EMPAT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : 01PenulisAmatiran dan Zulfa_Fauziyyah

"Huh, kok gak diangkat si," ucap seseorang yang sedang bercermin di depan meja rias.

***

"Hal—"

"LINAA!!" teriak Windi tanpa memberi kesempatan bagi gadis di seberang sana menyapanya lebih dulu.

"Yaelah Win, nggak usah teriak napa?" ucap Lina sambil menjauhkan ponselnya karena suara Windi. "Ada apa?" lanjutnya.

Windi tersenyum watados. Kakinya ia naikkan hingga duduk bersimpuh di atas ranjang. "Heheh maaf. Hmm, jadi gini, Lin, gue tuh mau minta tolong ...," katanya sambil memilin rambut sepunggungnya dengan sebelah tangan, "gue—anterin gue nyari Akmal yuk!"

"Kemana?" ulang Lina memastikan.

"Ngikutin Akmal, kan dia mau anu," tutur Windi.

"Anu apa? Yang bener dong jangan ambigu gitu elah. Gue mana tau bahasa planet lo, Windi!"

"Hehe maksud gue, Akmal sama CEWEK CENTIL itu kan mau ke kafe sore ini."

"Terus?"

"Gue mau ngikutin mereka, temenin ya plis," ucap Windi sambil memasang suara sedih yang dia buat.

"Kapan?" tanya Lina sambil menelan makanannya.

"Nanti soreeee," ucap Windi sumringah. "Loo masih makan ya?" Tanya Windi tepat sasaran.

"Iya nih," sahut Lina sembari mengunyah makanannya.

"Gue traktir makanan yang lo suka deh tapi ... lo nemenin gue ya."

"Gampang, bisa diatur." Lina menarik sudut bibirnya ke atas. Dia tidak habis pikir sahabatnya itu rela mengeluarkan uang hanya untuk Akmal.

"Yes!" peikik Windi kemudian berkata, "Gue jemput jam 4 nanti dan lo harus udah siap, oke?" ujar Windi memaksa.

"Iya, iya," jawab Lina kemudian membalik ponselnya di atas meja hingga sambungan telepon terputus otomatis.

Di kamarnya, Windi menatap pantulan dirinya. Gadis itu menghembuskan napas lega. "Untung ada yang nemenin," ucapnya sambil menyunggingkan senyum termanis.

"Oke, gue harus siap-siap sekarang," katanya pada diri sendiri. Windi melangkah menuju lemari pakaian di sudut kamarnya yang bersebelahan dengan toilet. Pilihannya jatuh pada jeans panjang navy blue yang ia padukan dengan kaos putih serta rayon vest yang nampak serasi dengan celana.

Setelah memoles wajahnya dengan bedak tipis dan pewarna bibir, ia menuruni anak tangga yang menghubungkan lantai 1 dan lantai 2. Langkahnya riang.

"Ma, Windi keluar bentar ya!" teriaknya karena sang mama sedang berada di dapur.

"Iya, hati-hati!" sahut Dira ikut berteriak.

"Pa, Windi keluar dulu ya," pamit Windi kepada sang papa..

"Duit jajan?" tanya Tomi.

"Hehe iya, Papa tau aja." Gadis itu meringis hingga terlihat lesung pipi di salah satu sisi.

"Manis banget anak papa kalau lagi senyum." Tomi merogoh saku celana yang tengah dikenakannya kemudian mengeluarkan sebuah benda berbentuk persegi.

"Iya dong, siapa dulu papanya."

Tomi hanya bisa tersenyum tipis menanggapi ucapan anak sulungnya itu. Tangannya masih sibuk mengecek isi dompetnya sebelum menarik tiga lembar uang serarus ribuan. Menyorongkan lembaran itu ke arah Windi, Tomi kembali menyesap kopinya.

"Banyak banget, Pa," ucap Windi.

"Udah bawa aja, buat jajan kamu besok sekalian."

Gadis itu menggenggam pemberian ayahnya dengan perasaan senang. Tangannya ia rentangkan, siap untuk memeluk ayahnya dari samping. "Papa baik deh, Windi jadi tambah sayang."

Tomi menilik gadis itu dengan bibir terangkat. "Iya, udah sana pergi," candanya mengusir Windi.

"Ih, Papa kok gitu si. Masa anaknya sendiri diusir," rajuknya sembari berdiri tegak di samping sofa. "Ya udah deh, aku berangkat aja kalo gitu." Meraih tangan sang ayah dan menciumnya, Windi lantas melenggang ke arah pintu.

"Hati-hati ya, bawa motornya!" nasihat Tomi sebelum Windi benar-benar hilang di balik pintu.

"Oke. Assalamualaikum." Gadis itu mengacungkan jempolnya, mengucap salam, kemudian meneruskan langkah.

"Wa'alaikumsalam."

Windi melangkah ke garasi. Ia menyibak terpal putih yang membungkus motor scoopy putihnya.

"My Prince tunggu aku," ujar Windi pada dirinya sendiri sambil memakai helm.

Tak butuh waktu lama berada di sana, Windi segera menstater motornya. Dia mengendarai motornya dengan kecepatan 60km/jam.

Ia menikmati sore itu. Matahari yang tampak hampir kembali ke peraduannya menyinari kulit putihnya. Wajah gadis itu tampak semakin cantik dengan semburat orange yang mengenai wajah dan retinanya.

Daun-daun di tepi jalan berguguran kemudian terbang ketika satu per satu kendaraan melintas. Jarak rumah Windi dan Lina memang jauh tetapi ia hanya butuh waktu 20 menit untuk di sana.

Windi melirik jam tangan Guci yang bertengger di tangan kirinya lalu melepas helm dan melangkah menuju pintu utama rumah Lina. Gadis itu memencet bel sekali. Kemudian dua kali tidak ada jawaban. Baru bel ketiga, seorang gadis tampak meneriakinya dari jendela lantai dua.

"Bentar, Win!"

Windi berjengit kaget. Kepalanya mendongak, mencoba mencari sahabatnya itu.

"Cepetan, Lin!" teriaknya.

Gadis itu berdiri menatap jalanan di depannya kemudian menilai beberapa rumah di sekitar rumah Lina yang semuanya hampir terlihat sama. Lama Windi berdiri di sana. Ia bahkan sesekali menghitung kendaraan yang lewat di depannya. Rumah Lina sepi, tidak ada keluarganya, tidak ada asisten rumah tangga, tukang kebunpun juga tidak terlihat di sana. Keadaan itu mungkin juga tidak berbeda jauh di setiap rumah kompleks perumahan itu.

Orang kaya memang senang sekali meninggalkan rumahnya dalam waktu yang cukup lama. Dalam hati Windi bersyukur, meskipun ia berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, tapi rumahnya tampak asri dan yang terpenting selalu berpenghuni dan terawat.

Ceklek ....

Pintu rumah Lina berderit terbuka. Menampilkan sosok gadis berambut sebahu yang telah siap dengan tasnya. Ia menyisir rambutnya dengan tangan dan menatanya sedemikian rupa.

Windi hanya menatapnya aneh. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Linaa, gue hauss," kata Windi kemudian berjalan masuk.

"Astaga Windi, jangan ngagetin gue napa," ucap Lina.

Windi terkekeh pelan kemudian mengikuti langkah Lina ke arah dapur. Ia duduk di kursi bar, menunggu temannya itu menuangkan jus jeruk kemasan dari lemari pendingin.

Windi menegak habis minumannya kemudian menyambar tangan Lina agar berjalan cepat. Lina terpekik kaget. Ia mencoba mengimbangi langkah lebar sahabatnya sambil kembali membenarkan poninya.

"Ayo buruan sebelum My Prince diambil cewek centil," pekik Windi heboh.

"Pakai helm lo," tutur Lina mengingatkan.

"Oh iya lupa." Windi tertawa garing.

Sepanjang perjalanan kedua gadis itu berdebat dikarenakan Lina meminta makanan kaki lima yang mereka lewati. Padahal, tadi siang gadis itu bilang sudah makan dan barusan mereka mampir sebentar di penjual siomay mangkal.

Tak lama motor kembali melaju di atas jalanan beraspal. Windi tidak menggubris rengekan sahabatnya itu lagi. Dalam hati, gadis itu selalu berpikir bahwa saat ini Lina—sahabatnya—tengah dalam masa pms.

"Akhirnya sampai." Windi bergegas melepas Helm yang dia gunakan kemudian berlari menyusuri halaman parkir basement di salah satu kafe besar di daerah Kemang. "Buruan, Lin!"

Lina menyusul Windi dengan setengah berlari. Untung baginya karna saat ini ia hanya memakai sneaker, dan bukannya high heels kesukaannya. Tapi bukan berarti dia juga bisa berlari secepat temannya itu. Demi cinta, Windi bisa berlari bahkan secepat kilat.

Kedua gadis itu memasuki sebuah lift yang kebetulan mengarah ke lantai dua, di mana kafe yang mereka datangi berada. Pintu berlapis besi itu tertutup kemudian benda itu bergerak naik secara otomatis. Sejenak, Lina sedikit oleng akibat berlari tadi.

Cepat-cepat gadis itu mencengkeram lengan Windi untuk menormalkan pegangannya. Windi sendiri tidak terlalu memperhatikan, gadis itu sibuk bergelut dengan pikirannya sambil sesekali melirik jam di tangannya.

Tak lama terdengar bunyi berdenting yang disusul dengan terbukanya pintu besi tadi. Windi menarik lengan Lina hingga mereka tiba di depan sebuah kafe yang didominasi warna hitam, putih, dan abu-abu.

"Itu ... itu My Prince," ujar Windi kembali heboh.

Meja Akmal terletak di tengah ruangan, menghadap langsung ke jendela besar yang mempertontonkan pemandangan kota Jakarta. Di samping pemuda itu, tampak seorang gadis duduk tengah memperhatikan tangan penjelasan Akmal yang entah mengapa tidak membuat pemuda itu risih. Windi geram, tidak ada seorangpun yang boleh duduk sedekat itu dengan Akmal kecuali dirinya. Gadis berpenampilan biasa itu bahkan berani merapatkan tubuhnya pada Akmal, meyulut kebencian yang kian berkobar di hati Windi. Bahkan gadis itu hendak bergerak maju jika saja Lina tidak menarik lengannya kuat.

"Jangan aneh-aneh deh, Win!"

"Tapi my prince—"

"Your prince nggak akan kenapa-napa. Udah kita duduk dan liat apa yang bakal Riana lakuin selanjutnya," potong Lina cepat.

"Tapi itu Ak—"

"Udah ayok duduk." Sekuat tenaga Lina memaksa sahabatnya itu duduk di tempat yang tidak akan diketahui kedua orang tadi.

Windi mendesah kecewa sambil membenamkan wajahnya di atas meja. Niat awalnya ke sini untuk mengganggu acara Akmal dan Riana, dan sekarang ia malah berakhir duduk menunggu. Sementara Lina sudah sibuk memilih menu yang akan ia pesan sembari menungguinya.

Great! Mereka sudah duduk berdekatan di sana dalam waktu lebih dari satu jam lamanya. Tapi seperti tidak ada niatan bagi salah satu atau keduanya beranjak dan pulang. Windi kembali memainkan Happy Pet Story di ponselnya. Tak lama kemudian, gadis itu merasakan pergerakan statis di sudut matanya, tempat yang tadi pangerannya duduk.

"Lin!" pekik Windi menggoyangkan bahu Lina perlahan.

"Mereka pulang ya?" tanya Lina memastikan.

"Mana gue tau."

"Mau ngikutin mereka?" lanjutnya lagi.

"Lo mau nemenin gue?" tanya Windi.

Lina memutar bola matanya kesal. "Apa gue punya dua pilihan sekarang?" Windi meringis. Tentu, dia tidak memberi Lina pilihan.

Keduanya berjalan agak jauh dari mereka. Akmal dan Riana sudah hilang di balik lift ke lantai dasar. Windi menekan tombol lift di sebelahnya tidak sabaran. Dilihatnya navigasi pada badan lift bergerak ke atas. Itu artinya mereka harus membuang waktu cukup lama untuk mendapatkan lift ke basement. Gadis itu mengumpat pelan.

***

Suara sepatu bergema memenuhi area parkir ketika Windi dan Lina berlari di sepanjang lorong. Napasnya terengah, tetapi dia meneruskan langkahnya untuk mencapai tempat motornya terparkir rapi dengan dua helm berwarna senada di kedua spionnya.

Buru-buru Windi memakai helm-nya dan menyerahkan yang satunya pada gadis berambut sebahu tadi. Menstarter motor, Windi membawa tubuh mereka keluar dari sana kemudian membuntuti motor Akmal yang untungnya masih terlihat saat ini.

Pemuda itu tampak santai mengendarai motor matic-nya bersama Riana. Sesekali Windi bahkan bisa melihat bahwa mereka terlalu menikmati perjalanan. Windi mendengus sembari memutar bola matanya.

Hingga tak lama kemudian, kedua orang tadi berhenti di depan sebuah rumah yang cukup megah. Halamannya luas dan terawat dengan pohon-pohon cemara di depannya. Riana turun dari motor kemudian tak lama ia masuk ke dalam. Kini tinggal Akmal sendiri. Pemuda itu kembali menyalakan mesin dan berlalu dari sana. Tanpa banyak bicara, Windi kembali mengikutinya. Ia ingin tahu ke mana Akmal pergi setelah kamu ini.

Lima belas menit kemudian, motor Akmal berbelok ke sebuah kompleks. Windi mengurangi kecepatan ketika dilihatnya pemuda itu memasuki sebuah pekarangan.

"Itu rumah Akmal ya?" tanya Windi.

"Mana gue tau," jawab Lina sambil melirik gadis itu.

"Santai dong Lin jangan ngelirik gue kayak gitu, serem tau," kata Windi sambil mengacungkan dua jarinya dan membentuk huruf V.

"Dasar lo." Lina mencebik kesal.

"Kita tunggu 30 menit ya, kalau 30 menit dia gak keluar berarti ini rumah dia," usul Windi.

"Oke, tapi sambil makan gado-gado ya Win."

"Terserah lo aja, yang penting lo nggak ninggalin gue."

"Lo bayar." Lina kembali memastikan.

"Iya bawel amat."

"Yaudah si biasa aja," sahut Lina sambil melangkah mendekati tukang gado-gado yang sedang mangkal. Beruntung tempat itu dekat dengan lapangan.

Sudah 45 menit beralalu dan Akmal belum juga keluar. Windi akhirnya memiliki pemikiran kalau dia harus masuk ke sana dan memastikan bahwa itu benar-benar rumah Akmal.

"Gue mo nemuin camer dulu ya, Lin!" pamit Windi seraya berjalan ke arah rumah tadi.


To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro