LIMA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : AngeliaAngdi dan Zulfa_Fauziyyah

Windi berdiri di depan sebuah pintu kayu yang terlihat kokoh. Gadis itu merapikan rambutnya dan mengecek apakah pakaiannya sudah rapi. Dia ingin bertamu ke rumah masa depannya, jadi, dia harus tampil menarik agar memberi kesan maksimal. Puas dengan dirinya, tangan mungil tersebut terangkat ke udara kemudian mendarat pelan di muka pintu, menimbulkan suara ketukan yang nyaring.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Seseorang dari balik pintu menyahut tak lama kemudian.

Ketika pintu terbuka, mata coklat gelap Windi bersinggungan dengan mata hazel yang sangat indah. Persis seperti milik Akmal. Bedanya, laki-laki yang berdiri di hadapannya kini adalah pria paruh baya. Meskipun begitu, sisa ketampanan seolah enggan meninggalkan wajahnya yang terbingkai kaca mata tipis.

"Siapa ya?" lanjut laki-laki tadi.

Windi tersenyum manis. Gadis itu meraih punggung tangan pria tadi kemudian menciumnya. "Saya Windi, Om. Saya temenya Akmal."

"Oh, temennya Akmal," ulang laki-laki tadi kemudian melanjutkan, "ada apa ya?"

"Ehmm ... saya mau ketemu my pri— eh, maksudnya Akmal, Om," kata Windi. Sebisa mungkin gadis itu mencoba bersikap sopan dan tidak membuat citranya buruk.

"Begitu. Ya sudah, masuk dulu yuk!" ajak laki-laki itu. "Oh ya, saya Yanuar, ayahnya Akmal."

Yanuar tersenyum ramah ke Windi. Ia membimbing gadis itu berjalan lebih jauh memasuki rumahnya sebelum mempersilakan Windi duduk di ruang tamu.

"Nak Windi duduk dulu ya, om panggilin Akmal." Berbalik badan, pria itu memanggil putra bungsunya. "Akmaalll!! Ada yang nyari kamu nih!!"

"Iya Pa, sebentar!" Terdengar suara Akmal.

Sembari menunggu, Windi mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah Akmal yang tampak megah dan mewah lebih dari yang ia lihat dari luar.

"Nak Windi tadi ke sini naik apa?" tanya Yanuar memecah keheningan.

Tersenyum ramah, Windi lantas menjawab, "Naik motor, Om, sama temen."

"Siap—" Akmal yang baru saja sampai di ruang tamu shosck. Mata hazel-nya menyipit dengan retina yang tampak awas. "Lo ngapain ke sini!" bentaknya.

Refleks Windi menatapnya dengan pandangan bertanya juga kesal yang terlukis sempurna.

"Akmal, papa nggak pernah ngajarin kamu jadi kurang ajar ya sama perempuan," ucap ayahnya memperingati.

Seketika senyum Windi terbit kembali. Dengan sikap yang sangat sopan ia kembali berujar, "Nggak pa-pa kok, Om, saya udah biasa digituin."

Mata Akmal hampir keluar ketika mendengar kata-kata itu hinggap di telinganya. Gadis itu benar-benar keterlaluan. Bagaimana mungkin ia bisa mengatakan hal yang justru sangat berbanding terbalik dengan kenyataan. Biasa digituin, huh? Akmal mendengus kesal.

Yanuar menatap anaknya dengan pandangan mengancam. "Pa, nih anak suka boong, Papa percaya sama Akmal," kilahnya.

"Akmal," ancam Yanuar yang mendapat anggukan lemah dari putra bungsunya tersebut.

"Oh ya, sekarang saya tau kenapa Akmal bisa cakep kayak gini, ternyata Om sendiri masih cakep banget meskipun udah berusia," tutur Windi memuji ketampanan Yanuar.

Akmal melotot ke arah Windi. Walaupun dia sedang dipuji ayahnya dan Windi, dia tetap merasa jijik kalau Windi yang mengucapkannya.

Pria itu terkekeh pelan. "Nak Windi bisa aja, kamu juga cantik kok, pasti di sekolah banyak yang suka."

Windi tersenyum malu sambil melirik Akmal yang masih berdiri tak jauh dari sofa tempat Yanuar duduk.

"Eh omong-omong, om curiga, jangan-jangan kalian pacaran ya?"

Windi baru saja mau 'meng-iyakan' tapi dengan cepat Akmal menyahut, "Nggak! Kita cuma temen. Nggak lebih. Atau lebih tepatnya dia MUSUH aku, Pa."

Gadis itu memberenggut. Dia ingin memprotes, tapi bisa-bisa Akmal mengusirnya sekarang. Tidak! Pencitraannya belum selesai sampai di sini. Dia tidak akan kalah sebelum benar-benar sampai di medan pertempuran.

"Mal, mending kamu buatin teh hangat buat Windi. Papa mau istirahat dulu," perintahnya sambil melangkah menjauhi muda-mudi tersebut.

"Puas lo?" ungkap pemuda itu sewot sembari berjalan ke arah dapur.

Tak lama kemudian, Akmal datang dengan dua cangkir teh yang masih mengepul. Dan tentu saja, pemud itu hanya bisa berwajah masam.

"Lo ngapain sih ke sini? Terus lo juga tau rumah gue dari mana?"

"Emmm, itu ... tadi gue mau pulang ke rumah, kebetulan liat lo masuk ke sini. So, gue mampir deh," jawab Windi dengan senyum yang lebar.

"Eh iya, by the way, nyokap lo mana, Mal?"

"Dia lagi diluar," jawab Akmal cuek.

"Duh yang lagi ngambek, jangan cuek gitu dong. Iya gue salah karna dateng nggak ngabarin lo apalagi ba—"

"Bisa diem nggak!" bentak Akmal.

"Bisa kok bisa, tap—"

Belum sempat Windi berucap, Akmal kembali memotong kalimatnya. "Gue bilang diem, Windi, lo tuh nggak tau apa kal—"

"Hah? Apa, Mal? Barusan lo manggil nama gue?" tanya Windi dengan wajah berseri.

Akmal yang mendengar penuturan gadis itu hanya bisa melongo sambil menepuk keningnya.

Windi tersenyum riang sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang. "Ya udah sih jangan marah mulu, entar cepet tua loh. Gue mau balik duluan, salamin ke ortu lo ya!" kata Windi seraya meraih sling bag-nya.

Sebelum mencapai pintu, Windi kembali berbalik. "Oh ya, entar kalo lo kangen, lo telpon gue aja ya! Bye, my prince," ucapnya sambil memberi ciuman jauh pada pemuda itu.

Akmal bergidik sebelum membanting pintu rumahnya tepat sebelum Windi mencapai pagar.

***

"LINAAAAA!!!" teriak Windi yang sukses membuat dua gadis itu menjadi pusat perhatian.

"Apaansihhh santai ajaa kaleee," sahut Lina.

"Gue berhasil kenalan sama bokapnya Akmal! And guess what, Om Yanuar kayaknya ngerestuin hubungan kita. Ahhh, seneng banget gue," cerocos Windi.

"Hahahaha, betewe lu bahagia amat, gue nunggu di luar sampai jamuran tau nggak. Udah yok anterin gue pulang, gue nggak peduli."

"Astagaaa, yaudah-yaudah, yuk balik! Rumah lo di mana?" ujar Windi asal.

"Yaampunnnn Akmal aja yang lo pikir, alamat gue lo lupain masa?"

Windi hanya cengengesan. Jarinya membentuk huruf V di udara sembari berkata, "Peace Lin, canda doang elah. Gitu aja ngambek, entar cantiknya ilang loh."

Lina hanya memutar bola matanya bosan. Gadis itu menyodorkan tangannya ke arah Windi, membuat gadis berambut sepunggung itu menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Duitnya, Win! Lo kan tadi udah janji mo nraktir gue."

Meraih dompetnya, Windi mengeluarkan selembar dua puluh ribuan kepada penjual gado-gado tempat sahabatnya makan tadi.

"Dah tuh, yok balik!"

***

Awan hitam bergumpal, menciptakan rintik-rintik kecil berjatuhan di atas bumi. Orang-orang berlarian di pinggir jalan, berusaha sampai di tempat tujuan sebelum tubuh mereka basah kuyup. Sementara para pengendara sepeda motor berpacu, menimbulkan deru yang memekakkan telinga.

Di antara para pengendara tersebut, ada Windi yang sesekali menyalip pengendara lain dengan kecepatan di atas rata-rata seharusnya. Ia membenci hujan, maka dari itu, ia harus sampai rumah sebelum air tumpah lebih banyak.

Tidak seperti saat berangkat tadi, jalanan sore ini begitu padat. Angin berembus kencang hingga menerbangkan rambut lurusnya yang sebagian tidak tertutup helm.

Jantungnya berdetak cepat, membuat Windi menggigil entah karena apa. Selalu begitu. Dan satu-satunya hal yang bisa menenangkan gadis itu hanyalah pelukan sang ayah. Satu-satunya orang yang bersedia menemaninya sedari kecil. Bahkan saat hari-harinya tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Pikirannya mulai berkelana. Ia ingin merasakan kehangatan mentari di pagi hari dengan sisa embun di kedua kakinya. Ia ingin boneka beruang kecilnya ketika ia tertidur, menemaninya saat mimpi buruk perlahan menguasai pikirannya.

Ingatsemua hal indah itu, Windi lupa tempatnya berada. Motornya masih mencobamembelah jalanan ibu kota yang terasa sedikit licin. Tak lama kemudian iaberbelok, mencoba memanuver kedua rodanya dengan cepat. Berhasil!   Roda-roda motornya kini bersinggungan dengan aspalperkampungan yang tak kalah licin dari jalan raya yang ia lalui tadi. 

Tapi tiba-tiba. "AWAS!" teriaknya kencang.

Secepat kilat Windi mengerem motornya hingga jiwanya seperti hampir terlepas dari raga. Matanya tertutup rapat. Ia mencoba menetralkan ketakutan yang tiba-tiba menguasainya. Merasa kesadarannya kembali, ia kembali memfokuskan pandangannya ke depan. Tidak ada apapun. Tapi tak lama ia mendengar bunyi berisik dari balik punggungnya yang terbalut jaket parka.

Di sana, tepat di atas aspal, beberapa benda tampak bercecer. Sebuah tas karton ukuran sedang juga tampak tergeletak di antara seorang wanita berpenampilan modis. Wanita itu berlutut sambil memungut barang-barangnya kembali. Cepat-cepat Windi turun kemudian menghampiri wanita tadi.

"Maaf, Bu, saya nggak liat tadi," ucap Windi sembari membantu wanita tadi.

Tapi bukannya menerima, wanita tadi justru menepis tangan Windi yang hampir menyentuh barangnya sembari berkata, "Jangan sentuh barang-barang saya!"

Windi diam. Lidahnya kelu barang untuk mengucap satu patah kata saja. Ia sadar ia salah tadi. Dan kenyataan itu seolah menghempaskan tubuhnya bermil-mil jauhnya.

Tak lama wanita itu kembali berdiri. Kedua tangannya mendekap tas tersebut dengan erat.

"Anak sekarang memang ceroboh. Dan gadis seperti kamu jelas tidak bisa berhati-hati dalam melakukan segala hal," tutur wanita itu yang Windi taksir seumuran ayahnya. "Saya harap, saya tidak akan bertemu gadis seperti kamu lagi."

Windi hanya bisa mematung melihat tubuh yang dibalut pakaian mahal tersebut berjalan menjauh hingga hilang dengan sebuah Honda Jazz keluaran terbaru.

Dan entah mengapa, perkataan wanita tadi seperti menyedot tubuhnya ke dalam black hole yang ia sendiri tidak tahu di mana ujungnya. Pilu. Air matanya bahkan hampir menetes seiring derasnya gerimis yang perlahan muncul kembali.

Windi menengadah, menghalau air mata yang sebentar lagi lolos dari kelopak matanya yang lentik.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro