DELAPAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : 01PenulisAmatiran dan Noorah91

"Rin," sapa Windi sambil menatap Riana.

"Apa?" jawab Riana.

"Sebenernya lo tau gak kenapa gue suka sama  Akmal?" ucap Windi lagi.

Riana yang baru saja menyeruput es tehnya melirik gadis itu dan menggelengkan kepalanya, sebagai jawaban akan ketidaktahuannya.

"Lo inget gak pas kita MOS dia kan duduk paling depan," tutur Windi dengan senyum sumringahnya.

"Iya, terus-terus," sahut Riana sambil memainkan HPnya.

"Dia tuh gimana ya ... bisa buat hati gue deg-degan tau." Mata Windi menerawang, mengingat kejadian itu sekali lagi.

"Alaynya mulai," ujar Riana sambil menatap ponselnya.

"Serius dengerin ish," dengus Windi kesal, merasa sahabatnya itu tidak mendengarkan.

"Gue dengerin," ucap Riana.

"Taruh dulu HP lo."

"Iya, iya bawel amat deh, Amat aja gak bawel," canda Riana sambil meletakan HPnya diatas kasur yang berada di depannya.
 
Ya, kali ini Riana berkunjung ke rumah Windi dikarenakan Windi memintanya. Atau lebih tepatnya memaksanya untuk datang.

"Gitu dong." Windi tersenyum penuh kemenangan.

"Nyengir aja terus," sahut Riana kemudian melanjutkan, “buruan lanjut kan lo tau sendiri bentar lagi gue pulang nih."

"Oh iya lupa, nanti mau gue anter?"

"Iya, anter sampai jalan raya aja."

"Kenapa cuman sampai situ, biasanya sampai rumah juga?" tanya Windi, “ ada cowo ya, hayo ngaku," lanjutnya.

"G-gak ada," ucap Riana gugup.

"Ngaku aja sih," kata Windi dengan suara kesal yang sengaja dibuat-buat.

"Kalau suara lo gini gue jadi ngerasa gimana gitu," ucap Riana dengan suara yang lembut.

"Makanya cerita aja sama gue napa," ucap Windi dengan senyum sumringah dan menjatuhkan tubuhnya diatas kasurnya.

"Iya iya ini mau cerita," tutur Riana sambil menatap Windi yang sudah memejamkan matanya.

"Lama banget katanya mau cerita," sindir Windi kesal karena pasalnya sejak tadi, Riana tak kunjung bercerita padanya.

"Lah gue kira lo tidur." Riana menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.

"Eh bentar-bentar bukannya gue ya yang mau cerita," ucap Windi sambil menoleh ke samping kanannya lebih tepatnya menatap Riana.

"Salah siapa maksa gue buat cerita," ujar gadis kalem itu sembari melanjutkan, “ya udah lanjut lagi," pinta Riana.

"Tadi sampai mana?" Tanya Windi sambil memejamkan matanya.

"Sampe kuda lahiran kambing!” Keduanya tertawa.

"Dasar receh lo Ri." Windi tersenyum, sebelum kembali melanjutkan ceritanya.

"Sampai MOS," beber Riana.

"Nah iya, jadi pas MOS itu diem-diem gue memperhatikan Akmal, Ri," ucap Windi memulai cerita.

Riana sedikit menaikkan alisnya. "Kenapa tiba-tiba lo suka dia?" tanyanya.

"Mmm ... pas MOS kemarin kan dia jadi perwakilan seluruh anak kelas 7, dan saat itu yang gue liat Akmal tuh tipe cowok dengan pemikiran dewasa. Pokoknya berkarisma banget deh. Dan parahnya lo tau nggak Ri ... pas lagi penyuluhan di aula, sumpah itu dia keliatan cool banget, bikin gue melting."

"Emang lo pas itu duduk dimana?" tanya Riana.

"Di sampingnya persis ya Allah. Tapi, dia gak peka," kata Windi sambil membuka matanya.

Yaps, kebiasan mereka adalah memejamkan mata saat salah satu dari mereka sedang bercerita lalu mereka akan menuju alam mimpi masing-masing.

"Ri, lo gak tidur kan?" tanya Windi saat dirasanya sang sahabat tak kunjung angkat bicara.

"Enggak, lanjut aja," pinta Riana.

"Oke, nah padahal ya gue tuh udah cari perhatian  ke dia."

Riana kembali menaikkan sebelah alisnya lalu menatap Windi.

"Mmm ... gini gue sengaja nyapa kakak-kakak OSIS biar dia tuh ngelirik gue."

"Memalukan."

"Namanya juga berusaha, ‘kan?” jawab Windi asal sambil menampilkan deretan gigi putihnya.

"Terus apa lagi?" tanya Riana.

"Gue sengaja manggil-manggil temen SD gue yang duduk di samping dia juga."

"Terus-terus," ucap Riana sumringah sambil membuka matanya yang terpejam.

"Ya gitu," ucap Windi ambigu.

"Ya gitu gimana?"

"Dia tetep aja gak ngelihat gue, Ri!"

Sati detik. Dua detik. Dan berikutnya tawa Riana pecah.

"Dih malah ketawa." Windi mencebik kesal sambil melangkah menuju meja belajarnya.

"Abis lo bikin gue ngakak tau nggak," tutur Riana.

"Awas aja kena karma."

Baru saja Windi mengatakan itu tiba-tiba saja Riana terjatuh.

"Rasain tuh hahah," ucap Windi.

"Lanjut aja deh cerita lo," ujar Riana sambil bangkit dari posisi jatuhnya.

"Gue juga berharap semoga bisa satu kelas  dan sekarang akhirnya bisa kejadian," lanjutnya dengan kekehan.

"Iyain deh biar lo seneng," balas Riana."Jadi dulu pas lo cerita Akmal-Akmal itu ternyata dia," Lanjutnya.

"Hehe iya dia."

"Jadi lo, suka apa kagum sama dia?" tanya Riana.

"Mmm ... gue kagum aja sih."

"Kirain gue lo suka dia."

"Gak tau juga si tapi mmm ... untuk saat ini gue masih kagum aja sama Akmal."

"Eh, tapi kalo lo cuma kagum aja, kenapa lo suka banget gangguin dia?" Riana bertanya dengan wajah bingung.

"Karena kebahagiaan gue tuh gangguin dia," sahut Windi dengan senyum khasnya.

"Tapi nanti dia ilfeel sama lo."

"Gapapa si, nanti bakal cinta juga sama gue."

"Idih PD banget lo." Riana menimpali.

"Biarin aja sih."

Belum sampat Riana berbicara suara dering ponsel milik Riana berbunyi menampilkan nama "Daddy".

***

"Hallo, Dad."

"....."

"Iya, ini Riana udah mau pulang kok. "

Setelah sambungan telepon terputus Riana memasukan ponselnya ke dalam saku.

"Kenapa?" ucap Windi sambil meletakan gelas yang berada di tangannya.

"Suruh pulang sama dad."

"Yaudah ayo gue anter." Windi beranjak menyambar kunci motornya.

Hanya membutuhkan waktu 10 menit agar mereka sampai di pinggir jalan raya.

"Ini serius cuman sampai sini?" tanya Windi lagi

"Iya sampai sini aja." Riana mengangguk, sambil melepaskan helm yang dia pinjam dari sahabatnya itu.

"Oke deh, hati-hati ya," pesan Windi.

"Iya, makasih udah nganter." Riana menarik sudut bibirnya ke atas.

"Oke santai aja," ucap Windi kemudian kembali berkata, "apa perlu gue tunggu sampai jemputan lo dateng?"

"Gak usah Win, lo pulang aja gapapa," cicitnya dengan senyum yang dibuat semanis mungkin.

"Serius nih?"

"Iya serius, sans aja," jawab Riana sekenanya.

"Oke deh, kalo gitu gue duluan ya," pamit Windi seraya menstarter motornya.

"Iya, titi dj ya Win." Riana tersenyum.

"Bye Rin." 

Melambaikan tangan, Windi lantas melajukan motornya kembali ke jalan yang tadi ia lewati. Riana sendiri kini menaiki sebuah angkot kurang lebih 10 menit sebelum sampai di sebuah kafe bernuansa klasik.

Riana memperhatikan kafe itu sekali lagi. Ornamen dan hiasan dindingnya begitu kental nuansa Itali. Lukisan 3D yang terlihat seperti sebuah lorong memenuhi dinding. Yang membuat pengunjung seakan sedang berada di pinggir bangunan-bangunan kuno di negara tersebut.

Senyum Riana mengembang saat tatapan matanya melihat sosok pemuda seusianya tengah duduk di pojok sana.

"Hai Akmal, maaf ya aku telat. Tadi aku bantuin Windi ngerjain PR dulu.”

Akmal langsung berdiri, saat melihat Riana menghampirinya.

"Duduk Ri, gak pa-pa kok. Gue juga baru aja nyampe,” kilah Akmal yang tak ingin membuat Riana merasa tak enak, karena lama menunggunya.

"Bagus deh kalo gitu, abis aku tuh gak enak aja sama kamu. Bikin kamu nunggu, tapi mau gimana lagi. Windi kesulitan ngerjain PR-nya.” Riana memasang wajah kecewa.

"Kamu hebat ya, segitu perhatiannya sama sahabat. Padahal kalo aku liat, Windi gak segitu perhatiannya sama kamu. Tapi justru kamu bela-belain dia terus, apalagi pas Pak Hando mau ngehukum dia tadi.”

Riana tersipu mendapatkan pujian dari Akmal.

"Windi kan sahabatku, jadi wajar dong kalo aku belain. Ya walaupun dia suka semena-mena sama aku. Tapi, aku tetep sayang sama dia. Apalagi kalo aku gak bantuin ngerjain PR-nya, bisa-bisa nanti dia marah sama aku.”

Mendengar ucapan Riana, Akmal langsung terlihat terkejut. Jelas dirinya tak menyangka, ternyata Windi tak hanya petakilan dan hiperaktif, gadis itu juga tega memanfaatkan sahabatnya agar bisa mendapatkan semua yang diinginkan.

Akmal tersenyum kecut.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro