SATU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : Zulfa_Fauziyyah

"Ayo semangat!" teriak para anggota cheerleader sambil menggerakkan tubuh dan pom-pom digenggamannya.

Mentari bersinar terik di atas sana, mengukuhkan dirinya sebagai yang terhebat. Windi, salah satu di antara gadis-gadis itu fokus menatap jalannya latihan basket kali ini untuk persiapan turnamen antar sekolah se-Jakarta. Meski peluh telah menghiasi wajahnya, gadis itu tetap semangat. Dia ingin memberikan sesuatu yang maksimal untuk hal-hal yang ia pilih untuk lakukan.

Jarum jam bergerak lambat, tapi tetap terasa sangat cepat bagi semua orang di lapangan indoor SMA Alamanda. Tepat pukul 17.00 semua anak berangsur-angsur meninggalkan lapangan untuk kembali ke rumah.

Windi duduk di salah satu bangku taman. Kedua tangannya sibuk mengikat tali sepatu ketsnya.

"Win, arah jam dua," ucap Anin yang duduk di sebelahnya.

Gadis itu segera menegakkan tubuhnya sambil melihat ke arah yang tadi dikatakan Anin. "Mana-mana?"

Matanya berbinar. Dari arah koridor kelas 10, seorang pemuda berjalan santai. Telinganya telah terpasang earphone yang menancap dengan ponsel di genggamannya.

Windi melirik Anin singkat sambil tersenyum. "Pangeran gue udah dateng," katanya kemudian berlari menghampiri pemuda tadi.

"Hai, my prince," sapa gadis itu sambil memeluk lengan Akmal.

Pemuda itu berdecak kesal sambil menyingkirkan tangan Windi dari lengannya. Gadis itu mencebik kesal. Selalu saja begitu. Tapi bukan Windi namanya kalau menyerah begitu saja. Dengan nekat, gadis itu kembali memeluk lengan kiri Akmal dengan erat.

"Lo tuh apa-apaan sih, Win?" tutur Akmal yang mulai geram. Sekali lagi ia mencoba melepaskan pelukan Windi dan mendorong gadis itu agar sedikit menjauh darinya.

"Ih, kok lo gitu sih! Emang salah kalo gue mau mesra-mesraan sama elo? Enggak kan?"

"Salah!" Suara pemuda itu bergema di sepanjang koridor yang sepenuhnya sepi. "Udah berapa kali sih gue bilang ke elo, jangan pernah nungguin gue balik!"

Tawa Windi berderai. Sebelah tangannya menepuk pundak Akmal gemas dan sebelahnya lagi memegangi perutnya yang sedikit keram. "Apa? Nungguin elo?" tanya Windi di sela-sela tawanya. "Kok lo kepedean banget sih, Mal? Siapa juga yang rela nungguin elo mesra-mesraan sama cewek KAMPUNGAN itu. Orang gue baru selesai latihan cheers," jelasnya yang sontak membuat pemuda itu malu tapi juga semakin kesal.

Dengan langkah lebar Akmal mencoba membuat jarak dari Windi. Keinginannya saat ini hanya satu. Yaitu sampai ke parkiran dengan selamat tanpa halangan dari gadis itu lagi. Jika tidak, dia harus bersiap untuk menulikan telinganya sekali lagi hari ini.

Setelah sampai di tempat motornya terparkir, Akmal segera menyambar helm-nya dan menstrarternya perlahan. Pemuda itu sedikit bernapas lega, pasalnya Windi tidak mengikutinya kali ini. Tidak seperti yang biasa yang lakukan sebelumnya.

Motor CBR putih itu baru saja akan mencapai gerbang ketika seorang gadis menghadang jalannya. Gadis itu merentangkan tangannya hingga menutupi sebagian pintu gerbang yang hanya setengahnya terbuka.

"Mal, lo mau nganterin gue balik kan?" tanyanya asal.

Demi apapun saat ini Akmal berharap bumi menelan tubuhnya saja daripada harus bersama Windi setiap waktu. Ia melepas helm-nya dan mengacak rambutnya frustasi.

"Sebenernya apa sih yang lo mau dari gue?" ucapnya kesal.

Windi menghampiri motor Akmal kemudian duduk di boncengannya. "Anterin gue jalan-jalan yuk!"

Pemuda itu memukul badan motornya hingga menimbulkan suara berdebam yang cukup kencang.

Gadis itu menampilkan puppy eyes-nya sambil berujar, "Pleasee, Mal, bokap gue nggak bisa jemput hari ini. Anterin gue, ya, ya?"

Ada satu kelemahan Akmal sejak dulu. Dia paling tidak bisa menolak permintaan Windi jika gadis itu sudah menampilkan ekspresi andalannya itu. Aneh memang. Tapi itulah kenyataannya.

Maka dengan hati setengah terpaksa, pemuda itu kembali mengenakan helm-nya dan melajukan motornya kembali.

Jika saja dia tidak selemah ini. Jika saja ....

***

"Windi," panggil ayahnya begitu gadis itu melewati pintu.

Gadis itu melepas sepatunya dan meletakkannya di sembarang tempat. Dengan langkah riang, ia menghampiri ayahnya dan memeluk tubuhnya erat.

"Anak Papa seneng banget kayaknya. Ada apa?" tanya Tomi seraya mencium puncak kepala Windi.

"Papa tau nggak siapa yang nganterin aku pulang?"

"Akmal?" tebak ibunya tiba-tiba yang sukses membuat pipi Windi kembali merona.

"Mamaku pinter deh," ujarnya yang kini beralih memeluk wanita berusia akhir 30-an itu.

"Iya dong, Windi kan sukanya sama Akmal."

"Sayang deh sama Mama."

"Iya, Mama tau kok," katanya sambil mengusap lembut wajah putri angkatnya itu, "kalo nggak sayang Windi, mana mungkin Mama hari ini masak ikan bakar balado kesukaan kamu."

Mata gadis itu berbinar. "Beneran, Ma?"

Wanita itu tersenyum simpul sebagai tanda persetujuannya.

"Yes, kalo gitu aku makan dulu ya, Ma. Sayang Mama, muach."

Windi berjalan cepat ke arah dapur sambil bersenandung kecil.

"Windi, Windi," gumam Tomi sambil geleng-geleng kepala.

"Udahlah, Mas, namanya juga anak muda lagi kasmaran."

***

Tetes demi tetes air meluncur jatuh membasahi karpet bulu di kamar Windi. Rambutnya acak-acakan dengan handuk tersampir di bahunya.

Gadis itu menaik turunkan touchscreens-nya yang saat ini sedang menampilkan foto seorang pemuda dan seorang gadis yang tengah duduk sambil bersenda gurau. Bibirnya bergumam, mengatakan sesuatu yang hanya bisa didengar telinganya sendiri.

Tiba-tiba suara indah Avicii menalun di penjuru tempat itu, cepat-cepat dia meraih ponselnya yang terletak di ranjang kemudian menempelkannya di telinga.

"Halo."

"Win, tebak siapa yang gue liat sekarang?" kata suara di seberang sana.

Gadis itu mengernyit heran. "Ya mana gue tau Anin!"

"Dih, tebak aja Windi!" desisnya.

"Cleo?"

"Bukan."

"Ramon?"

"Bukan."

"Oh gue tau, pacar lo ketahuan selingkuh ya?" tebak Windi asal yang membuat Anindya habis kesabaran.

"Bukan, Windi! Tapi Akmal," bebernya.

Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. "Akmal? Emang lo lagi di mana? Terus foto yang lo kirim tadi itu-"

"Iya, itu Akmal sama Riana. Mereka di sini, di Quarter Caffe."

"What? Kok dia gitu banget sih sama gue, Nin?" rajuk Windi.

Gadis itu berjalan keluar menuju balkon. Rambutnya yang setengah basah tampak beterbangan tertiup angin, tapi dia tak memperdulikannya. Bahkan hawa dingin yang menusuk kulitpun dia hanya diam.

"Oke, thanks banget ya, Nin. Hm, gue pastiin besok-besok mereka nggak akan bisa keluar bareng lagi," sumpahnya seraya menutup telpon.

Windi menatap gugusan bintang sambil tersenyum simpul. Bahkan rasi bintang orion-pun tampak ikut tersenyum bersamanya.

Jika ada yang bertanya kenapa Windi menyukai Akmal .... Jawabannya sederhana. Karna Akmal telah memberikan warna abu-abu di hidupnya. Kelam tapi menarik jika disandingkan dengan warna lain. Dan Windi bersumpah akan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih indah nantinya.

Ini hanya masalah waktu. Ya hanya waktu ....

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro