ENAM

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : Zulfa_Fauziyyah

"KaWin bangun!" teriak dua bocah kecil itu sembari menindih tubuh Windi yang masih terbalut selimut.

Gadis itu tampak terganggu, tapi tetap tidak berniat beranjak saat ini juga. Matanya terpejam sempurna dengan sedikit lingkaran hitam di bawah matanya.

"KaWin bangun!" teriak Marco lagi, kali ini sambil menggoyang-goyangkan lengan Windi perlahan.

"Apa sih, Co? Kakak masih ngantuk. Ini masih pagi."

"Ih, KaWin entar telat loh. Udah jam enam, Kak," tutur Tifa.

Sontak mata Windi terbuka sempurna. Diliriknya jam weaker di atas nakas dengan penuh keterkejutan. Bangun dari ranjang, gadis itu berlari ke arah jendela dan membuka gordennya lebar-lebar. Gelembung air sisa hujan semalam nampak masih setia di sana. Langit memang masih berwarna kelabu dengan awan yang berarak cepat ke arah selatan.

Windi bergerak cepat, memastikan bahwa ia tidak akan terlambat hari ini.

Waktu bergerak cepat meninggalkan sang mentari yang masih tertidur di ufuk timur. Gadis itu memacu motornya dengan kecepatan tinggi, minus waktu berkhayal seperti kemarin. Ia tidak boleh lengah lagi.

Gerbang SMA Alamanda hanya berjarak 20 meter lagi, namun Windi masih berkutat dengan kemacetan yang pagi ini semakin parah dibanding biasanya. Meskipun begitu gadis itu tetap bersyukur, ia telah sampai di sekolah meskipun hanya menyisakan waktu lima menit sebelum bel masuk berbunyi.

Menenteng tas selempangnya yang hanya berisi pakaian cheers, Windi melenggang melewati koridor dua untuk sampai di koridor enam tempat kelasnya berada. Cukup melelahkan memang. Apalagi jika mengingat luas sekolahnya hampir mencapai 10.000 meter atau setara dengan satu hektar. Belum lagi letak setiap angkatan yang berjauhan dan dipisahkan oleh taman bunga dan puluhan pohon cemara berukuran raksasa.

Ceklek ....

Windi baru saja memasuki kelasnya ketika hampir semua temannya bersorak, "Huuu ...."

"Ya elah kirain Bu Andini," celetuk salah seorang murid.

Windi tertawa pelan sembari berjinjit ke arah tempat duduknya.

"Ke mana aja lo? Tumben banget telat," sapa Anin tanpa mengalihkan fokusnya dari buku PR.

Windi meletakkan tas ranselnya beserta tas jinjing di bawah kursi. "Lo tau kan kalo gue tuh anak yang super duper rajin? Nah, tadi malem tuh gue begadang bikin PR Bahasa Inggris, jadinya ya gini deh," bebernya sambil terkikik geli.

"Yee ... pede amat hidup lo!" kata Anin sambil menoyor kepala Windi pelan.

"Bu Andini! Bu Andini!" teriak salah seorang teman sekelas Windi yang membuat satu kelas tiba-tiba senyap.

"Win, lo tau nggak, tadi gue liat Riana berangkat bareng Akmal."

Windi menoleh cepat. "Apa lo bilang?"

***

Pluit dibunyikan, perebutan bola satu lawan satu antar pemain AGT terjadi. Meskipun hanya sebuah latihan, tapi mereka tampak seperti benar-benar menyaksikan pertandingan sesungguhnya.

Duduk di salah satu sisi tribune bersama anggota cheers lainnya, Windi tampak fokus. Ia melihat keindahan dalam permainan tersebut. Walaupun hanya kumpulan para gadis, tapi Windi mengakui kehebatan mereka.

"Yang pake nomor punggung 12 itu siapa sih?" tanya Windi tiba-tiba.

"Dua belas yang mana?" tanya Lina mulai kepo. Pasalnya, ia tidak ingat ada pemain basket perempuan di SMA alamanda yang menggunakan nomor 12 selama ini.

"Namanya Mikayla. Dia anak baru kelas 10 IPA 3. Dan lo tau ...."

Windi, Lina, dan beberapa teman mereka yang mendengar kini menatap gadis itu penasaran. Sementara yang ditatap tampak menyandarkan bahunya lesu. "Brian kayaknya naksir sama dia."

"You say WHAT?"

"Ya, Brian naksir Kayla. Dan gue patah hati," curhatnya sambil memeluk tubuh Windi dari samping.

Lina terkikik geli. Bukan rahasia umum lagi jika seorang Anindya tergila-gila pada salah satu most wanted Alamanda. Sayangnya seperti Windi, dia juga harus melewati fase panjang untuk bisa mendapatkan hati sang pangeran. Yang membedakan hanya Anin hobi berganti pacar selagi mencintai Brian, tidak seperti Windi yang selalu setia pada satu orang saja.

Windi mengelus punggung sahabatnya pelan. "Udahlah, Nin, cowok bukan cuma dia doang, 'kan?"

Refleks, Anin menegakkan tubuhnya dan berujar, "Apa? Cowok bukan cuma dia aja? Hello, apa kabar elo yang juga senasib sama gue, Windi Ersa Fabian!"

Windi meringis. Ya, mereka memang senasib. Dan entah sampai kapan nasib mereka akan berubah menjadi lebih baik. Gadis itu membenci kenyataan bahwa ia ditolak. Tapi kemudian ia menggeleng. Tidak! Ia tidak ditolak. Dia hanya butuh usaha ekstra untuk mendapatkan apa yang ia mau.

"Dari pada lo repot-repot ngejar si Akmal yang nggak ada bagus-bagusnya, kenapa nggak lo ngejar si Leon aja yang ketauan rimbanya," cetus Lina berbisik di telinga Windi.

Gadis itu mengikuti arah pandang sahabatnya itu. Tepat di pinggir lapangan di mana para anggota Alamanda Boys Team atau yang lebih sering disebut ABT berkumpul.

"Leon itu sahabat gue. Dan Akmal itu cinta sejati gue."

"Lagian gue heran deh, apa sih yang sebenernya lo suka dari Akmal? Pinter, keknya dia nggak pernah ikut olim apapun. Cakep, biasa aja ah. Berbakat, nggak juga. Pokoknya si Akmal tuh B aja. Apa coba yang lo liat dari dia?"

Windi tampak berpikir keras. Suara bising dari teriak para pemain baket menggema, memenuhi setiap sudut lapangan indoor yang saat itu cukup lengang.

"Kelabu."

Anin, Lina, dan beberapa teman mereka yang lain menoleh serentak. Maklum, Windi mengatakan satu kata itu dengan cukup keras.

"Lo bilang apa, Win?"

"Akmal itu kelabu yang bisa indah jika disatuin sama warna-warna lain," tuturnya sambil tersenyum.

Ya, awalnya Windi memang menyukai Akmal. Hanya sebatas suka, tidak lebih. Baginya Akmal adalah sosok yang tegas, dewasa, serius, tapi juga tenang di sisi lainnya. Seperti batu karang. Persis seperti itu. 

Tapi di sisi yang lain, Akmal juga hanyalah manusia biasa. Kuat tapi lama-kelamaan bisa terkikis juga. Windi telah melihat semuanya lebih dari orang lain. Pemuda itu menyimpan kesedihan yang selalu berusaha ia tutup dengan ketegasan yang ditunjukkan pada orang-orang.

"Tapi juga jangan lupain, kalo kelabu yang lo sebut tadi udah punya warna hasil pemberian cewek laen," tutur Lina.

"Maksud lo si cewek caper itu?"

Lina mengangguk mantap.

Netra coklat gelap itu berputar searah jarum jam sambil mengibas-ngibaskan tangannya di udara. "Ehm, dia bukan masalah bagi gue. Lo liat aja nanti, pasti gue bisa singkirin virus nggak baik dari hidup Akmal," kata Windi begitu yakin.

Tawa keduanya pecah. Bahkan Anin sampai memegangi perutnya yang terasa keram sementara Lina sudah menitikkan air mata.

"Kurang ajar lo berdua. Sahabat macem apa sih!"

"Ya abisnya lo aneh. Eh, gue kasi tau ya Win, kayaknya Akmal tuh udah pantesnya sama Riana aja, sama-sama cupu. Elo terlalu bagus buat tuh cowok. Udah sih lupain aja, kayak nggak ada stok cogan aja di sini," ucap Lina santai.

"Dan apa lo bilang tadi? Virus? Eh, kalaupun ada virus, si Akmal bakal mikir itu elo, bukan Riana."

Mengerucut kesal, Windi memutuskan beranjak dari tempat duduknya. Tepat ketika peluit tanda break dibunyikan.

"Akmalitu punya gue. Cuma punya gue, oke?" katanya berlalu.     

To be continued ....



Fyi,

AGT : Alamanda Girls Team

ABT : Alamanda Boys Team

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro