[34] Proyek Eterna

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[BREAKING NEWS] Perusahaan BUMN Mandala Farma secara resmi menyatakan rencananya untuk mengakuisisi Robodoki Inc. Ra Kalvin, CEO Mandala Farma, menyebut bahwa ini merupakan mandat dari pemerintah untuk segera memulihkan gejolak indeks harga saham sebagai buntut dari tewasnya CEO Robodoki dalam kerusuhan.

"Dengan ini, kami juga berencana untuk memperbaiki hubungan dengan ISMAYA. Proses hukum terus berlanjut. Namun, kami tetap berharap semua bisa diselesaikan secara kekeluargaan," pungkas Ra Kalvin.



Ingar bingar wisatawan yang memadati jalan raya menuju Luminostation, bagi Leon, tak lebih dari sekumpulan awan. Makin lama, kebenaran kasus yang mengorbankan mantan kekasihnya terasa semakin jauh dari genggaman. Yang ada justru ia yang dimarahi karena melanggar perintah berkali-kali, diberi surat peringatan, dan diusir dari kantornya sendiri.

Ia dipindahkan dari Mapolda di Neon Stump ke kantor polisi subdistrik yang kebetulan dekat dengan Luminostation. Angka kriminalitasnya lebih rendah daripada sektor-sektor lain di Metro Lumina. Komisaris Keith sengaja menempatkannya di situ agar pekerjaannya lebih ringan, sekaligus bisa menjalani terapi psikologis secara rutin. Komandannya menilai kinerja Leon semakin buruk sejak kematian Rinai.

"Kamu salah satu perwira terbaik yang kami miliki," ucap Komisaris sehari sebelum Leon pindah kantor. "Jangan anggap ini sebagai hukuman. Gunakan waktumu sebaik-baiknya untuk refleksi dan pemulihan. Niscaya kamu bakal kembali lagi."

Persetan, batin Leon. Ia meneguk absinthe sekali, sambil menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia berhenti jadi polisi.

"Cherry Popper," ucap seorang gadis yang baru datang pada bartender. Ia duduk di sebelah Leon, lalu bertanya, "Nganggur kan malam ini?"

Leon menengok. Ia Nora, si penjaga lab forensik Mapolda. Biasanya Leon melihat gadis itu ke mana-mana memakai toga. Namun kali ini, Nora tampil mengenakan baju hitam tanpa lengan dan celana pendek, dengan sweter yang dibiarkan turun hingga memperlihatkan kedua pundak.

"Apa itu sindiran?" balas Leon.

Nora tersenyum tipis. "Maaf. Maksudku bukan ke situ."

"Go on."

Gadis itu mendekat ke telinga. "Ingat bukti-bukti yang kautemukan di properti Mr. Max? Ada yang mau aku tunjukkan."

Rasa penasaran Leon terpantik. Bukti-bukti itu sebagian disita oleh atasannya, sebagian diteliti diam-diam oleh Nora.

Baik Leon maupun Nora tak berkata-kata lagi hingga menghabiskan minuman di gelas. Kemudian gadis itu memandunya ke suatu gedung empat lantai yang hanya pernah Leon lalui sesekali: Klinik Perawatan Kulit Dokter Sakti L. Medina.

"Siapa Dokter Sakti?" tanya Leon.

"Sepupuku," balas Nora. "Cuma dia nyaris tak pernah memakai tempat ini gara-gara sibuk di rumah sakit pemerintah. Malah aku yang lebih sering mengurus tagihan di sini. Menyebalkan."

Usai Nora memindai retina, pintu geser baja terbuka disertai sapaan selamat datang. Lalu mereka melalui pintu kaca di baliknya. Bunyi sepatu kets Nora dan sepatu dinas Leon berlomba-lomba di lorong sunyi. Lampu-lampu di atas koridor otomatis menyala, menyambut kedatangan mereka berdua.

Leon melalui ruangan berisi orang-orang berambut putih yang duduk di kursi malas sambil mengenakan D-deck. Beberapa anggota tubuh mereka tampak prostetik sehingga ia tak yakin apakah mereka manusia atau cuma boneka.

"Mereka kakek dan nenekku, beserta kawan-kawan dari panti jompo," ucap Nora, sadar rekannya menghentikan langkah.

Sekumpulan lansia, ya, batin Leon. Kulit mereka mirip kulit bayi. Lebih cerah daripada kulitnya.

Nora memimpin Leon ke dalam lift, lalu naik ke lantai teratas. Mereka kemudian memasuki sebuah kamar seluas lapangan futsal yang dilengkapi setup PC dengan beberapa monitor, termasuk layar raksasa di salah satu sisi.

Nora melepas sweter dan meletakkannya di punggung sofa. Lalu dengan nada bercanda ia berkata, "Selamat datang di tempat peristirahatan Nora Medina."

"Di mana hasil risetmu?" tanya Leon.

"Panjang ceritanya. Gimana kalau kita makan malam dulu?"

"Jangan menunda-nunda."

Nora menghela napas. "Fine."

Ia menyalakan PC, menyambungkannya dengan proyektor empat dimensi di langit-langit kamar. Pemandangan kamar berganti dari yang awalnya kaya warna, menjadi suram seperti di dalam sebuah bunker militer. Rak-rak buku berganti menjadi tabung-tabung cairan setinggi dua meter, dengan berbagai potongan organ. Beberapa masih bisa dikenali, beberapa sudah buram oleh pikselisasi.

"Ini rekaman lab pemerintah di Distrik 62 saat Perang Perbatasan," ujar Nora. "Well, sebagian kecil sih. Lagi pula, seluruh medan perang adalah lab milik pemerintah."

"Apa maksudmu?"

Nora mengarahkan remot laser ke layar raksasa, menampilkan tulisan Proyek Eterna, meliputi rencana pengembangan senjata biologis.

"Itu tujuan awal Proyek Eterna, sebelum mereka mencoba memikat publik untuk berinvestasi dengan iming-iming keabadian. Mereka sadar konsekuensi memiliki pasukan mutan yang tak bisa mati. Semahal-mahalnya riset ini, jika berhasil, semua negara bakal tergiur dengan potensi politik dan militer temuan tersebut," lanjutnya. "Namun, seperti bom atom di Perang Dunia II, 'senjata' baru itu juga perlu diuji dalam perang sungguhan."

Nora menggeser ke tayangan selanjutnya. Di situ disebutkan, pemerintah Malaraya dan beberapa perusahaan multinasional (termasuk ISMAYA dan Robodoki) membuat skenario palsu sehingga bangsa kulit merah saling berperang. Mereka menanamkan implan ke beberapa subjek dari kedua belah pihak, yakni pejuang pro-pemerintah dan "pemberontak" Kaliyuga. Lalu mereka memonitor kinerja implan selama perang sambil terus melakukan perbaikan.

Keberhasilan Malaraya dalam menumpas "pemberontakan" meningkatkan minat terhadap implan tersebut. Negara-negara lain yang sibuk berperang atau sekadar ingin memperkuat pertahanan berbondong-bondong memesan, hingga akhirnya merambah ke industri kesehatan, kosmetik, dan hiburan virtual.

"Senjata biologis itu adalah prototipe Araknoid dan Mirat. Kita punya satu sampel dari DNA Markum Saxon beserta perangkat pengendali kankernya," tambah Nora. "Tapi implan-implan hasil eksperimen pra- dan pasca-Perang Perbatasan tetap punya batas waktu. Belum lagi, muncul efek samping seperti sindrom piksel. Pemerintah butuh hasil yang konsisten dan benar-benar abadi, minimal bisa didaur ulang atau 'dibangkitkan kembali.'"

Tayangan berikutnya memperlihatkan gambar makhluk humanoid serba putih, dengan bentuk tubuh yang menyerupai peralihan antara lumba-lumba dan manusia.

"Apa itu? Duyung?" tanya Leon.

"Ningen."

Leon mengernyitkan dahi. Ia mendengar istilah itu dua kali: saat Rinai mengajarinya beberapa kata dalam bahasa Jepang, dan saat ia menerima laporan dari kurir pembawa Nekopi.

"At least, itu nama yang diberikan forum okultisme Jepang," kata Nora. "Puluhan tahun yang lalu, tepatnya tahun 1Q64, tim peneliti dari berbagai negara melakukan ekspedisi ke Antarktika dan menemukan fosil-fosil Ningen di balik bongkahan es. Dalam laporan ekspedisi, para peneliti menyebutnya Mirror Man, atau Manusia Cermin."

Leon turut membaca rekap jurnal yang membahas penemuan fosil beserta foto-foto dokumentasi. Berdasarkan laporan, fosil tertua berusia sekitar 252 juta tahun, tepat saat peristiwa Great Dying (Kepunahan Massal Perm-Trias) yang melenyapkan 96% spesies laut. Beberapa rekonstruksi menampilkan sosok mirip manusia duyung, ada pula yang memiliki dua kaki belakang tapi tanpa kaki depan.

Mereka disebut Manusia Cermin karena komposisi molekulnya terbalik. Bukan hanya dengan manusia normal, tetapi juga dengan sebagian besar makhluk hidup alami yang masih tersisa. Mayoritas makhluk hidup saat ini bersifat homokiral; hanya bisa memproduksi dan mencerna satu tipe enantiomer (seperti L-asam amino dan D-glukosa). Sementara Ningen justru tersusun atas enantiomer kebalikannya (D-asam amino dan L-glukosa).

Temuan itu mengindikasikan bahwa pernah ada makhluk lain—dengan komposisi yang juga terbalik—untuk memenuhi kebutuhan nutrisi Ningen sebelum Great Dying. Penulis jurnal berasumsi bahwa kepunahan mangsa Ningen turut berkontribusi pada kepunahan Ningen.

Leon mengelus-elus dagu. "Komposisi terbalik ... jangan bilang Araknoid dan Mirat juga ...."

"Yep, mereka adalah produk riset turunan dari Ningen." Nora berjalan ke proyeksi tabung-tabung cairan. "Selama puluhan tahun, para ilmuwan beranggapan Ningen telah punah, sampai muncul penampakan spesimen hidup pada 2X07. Ada yang bilang itu mutan hasil eksperimen pemerintah Jepang. Namun, pihak Jepang hanya menganggapnya dongeng kriptid biasa."

"Jadi, apa mereka benar-benar masih ada?"

"Pada 2X10, tim peneliti Ningen dari Malaraya pernah mencoba mengonfirmasi video penampakan Ningen dari perusahaan kimia Jepang. Setelah ditelusuri, mereka menemukan fosil yang jauh lebih muda daripada temuan sebelumnya. Beberapa sel, kelenjar, dan cairan otak masih terjaga dalam kondisi beku. Ilmuwan kita pun menganalisis bagaimana Ningen beradaptasi dengan kondisi alam yang bertentangan dengan cara hidup mereka. Ternyata, sistem organ Ningen berevolusi sehingga mampu membalikkan senyawa."

Leon membaca jurnal lain. Terdapat gambar kelenjar di bagian araknoid—selaput otak mirip sarang laba-laba—yang mengatur dan menghasilkan cairan nanomaterial pembalik senyawa. Cairan tersebut adalah proto-Mirat, sementara kelenjar dan seluruh sistem regulasi Ningen (termasuk otak dan sumsum tulang belakang) menginspirasi pengembangan sistem Araknoid.

Nora melanjutkan, "Awalnya pemerintah mencoba mengkloning Ningen, tapi usianya singkat. Semua berakhir menjadi gumpalan piksel dengan molekul terbolak-balik. Mereka mengabaikan proyek kloning karena terlalu menguras dana. Riset Ningen diambil alih swasta yang dipimpin Grup ISMAYA."

ISMAYA, sebagai megakorporat di bidang siberteknologi, lebih mementingkan aspek ekonomi daripada impian menciptakan mutan abadi. Hal itu tercermin pada rangkuman penelitian mereka. Mereka lebih fokus mengembangkan teknologi untuk memproduksi cairan proto-Mirat secara massal, mereplikasi sel-sel otak, serta meniru sistem kelenjar Ningen dengan bantuan robot dan superkomputer yang mereka punya.

Cairan pembalik tersebut menyingkat waktu sintesis senyawa, sehingga mempercepat riset secara keseluruhan. Hingga akhirnya, tim peneliti ISMAYA menciptakan organisme buatan yang bersimbiosis mutualisme dengan tubuh manusia, yaitu Mirat.

Mirat tersusun atas sel-sel Ningen beserta nanomaterial hasil sekresi mereka. Mereka hidup dengan menelan racun, patogen, sel kanker, dan unsur-unsur yang tak bisa dicerna manusia. Sebaliknya, manusia pemakai Mirat jadi lebih kebal dari berbagai macam penyakit dan makin awet muda.

Penemuan Mirat membangkitkan kembali minat pemerintah dalam melanjutkan Proyek Eterna. Kali ini, alih-alih murni menggunakan pendekatan biologis, mereka juga mempertimbangkan teknologi sibernetik dari ISMAYA dan Robodoki. Pemetaan otak dan rekonstruksi tubuh tiruan jadi lebih cepat dan akurat dengan bantuan Mirat. Pengunggahan dan transfer pikiran bukan lagi sekadar impian.

"Sayang, seperti implan turunan Ningen yang lain, Mirat pun punya efek samping yang sama. Sindrom Piksel," ujar Nora. "Tubuh virtual yang disimpan di pusat data Eterna juga rawan dibajak, apalagi dengan situasi perang siber seperti sekarang. Ditambah ada sindikat kriminal internasional yang disebut-sebut turut mendanai proyek itu."

Leon duduk di sofa, mengurut-urut dahi, lalu berkata, "Aku butuh waktu untuk memproses semua ini."

Nora tersenyum. "Kubilang juga apa. Mau makan dulu?"

"Dari mana kau dapat info ini?" tanya Leon, tetap mengabaikan ajakan Nora. "Ini rahasia negara, kan? Mana mungkin kau bisa tahu cuma dari uji lab."

"Ya, dan kita bisa mati karenanya," sahut Nora. "Seperti Rinai."

Jantung Leon berdegup kencang. Sementara itu, ujung jemari gadis di depannya tampak gemetar.

"Apa kau benar-benar mau tahu jawabannya?" tanya Nora. "Apa kau juga rela mati demi Rinai, meskipun harus membuang loyalitasmu sebagai abdi negara?"

"Bilang saja. Percuma jadi polisi tapi serasa napi."

"Alicia Loveland," balas Nora. "Mereka duet streamers yang akhir-akhir ini jadi pembicaraan di komunitas virtual. Pertama kali kudengar, mereka menggalang donasi untuk riset sindrom piksel ke yayasan kami. Sebenarnya itu biasa, yang unik adalah mereka secara spesifik ingin aku mengelola dana itu. Terutama Alice. Dia tahu aku diam-diam menyelidiki kematian Rinai, dan turut membantu dengan memberikan rahasia ini. Dia juga tahu hal-hal yang hanya mungkin diketahui Rinai, termasuk saat yayasan kami turut membantu penelitiannya."

Leon langsung beranjak. "Rinai masih hidup!?"

"Kupikir awalnya pun begitu." Nora mendesah lemah. "Ternyata dia mutan siber berprosesor Araknoid hasil modifikasi perangkat Almira. Intinya, cuma replika buatan Rinai sendiri. Ucapan dan perilakunya memang mirip Rinai, bisa jadi jiwanya ikut tersangkut juga."

Nora tertawa kecil, lalu lekas membisu. Takut menyinggung pria di depannya.

"Apa yang dia inginkan dari kita?" tanya Leon.

"Katanya cepat atau lambat dia bakal kembali ke ISMAYA. Jika saat itu tiba, dia ingin kita membantu Cia, rekan duetnya, agar mendapat operasi sindrom piksel yang layak. Cia ini Elita Mursi. Kalau kau belum tahu, dia mantan seleb virtual juga."

"Kau percaya padanya?"

"Terdengar absurd memang. Namun seandainya Rinai masih hidup, aku yakin dia bakal melakukan hal yang sama," ucap Nora seraya duduk kembali. "Saat tahu dia bersama Elita, aku jadi ingat sewaktu berjaga di pos Palang Merah Distrik 62."

Ia menutup tayangan presentasi Ningen dan menampilkan sebuah dokumen. Dokumen mengenai daftar kondisi resimen tentara pelajar pasca-Perang Perbatasan.

"Gadis yang malang."


========

UNIT 32

Daud Bonaparte [HILANG]

... [GUGUR]

... [GUGUR]

Imanuela Cartesia [GUGUR]

Jonathan Marlo [GUGUR]

Kanta Cartesia [GUGUR]

Kartika Eka Paksi [HILANG]

Mikail Oktavio [GUGUR]

... [GUGUR]

... [GUGUR]

========


***

[A/N] Welp, semoga bab ini cukup menjelaskan semua misteri mengenai Ningen dan turunan-turunannya (maybe).


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro