[28] Mage of Violence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


[BREAKING NEWS] Kerusuhan pecah di kawasan Blok MB antara pasukan keamanan Rosco dan Robodoki Inc. Rod Rosco, pemimpin robot penyerang, mengklaim bahwa serangan dilakukan sebagai bentuk dukungan pada Kepolisian Metro Lumina yang kehilangan beberapa personel pasca-operasi bawah tanah. Melalui berbagai kanal dan media sosial, Rod menyebut penyebabnya adalah mutan jenis baru yang dikembangkan oleh Robodoki Inc.

Belum diketahui mutan seperti apa yang dimaksud. Kami masih mencoba mendekati kubah pelindung yang dibentuk aparat untuk info lebih—

"BUKA KUBAHNYA BANGSAT!"

"KELUARKAN KAMI DARI SINI!"

"AAARRRGHH!!!"



Jon mengaktifkan implan mata, memindai pergerakan para mutan dalam sudut pandang 360 derajat. Sembari menghabisi mutan-mutan yang nekat mendekat, ia memprediksi ke mana lagi pedang lasernya harus menebas.

Menurut info yang ia peroleh, mutan-mutan itu adalah hasil mutasi dari petbot Wildblood, maskot Maya Tepozteca. Bukan hal yang mengejutkan, mengingat ia sempat melihat avatar Maya di atap gedung sebelum sosok itu menghilang.

Prioritasnya adalah keselamatan aparat-aparat yang masih terjebak. Ada yang berlarian, ada yang menembak tak tentu arah, ada pula yang terpeleset jalanan licin atau tersandung mayat. Menyegarkan ingatan yang penuh teror dan kepanikan saat kali pertama ia bertempur melawan mutan.

Mereka mungkin polisi terbaik dengan peralatan tercanggih di Metro Lumina. Namun, secara pengalaman, itu tak sebanding dengan yang pernah ia rasakan.

Jon berlari ke arah polisi terdekat. Tetes hujan, pergerakan mutan, hingga jeritan aparat makin melambat seraya clock speed implannya makin meningkat. Ia tak secepat Markum, tetapi itu tak jadi soal selama ia mampu membaca dua, empat, hingga delapan langkah ke depan.

Jon menusuk punggung mutan yang hendak memakan korban; membekukan dan merobeknya sampai hancur bak sisa tembikar. Di saat yang sama, ia arahkan moncong pistol ke mutan lain yang mustahil dijangkau pedang.

Satu, dua, tiga, lebih dari sepuluh mutan ia amankan. Namun, dua tangan saja tak cukup untuk menyelamatkan semua orang.

Darah bercampur hujan menciprati kaca helm penyamaran. Dari arah samping, puluhan mutan dalam berbagai ukuran pun tengah dibantai hingga menciptakan gunungan daging cincang.

Markum melontarkan bola-bola daging sebesar kelereng, menembak mutan-mutan Wildblood dengan jemarinya yang disulap menjadi senapan mesin. Tubuh mutan yang tertembak seketika membengkak, membentuk tumor-tumor, kemudian meledak.

Lima mutan menyergap Markum dari belakang, tetapi ia tak panik. Dua tangan tumbuh di sekitar pundak, mencekik dan menusuk musuh-musuhnya. Ia bergerak hingga menyentuh ambang batas kecepatan yang bisa diikuti mata. Dalam sekejap, Markum telah meluncur di depan Jon, menghujamkan kelima mutan hingga menyatu dengan retakan aspal.

"Kita terlalu lama di sini," ucap Markum pada rekannya. "Ayo pergi."

"Tapi bagaimana dengan aparat—"

Empat robot skuad Rosco mendarat di sekeliling mereka.

"Maaf, baru selesai mind-upload," kata Rod Rosco. "Sisanya serahkan pada kami."

Markum menggendong Jon, lalu melesat meninggalkan skuad Rosco bersama sisa-sisa mutan. Ia meloncat ke salah satu atap gedung dan menurunkan rekannya di sana.

Jon segera melepas helm dan mematikan implan mata. Ia berlutut, napasnya terengah-engah.

"Bagaimana kondisimu?" tanya Markum.

Jon mengacungkan jempol.

Ternyata begini jika implan AI-Mira diatur manual. Kemampuannya lebih mudah dikendalikan dan performanya lebih maksimal. Namun, energi pemakai juga lebih cepat terkuras.

Paling tidak, semua berjalan sesuai rencana. Skuad Rosco diplot untuk melumpuhkan sistem keamanan dan memancing Max mengeluarkan mutan. Kendati demikian, Jon tak menyangka dampaknya sebrutal ini.

"Kau yakin Rosco tak membantai orang tak bersalah?" tanya Jon.

"Mungkin, tapi itu bukan prioritas kita," ujar Markum seraya menusukkan tabung injeksi. "Selama Mr. G mengendalikan mereka, tak ada yang perlu dikhawatirkan."

Justru itu, batin Jon. Meskipun kekuatan terbesar ISMAYA Corp adalah software dan cyberware, tak ada jaminan sistem mereka aman dari peretasan. Apalagi banyak hardware dan persenjataan Rosco yang berasal dari Robodoki.

"Apa Mr. Max di sekitar sini?" tanya Markum.

"Kurang tahu," balas Jon, mengaktifkan matanya kembali.

"Kalau benar dia yang mengendalikan mutan, harusnya tak jauh," sahut Markum. "Sekarang di mana mutan yang mirip Maya?"

Jon menampilkan puluhan layar yang menunjukkan berbagai sudut kamera dalam radius satu kilometer. Satu per satu ia seret dan usap tanpa mengamatinya terlalu lama.

Lalu ia menangkap bayangan Maya di salah satu lantai Robodoki Workshop. "Di sana!"

Markum kembali menggendong Jon, meluncur ke arah bangunan yang rekannya tunjukkan. Mereka menerobos kaca jendela. Pecahannya menggetarkan pernak-pernik etalase dan tubuh-tubuh prostetik di langit-langit ruangan.

"Di mana?" tanya Markum lagi.

"Mungkin kita terlalu berisik," balas Jon. "Dia hilang lagi."

"Maaf."

Jon terus memindai lokasi sembari memimpin perjalanan.

Koridor dan tangga-tangga yang mereka lalui begitu sunyi. Selain potongan jasad humanoid yang berserakan, tak terlihat tanda-tanda manusia atau makhluk hidup lain. Tampaknya, skuad Rosco juga sempat meluluh-lantakkan tempat ini.

"Hujan aneh," komentar Markum. "Begitu sampai sini, tubuhku langsung kering."

"Jadi hujan itu hanya ilusi?" tanya Jon.

"Setahuku Nekopi kadang dipakai untuk efek cuaca, cuma kalau dampaknya senyata ini, gawat juga."

Jon pun membatin. Setelah dipikir-pikir, makhluk itu juga bisa memunculkan petir yang mematikan mesin Rosco.

Terdapat meja operasi yang ditiduri kerangka robot prostetik. Di bawah meja, seorang pria berjenggot putih meringkuk ketakutan. Ia Ken Wastro, pria yang pernah mengerjakan model boneka untuk AI-Mira.

"T-Tolong, j-jangan sakiti saya. Saya cuma pegawai," pintanya.

"Anda tahu di mana Mr. Max?" tanya Markum.

"M-Mr. Max?" Ken menggeleng gugup. "B-Beliau datang ke sini dua hari yang lalu. Selebihnya saya kurang tahu."

"Ada kepentingan apa dia di sini?"

"C-Cuma mengambil sexbot pesanannya."

Dua hari yang lalu, batin Jon. Hari yang sama dengan waktuku menjemput boneka AI-Mira.

"Jadi Anda pembuatnya juga?" tanya Jon. "Anda tahu soal araknoid?"

"A-A-Apa itu?"

Jon memproyeksikan prosesor araknoid, baik yang orisinal maupun hasil modifikasi.

Lalu ia bertanya, "Apa robot pesanan Mr. Max juga pakai itu?"

"M-Mungkin," jawab Ken ragu. "Saya kurang paham, saya cuma mendesain dan merancang komponen luarnya."

Jon menoleh ke arah Markum. "Sepertinya dia memang tidak tahu apa-apa."

Markum bergeming. Kedua matanya terpaku menatap Ken Wastro, seolah mencoba merasuk ke dalam jiwa si perajin boneka.

Tiba-tiba tangan besarnya membekap muka Ken. Benjolan-benjolan kecil bermunculan di sekujur tubuh pria berjenggot putih, membesar dan membesar hingga akhirnya pecah; menutupi lemari kaca dan dinding dengan cipratan darah.

"... Markum?"

Jon mundur perlahan. Kakinya gemetar. Belakangan ia sering melihat Markum membunuh orang, tapi tidak begini. Markum tak pernah melakukannya ke orang tak bersenjata dan tanpa niat menyerang.

"Aku bisa menciumnya," ucap Markum, tangannya meremas sisa kulit muka Ken Wastro. "Aku bisa menciumnya sejak memasang implan araknoid ke tubuhku. Baunya lebih lemah daripada bau-bau lain. Tapi dari jarak sedekat ini, aku tak mungkin salah. Dia bertemu dan menyentuh araknoid baru-baru ini."

Pria itu berbalik.

Jon refleks menelan ludah. Mata Markum menyala seperti matanya. Hanya saja, warnanya menyerupai lava pijar. Kemudian urat-urat dan pembuluh darahnya lambat laun menampilkan ciri-ciri yang sama.

"Implanmu," lanjut Markum, "dari araknoid juga, kan?"

"Huh?"

"Dibandingkan yang lain, entitas di belakangmu lebih pandai menyembunyikan bau. Atau aku cuma paranoid? Mana yang benar, Jon? Apa kau menyembunyikan sesuatu? Apa kau benar-benar Jon?"

Jon tergeragap. Bulu kuduknya meremang. Perangai Markum berbeda dari biasanya. Apa dia masih Markum yang kukenal?

Sesuatu melesat dari belakang, memutuskan daun telinga Markum hingga potonganya ikut terpajang di dinding bersama lukisan darah dan daging si perajin boneka.

Tepat di antara pintu masuk, gadis robot bertopeng khas suku Aztec menodongkan tongkat berujung cermin segi delapan. Mata Jon seketika menangkap kejanggalan. Pusaran-pusaran angin sebesar kerikil bermunculan di sekitar sang gadis, lalu melesat bertubi-tubi ke arah Jon dan Markum bagai senapan dengan amunisi tak kasatmata.

Jon berguling dan bersembunyi di salah satu pilar, sesaat sebelum peluru-peluru angin menabrak dan melubangi lantai, perabot, dan logam-logam yang berserakan. Markum tetap berdiri kokoh. Ia memakai tangan-tangannya sebagai perisai. Namun, lambat laun pertahanannya mulai goyah seiring bertambahnya lubang-lubang di punggung tangan dan lengan bawah.

Markum meraung. Gelombang kejut mengubah arah angin dan menghempaskan benda-benda kecil di sekitar. Lava pijar semakin terang mengaliri pembuluh darah. Kemudian ia balik menyerang.

Markum terus melaju, mementahkan seluruh gempuran peluru angin robot peniru Maya. Hingga akhirnya, dalam jarak satu meter di antara keduanya, AI-Maya berhenti menembak.

Namun bagi Markum, itu bukan pertanda baik.

Tekanan-tekanan udara yang tadi dimanfaatkan layaknya senapan mesin, kini memusatkan diri di sekitar AI-Maya. Angin dan partikel-partikel di sekelilingnya mengorbit bagai lapisan-lapisan atmosfer yang melindungi bumi dari ancaman luar angkasa. Sementara itu, seluruh tubuh Markum telah terperangkap dalam lapisan terdalam. Momentumnya terlalu besar untuk menghindar.

AI-Maya menghindari serangan Markum dengan leluasa. Ia membiarkan pria itu tercabik-cabik pusaran angin, seperti kayu gelondongan yang perlahan digilas gergaji mesin. Tangan kanan Markum hendak menjangkau leher AI-Maya, tapi lebih dulu terbakar oleh gaya gesek atmosfer yang berbenturan dengan gaya dari tubuhnya sendiri.

Markum tersungkur. Ia kehilangan separuh tubuhnya. Lengan-lengannya tercincang, tercecer, dan menjadi arang. Ia bak meteor yang digadang-gadang bakal mengancam kehidupan bumi, tapi lebih dulu menciut jadi batu kali.

AI-Maya berpaling dan menodongkan tongkat sihir ke tubuh Markum, sementara Jon sekuat tenaga menahan teriakan.

Sabar, pasti ada celah.

Fokusnya terbayar. Pertahanan AI-Maya lebih longgar saat dalam mode serang. Jon membajak penglihatan robot itu sehingga serangannya meleset. Tanpa pikir panjang, ia menodongkan pistol dan menembaki AI-Maya dengan peluru-peluru antibodi.

Hening. Gadis kelinci Mesoamerika tak menunjukkan respons berarti. Lubang-lubang peluru membekas di punggung berlapis metal dan kulit artifisial. Di depan mata Jon, layar penyiar sudut pandang AI-Maya tetap jernih. Tak ada gangguan.

Tidak mempan?

AI-Maya memutar kepala 180 derajat. Lengan, badan, serta kakinya berurutan mengikuti. Ujung tongkatnya mengubah sasaran ke arah pria yang barusan menembak.

Jon terus mengganggu penglihatan AI-Maya, berharap serangannya meleset lagi. Robot itu membalas dengan angin ribut yang menerbangkan seluruh benda dalam sudut 90 derajat di depannya.

Tubuh Jon terseret angin. Berkali-kali ia kepayahan menghindari perabot dan pecahan logam. Ini pola serangan yang paling ia benci. Arahnya tak beraturan dan cakupannya luas. Walau mata Jon bisa mengantisipasi, tubuhnya tak sanggup mengikuti dan otaknya tak mampu memproses info sekacau ini.

Ia terpelanting ke sudut ruangan hingga kehilangan kendali atas sensor mata AI-Maya. Begitu penglihatannya kembali, AI-Maya langsung mengacungkan tongkat dan bersiap menghabisi Jon dengan peluru angin bertekanan tinggi.

Serpihan daging Markum di sekitar AI-Maya kembali tumbuh, menjadi tangan-tangan elastis yang berebut melilit kakinya. Fokus robot itu buyar sehingga tembakannya mengarah ke atas, sementara Markum telah bangkit di belakang seraya menyuntikkan Mirat di bagian tubuh yang terbakar.

AI-Maya mencoba mengaktifkan perisai atmosfer, tapi terlambat. Tangan-tangan Markum telah menggerayangi dan membungkus tubuh sang robot hingga menyisakan kepala. Markum mengatupkan kedua tangan seolah menerima servis voli, mengangkatnya, lalu mengayunkannya sekuat tenaga hingga membentur kepala AI-Maya.

Tangan-tangan pembungkus beserta komponen robot di dalamnya luluh lantak. Lantai gedung bergetar hingga retak-retak mengikuti bentuk gelombang air yang dijatuhi batu besar. Pilar, dinding, dan langit-langit ruangan bergemeretak seolah bisa runtuh kapan saja.

Jon memberanikan diri menuju pusat tumbukan. "Kawah" hasil pukulan Markum membentuk lubang berisi puing-puing robot, potongan kabel, percikan listrik, serta darah dan daging Markum sendiri.

"Belum," desis Markum. "Baunya belum hilang."

Jon memindai sekeliling ruangan. Kondisinya seburuk tempat yang baru diguncang gempa. Lalu, pandangannya tertuju ke meja operasi di dekat serpihan jasad perajin boneka. Meja terbelah menjadi dua. Kerangka robot di atasnya lenyap.

Sensor mata Jon menangkap sinyal. Ia menoleh ke belakang, menghunuskan pedang laser untuk menangkis tongkat sihir yang diayunkan ke punggungnya.

AI-Maya "merasuki" tengkorak robot yang belum terbungkus kulit. Makhluk itu terus menekan, memunculkan angin yang menyayat-nyayat seragam dan kulit merah Jon seperti ratusan silet.

Jon mengerang. Ia terdorong jauh hingga punggungnya membentur dinding di sisi seberang. Lengan dan kaki serasa diiris-iris, beruntung helm dan rompi anti-plasma melindungi organ vital dari cedera. Namun, serangan belum berakhir. AI-Maya kembali bersiap memberondong tubuhnya dengan peluru tak kasatmata.

Markum mendarat di antara Jon dan AI-Maya. Ia membalas serangan robot itu dengan peluru-peluru jari dari keempat tangannya. Jari demi jari berbenturan dengan tekanan angin, menciptakan ledakan-ledakan kecil di udara sehingga mengepulkan asap beraroma daging gosong; menyengat hidung, memedihkan mata.

Lambat laun, satu-dua serangan AI-Maya menembus rentetan serangan Markum hingga mengenai badan. Udara sekitar bagai gudang peluru bagi robot itu, sementara amunisi Markum terbatas oleh stok Mirat dan ketahanan tubuh. Kalau begini terus, Markum bakal tumbang duluan.

Jon kembali membajak penglihatan AI-Maya, memberi Markum cukup waktu untuk menyuntikkan Mirat dan menumbuhkan tangan keenam. Saat AI-Maya terkecoh, beberapa jari Markum mengenai salah satu lengan. AI-Maya terpaksa melepas lengannya sebelum daging Markum bermutasi dan membelenggu sekujur tubuhnya lagi.

Markum melesat maju. Ini kesempatan yang mungkin hanya datang sekali.

Meski tanpa penglihatan, AI-Maya segera mengaktifkan mode bertahan total, seolah sudah mendeteksi ancaman.

"Markum! Awas!" pekik Jon. Ia tak mau rekannya kembali terkoyak.

Namun, kali ini Markum lebih siap. Ia berhenti tepat di luar jangkauan perisai atmosfer AI-Maya, lalu meninjunya sekuat tenaga dengan salah satu tangan. Seperti AI-Maya yang mengorbankan lengan agar tetap bertahan, Markum mengorbankan lengan untuk menyerang.

Gelombang kejut kembali bergema. Gaya tolak balik yang dihasilkan membuat benda-benda di sekitar Markum terdorong ke belakang hingga membentur dinding tempat Jon duduk bersandar. Sementara itu, potongan tinju meluncur deras bak rudal balistik interkontinental menuju tubuh AI-Maya. Perisai atmosfer perlahan mengikis dan membakar lengan Markum, tapi terlalu lambat untuk menghentikan laju serangan.

Tinju Markum tepat mengenai dada. Sekujur tubuh robot meledak, hancur berkeping-keping hingga membuat dinding di belakangnya ikut berlubang. Puing-puing metal yang tersisa pun hangus dan meleleh, seiring dengan meredupnya sinar lava dalam urat dan pembuluh darah sang bartender bertubuh mutan.

Jon berlari ke arah Markum yang sempoyongan, membantunya tetap berdiri. Sinar di mata Markum telah sirna, menyisakan pandangan sayu nan letih dari seorang pegawai bar yang sering ia temui.

"Maaf soal tadi," ucap Jon. Ia merasa bersalah sudah menyembunyikan rahasia. Namun, ia juga belum siap untuk mengungkapkannya.

"Maaf? Maaf kenapa?"

Huh? Apa ia melupakan percakapan kami?

Jon mengangkat bahu, pura-pura tidak tahu. "K-Kupikir aku membuatmu marah saat matamu menyala."

"Damn it," umpat Markum sambil memegangi kepala. "Tanpa overclocking pun aku mulai kehilangan akal."

Beberapa saat berlalu, sinyal lawan kembali muncul.

AI-Maya masih menyala. Ia terbang ke utara, menyelinap keluar dari kubah plasma kepolisian memanfaatkan celah parit. Semakin jauh, semakin banyak piksel-piksel yang mengganggu tampilan layar di depan mata Jon. Sudut pandang makhluk itu pun perlahan sirna.

Usai mengamati puing-puing kerangka robot yang kian menyusut, Jon menyadari ada yang hilang.

"Tongkat itu," ujarnya. "Prosesornya ada di tongkat itu."


***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro