TUJUH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : AfifahAzzahro2 dan Noorah91

[Flasback On]

Hari demi hari berganti dengan cepat bagi mereka. Windi dan Riana. Dua gadis yang mengisi hari dengan bersama, canda, dan tawa. Namun terkadang diselingi pertengkaran yang berakhir senyuman kembali. Walaupun berbeda tingkah laku, hal itu tak membuat mereka mempermasalahkannya. Yang dibutuhkan hanyalah kesetiaan.

"Riana!" Windi berlari sambil menuruni anak tangga untuk berjalan bersisian bersama sahabatnya itu.

Langkah Riana terhenti saat suara familiar berteriak memanggil namanya. Ia berbalik badan dan alhasil mendapati Windi yang tengah berlari dengan tergesa-gesa.

"Iya? Kenapa?" tanya Riana saat Windi telah di hadapannya.

Windi mengatur napasnya yang tidak teratur. Setelah merasa tenang, dia menjawab, "Mau ke kantin?"

Riana terkekeh pelan melihat Windi seperti itu. "Kirain ada apa. Iya nih. Lo?"

Windi mendengus. "Malah diketawain dah. Sama, mau ke sana juga. Barengan yaw."

"Aku ngga ketawa. Cuma nyengir," balas Riana sambil tertawa pelan.

"Sama aja, Riana," gerutu Windi karena kesal. "Nyebelin."

"Hihihi, ya udah, ayo!"

Setelah perdebatan absurd, mereka berdua berjalan sampingan menuju kantin. Pelajaran tadi membuat Windi dan Riana kelaparan. Terlebih lagi mereka tidak sarapan saat pagi hari. Inilah salah satu kesamaan mereka, tidak pernah sarapan.

Windi memeluk lengan kanan Riana. Wajahnya memancarkan rasa bersalah. "Riana, Sorry ya, tadi gue ada urusan bentar. Jadi lo harus ke kantin duluan sendiri."

Riana tersenyum tipis. "Ya, ngga papalah. Santai aja."

"Makasih." Senyum Windi merekah.

Beberapa detik kemudian, mata Windi berbinar dengan senyuman lebarnya. Seolah-olah melihat gebetannya lewat dan itu nyatanya.

"Ri, ada Akmal!"

Tepat, Akmal dan teman-temannya lewat, Windi berteriak, "Haiiii Akmal! Jangan kangen yaw."

Mendengar itu, Akmal bergidik ngeri. "Dasar cewek stress."

"Iya, stress mikirin kamu," jawab Windi asal-asalan.

Satu lagi, Akmal kelas sembilan dan sekarang ia sekelas dengan Windi dan Riana. Beberapa temannya yang merupakan siswa di kelas Windi dan Riana juga tertawa mendengar gombalan siswi populer itu. Sedangkan Akmal menggeram kesal dengan Windi yang baginya centil itu. Sejak satu kelas dengan Windi, hidup Akmal kacau dan penuh kekesalan.

"Gila!" Detik kemudian Akmal langsung pergi dari tempat itu yang barulah disusul teman-temannya.

Windi merengut masam. Kemudian dia menoleh untuk menatap Riana yang diam. "Menurut lo, Akmal itu gimana, Ri?"

Riana mengerjap lalu menatap Windi. "A ... Akmal?"

"Yap. Doi gue," kata Windi dengan senyum sumringah. "Apa menurut lo?"

"I ... iya gitu," jawab Riana kaku.

"Begitu gimana? Jelek atau ganteng?" Windi begitu semangat mempertanyakan tentang sosok yang dia suka, Akmal Gabrielo.

"Emm ... atau!" seru Riana yang ingin mengalihkan pembicaraan.

Windi mendengus. "Riana nyebelin!"

Riana tertawa tipis. "Bener, kan?"

"Enggalah," jawab Windi. "Ya udah, pesen yok!"

Setelah memesan makanan masing-masing, mereka berdua memilih untuk duduk di meja yang kosong. Sambil menunggu, Windi dan Riana sesekali mengobrol hingga tiba pesanan mereka.

***

Kelas sembilan dua lumayan berisik karena guru IPA Biologi yang mengajar mereka tidak datang hingga jam kosong. Mereka tidak tanggung-tanggung memanfaatkan jamkos ini. Termasuk Windi dan Riana pun yang ikut bercerita bersama yang lainnya.

Akmal sebagai ketua kelas, ia sudah dua kali ke sana kemari mencari Bu Nur. Cara ampuhnya adalah menelepon lewat ponsel tetapi itu mustahil untuk dilakukannya pada guru.

"Jangan berisik, woy!" teriak Akmal membuat suara keributan berkurang sedikit. Bukannya tidak boleh ribut, hanya saja Akmal ngeri ada guru lain masuk dan menghukum mereka. Tapi, apalah daya, mereka tetap ribut dengan volume keras pula.

Tiba-tiba seorang perempuan memasuki kelas sembilan dua. "Permisi."

Beberapa pasang mata tertuju kepadanya sebentar. Lalu kembali melanjutkan kegiatan masing-masing.

"Windi! Dicariin Caca."

Windi menoleh ke belakang dan mendapati Elsa, salah satu teman cheersnya yang sedang tersenyum simpul ke arahnya.

"Oke." Windi membalas. Kemudian dia beralih menatap Riana yang duduk di samping bangkunya. "Ria, aku ada urusan untuk ekschool nih, kamu dan yang lain lanjut aja ceritanya."

Riana dan kedua temannya mengangguk.

"Oke. Semangat ya!" Riana mengulas senyum di wajahnya.

"Pasti dong!"

Saat Windi beranjak, mata Riana sekan tak bisa berhenti menatap Akmal dalam diam. Walaupun dirinya berbincang hangat dengan teman-temannya. Matanya terus mencuri padang, pada lelaki kaku namun menawan, teman sekelasnya itu.

"Ri, lo dengerin omongan gue gak sih?" Anita, salah satu temannya yang duduk tepat di belakangnya menaikkan sebelah alisnya.

"I-iya dong, gue denger!"

"Apa coba?" Riana hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Emm ... dah ah, mending kita mulai baca. Bentar lagi pak Hando datang, Fisika gitu loh. Kalian udah belajar belum?"

Anita, dan yang lainnya hanya menggeleng. Saat mendapati sikap Riana yang tak seperti biasanya.

Pelajaran fisika sudah dimulai. Pak Hando yang terkenal dengan hukuman keliling lapangan basketnya. Disaat ada siswa yang telat lima menit mengikuti pelajaran yang dibawakannya.

"Windi mana sih? Pak Han udah mau absen juga." Anita bergumam di belakang Riana, yang mendapat gelengan kepala oleh Riana.

"Wardani?"

"Hadir pak!"

"Windi?"

"Masih belum masuk pak," jawab Akmal.

Mendapat jawaban yang tak seharusnya, Pak Hando langsung mengangkat wajahnya. Menatap bangku yang ditempati Riana dan Windi. Namun, belum juga sepatah kata terucap dari mulut Pak Hando. Sebuah ketukan menghentikannya.

Tok tok tok ....

"Permisi Pak, maaf saya terlambat." Windi melangkah masuk, dengan senyum di bibirnya.

"Kamu, siapa yang menyuruhmu duduk?" Pak Hando mwnghampiri Windi, saat ia hampir saja mendudukkan bokongnya di atas kursi.

"Loh, bukannya pelajaran bapak sudah mau mulai?" Windi justru balik bertanya.

Mendapat pertanyaan balik dari muridnya, jelas membuat Pak Hando geram.

"Kamu, keluar! Keliling lapangan basket 10x!" mata yang dibalut kaca mata tebal itu menatap tajam Windi.

Windi hanya mampu mengangguk, dan hampir melangkah. Namun, Riana menghentikannya.

"Pak, Windi kan masih telat empat menit lima puluh dua detik! Artinya masih ada waktu delapan detik, dari waktu yang bapak tepatkan sebagai pelanggaran waktu!" Pak Hando merasa geram, saat Riana membela Windi. Namun juga tak bisa mengelak, karena itu benar.

Di samping jajaran bangku mereka, sepasang mata menatap kagum pada gadis itu. Wajah tampannya dihiasi senyum, saat mendengar Riana membela temannya, yang menurutnya tak perlu dibela itu. Akmal merasakan sebuah getaran, ketika mata hitamnya menatap senyum Riana pada Windi, seakan gadis meyakinkan sang sahabat jika dia ada untuknya.

Sedangkan Riana merasakan jika ada sosok yang terus menatapnya diam-diam. Dengan ekor matanya, Riana mendapati senyum Akmal padanya. Yang membuat ia menang telak dari sang sahabat–Windi.

'Ini yang gue cari!' segaris senyum tipis terlihat di wajahnya, yang mencoba diredamnya agar tak ada yang melihat.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro