firasat bahwa dialah sosok yang ia cari.

"Mino R. Swing."

"Huh?" Leon mengernyitkan dahi. "R-nya apa?"

"Rahasia."

Pria itu melesat pergi, membantu rekannya yang tengah dikepung mutan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro