DUA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : MelvaSabrina dan Zulfa_Fauziyyah

"My prince!" teriak Windi saat masuk ke dalam kelas X IPA 2.

Beberapa anak tampak terkejut dan sebagian malah tersenyum penuh arti. Mereka sudah hafal betul bagaimana tabiat salah satu gadis populer itu. Dan mungkin terhitung sudah setengah tahun sejak pertengahan semester satu.

Mungkin sebagian dari mereka bertanya apa yang membuat gadis seperti Windi terobsesi pada seorang Akmal. Kebanyakan dari mereka mungkin menduga bahwa semuanya hanya permainan belaka, tak mungkin anak cheers jatuh cinta pada pemuda biasa saja yang jelas-jelas menolak semua perhatiannya. Windi tidak mungkin benar-benar menyukai Akmal. Meskipun pemuda itu tergolong cukup tampan untuk pemuda sejenisnya, tetap saja ketidakmungkinan itu lebih dominan bagi mereka.

"Diem! Berisik banget!" ucap Akmal kesal walau sudah tau kebiasaan gadis itu.

Kapan pun dan dimana pun Windi bertemu Akmal pasti segala hal berubah menjadi heboh. Gadis itu berlari ke arah Akmal setelah sedikit berbasa-basi pada setiap anak yang ia temui.

"My prince lagi ngapain?" tanyanya sambil memeluk tangan Akmal. Melihat ke arah meja pemuda itu, Windi lantas mengacak-acaknya.

"Kalau mau tanya, tanya aja nggak usah pake meluk tangan orang segala, apalagi sampai ngacak-ngacak meja orang," ucap Akmal sambil berusaha menarik tangannya meskipun gagal lantaran pelukan Windi semakin kuat.

Akmal hanya pasrah karena tangannya semakin sakit ketika dia berusaha melepas pelukan yang sedari tadi didapatnya.

"Ih jangan malu gitu dong, jadi makin imut deh," ucap Windi sambil menyubit pipi Akmal tanpa rasa bersalah.

"Apaan sih!" ucap Akmal kesal dan langsung berdiri. Seketika itu juga pelukan Windi di tangannya lepas.

Windi ikut berdiri dan berniat memeluk tangan Akmal lagi, tapi sebelum Windi melakukan itu Akmal sudah lebih dulu bergerak.

"Gue kasih tau lagi ya! Jangan ganggu gue!" ucap Akmal kesal lalu berjalan cepat meninggalkan kelas.

"Ah! My prince!" ucap Windi sambil mengikuti langkah kaki Akmal yang entah menuju kemana.

Setelah beberapa lama berjalan, ternyata Akmal berjalan ke arah taman. Melihat itu, Windi sudah berencana melakukan hal yang romantis di sana.

Tapi ternyata di sana sudah ada Riana!

Gadis itu sedang duduk di bangku taman sambil membaca sebuah buku, dia terlihat asik dengan bacaannya.

Dan tepat seperti dugaan Windi, Akmal berjalan ke arah Riana.

Untuk sekarang Windi masih menahan diri untuk menghampiri Akmal dan Riana, dia lebih memilih untuk menguping pembicaraan mereka terlebih dahulu.

"Ri!" sapa Akmal.

Riana mendongak. "Hai, Mal!" ucapnya sambil menutup buku yang tadi dibacanya.

"Sorry lama," ucap Akmal.

"Iya nggak masalah," jawab Riana santai.

"Sorry juga karena kita nggak bisa ngobrol di kelas, malah harus di taman begini," ucap Akmal dengan perasaan bersalah.

"Santai aja lah, taman bukan tempat yang buruk buat ketemuan kok!" ucap Riana berusaha agar Akmal tidak merasa bersalah.

"Ya udah deh kalau kamu nggak masalah," ucap pemuda itu akhirnya.

"Aku duduk sini ya," ucap Akmal sambil menunjuk bagian bangku yang kosong tepat di sebelah Riana.

"Iya," jawab Riana sambil tersenyum.

"Makasih," jawab Akmal ikut tersenyum.

Dari tempat persembunyiannya, Windi bergumam, "Dih, apaan sih mereka? Udah ngomongnya aku-kamu, si cewek kampung pake acara senyum-senyum segala lagi."

"Jadi, kamu minta aku ke sini buat ngomong apa?" tanya Riana setelah Akmal sudah duduk.

"Oh iya, besok jadi jalan?" tanya Akmal to the point.

"Jadi kok," jawab Riana.

"Di mall deket rumahmu kan?" tanya pemuda itu lagi hendak memastikan.

"Iya," jawab Riana.

"Jam?" tanya Akmal.

"Jam lima, di kafe biasanya," jawab Riana dengan lengkap.

"Sip."

Oh jadi gitu? Jalan nggak ngajak-ngajak gue? Windi berdiri tegak di balik tembok. Liat aja nggak akan gue biarin kalian seneng-seneng, sumpahnya kemudian berjalan mendekati keduanya.

Tep tep tep

"Misi, gue juga mau duduk," ucap Windi seenaknya dan tanpa persetujuan dari siapa pun, dia langsung duduk di antara Riana dan Akmal.

"Apa-apaan sih lho!?" ucap Akmal kesal karena saat-saat romantis di hidupnya hilang dalam sekejap.

"Gue cuma mau duduk kok, ini bangku buat umum jadi siapa aja boleh duduk disini," jawab Windi beralasan.

"Tapi lo kan bisa lihat kalau gue sama Riana lagi ngomong! Kenapa harus duduk di sini coba?" ucap Akmal berapi-api.

"Ya trus? Gue maunya duduk disini kok, titik nggak pake koma," jawab Windi santai.

"Emang gue harus ngikutin perkataan lo?" tanya Akmal semakin kesal.

"Iya dong, Windi selalu bener," jawab gadis itu asal.

"Udahlah nggak dipermasalahin, Mal, dia kan cuma mau duduk," ucap Riana coba menengahi.

"Ih, apaan sih lo ikut-ikut!" ucap Windi ketus.

Mendengar hal itu, Akmal meradang. "Lo tuh ya, udah dateng nggak diundang, sekarang cari gara-gara aja. Riana tuh baik, pinter, sopan, nggak kayak elo!" desisnya semakin kesal.

"Kok lo gitu si, gue kan cuma nggak mau elo terhasut sama cewek muka dua," ucap Windi sambil memeluk lengan Akmal lagi, sementara matanya melirik ke arah Riana.

"Apa-apaan sih Win!" ucap Akmal yang sudah di puncak kemarahannya.

Kring... Kring...

"Lo beruntung, untung udah bel kalau nggak gue pasti udah debat mati-matian sama lo!" jawab Akmal berapi-api.

"Masa? Kalo lo berani, kenapa nggak debat sekarang aja, hm?" ucap Windi seraya berjalan kembali ke kelas.

"Dasar cewek gila!" teriak Akmal kesal.

***

"Lina! Anin!" teriak Windi ketika sampai di kelasnya.

Kedua gadis itu menoleh ke asal suara. Dan begitu melihat siapa si pembuat onar, kedua gadis itu kembali sibuk dengan cat kuku mereka masing-masing.

"Apaan sih Win teriak-teriak?" tanya Lina acuh.

"Nggak usah teriak juga kedengeran kali," ucap Anin.

Gadis itu menjatuhkan bokongnya di salah satu kursi. "Tau nggak, tadi gue berhasil ngomong sama Akmal lebih lama dari biasanya! Walau tetep dimarahin sih," ucap Windi senang.

"Nin, lo apain si Windi? Kok dimarahin lebih lama malah tambah seneng," tanya Lina sambil melihat ke arah Anin.

"Nggak tau, nggak gue apa-apain kok," ucap Anin juga bingung.

"Yakin?" tanya Lina.

"Sayangnya iya, gue masih waras buat ngapa-ngapain anak orang," ucap Anin.

"Tapi girls," ucap Windi menggantung.

"Tapi apa!?" tanya Lina.

"Jarang-jarang ada tapinya," ucap Anin.

"Tapi si Riana itu masih aja sok polos, nyebelin banget deh! Kesel gue jadinya," ucap Windi berapi-api.

"Uh huh," gumam Anin tidak jelas.

"Nggak ada kapok-kapoknya," ucap Lina.

"Ya kan ngeselin banget," ucap Windi, "apalagi tuh kemaren Riana sok-sokan dinner sama my prince! Nggak tau apa kalo harusnya gue yang ada di posisi dia."

Lina dan Anin hanya saling lirik.

"Coba kalian bayangin, lebih pantes mana gue sama Riana? Ya pasti gue lah, secara gue cantik, modis, baik hati, tidak sombong, dan populer. Nah si Riana apaan? Duh sumpah gue kesel banget tau nggak."

Lina berdeham sebentar. "Gini aja deh, Win ...."

Windi melirik temannya itu dengan satu alis terangkat.

"Mending lo lupain Akmal aja. Lo cari cowok laen yang lebih kece kay—"

Belum sempat Lina menyelesaikan kalimatnya, Windi lebih dulu berbicara, "No way! Gue maunya Akmal, nggak mau yang laen, Lin."

Anin menertawakannya. Dia sudah bisa menebak penolakan Windi. Aneh memang, saat gadis itu punya banyak hal yang diinginkan gadis-gadis seumuran mereka dan tentunya mudah mendapat cowok keren di sekolah, ia tetap saja memilih Akmal.

"Ya udah sih, Win. Tenang aja, entar gue bantuin biar si Riana nggak deket-deket sama Akmal," ucapnya yang sukses membuat gadis berambut sepunggung itu tersenyum senang.

"Bener ya, Nin?"

"Iya bawel."

Windi bersorak senang. "Yes, thank youuu Anindya Respati." Gadis itu memeluk leher Anin membuat si empunya hanya menghela napas lelah.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro