DUA BELAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : Intanaura01, Noorah91, AfifahAzzahro2, Zulfa_Fauziyyah

Windi duduk di sisi lapangan sembari meminum segelas susu kotak yang diberikan Leon pagi tadi. Sesekali matanya menyisir ke kiri dan ke kanan. Tak lama kemudian, pandangannya berhenti bergerak ketika menangkap sosok yang sudah menjadi incarannya sejak awal. Akmal.

Bibir tipis Windi menyunggingkan sebuah senyum, ia bertopang dagu. Melihat sosok yang disukainya dalam diam memang bukan salah satu hobi baginya. Seperti yang sudah-sudah, ia lebih memilih menghampiri Akmal dan merayunya habis-habisan. Tetapi tidak kali ini, entah mengapa ia sedang tidak mood untuk mengganggu pangeran esnya itu.

"Sound system-nya jangan taruh situ, Le. Geser dikit lagi," ucap Rizal mengorganisir kegiatan itu. Tanpa banyak bicara, Leon segera memindahkan sound system ke arah yang dimaksud.

Akmal sendiri hanya berdiam diri di sudut lapangan, tugasnya telah selesai, ia hanya perlu mengamati semuanya. Meskipun begitu, ia harus berusaha semaksimal mungkin agar acaranya berlangsung meriah besok.

Ting!

Ponsel Akmal berbunyi, menandakan ada satu notifikasi dari benda kecil canggih itu. Pemuda itu tersenyum seraya menarikan jari-jarinya di atas keypad dengan lincah. Tak lama setelahnya, ia kembali meletakkan ponselnya dan menatap ke arah Windi.

Menyadari sang pangeran akhirnya menganggap dirinya ada, senyum Windi terkembang. Belum lagi saat pemuda itu nampak berjalan ke arahnya.

Akmal melambai, lengakp dengan senyuman manisnya hingga raga Windi hampir saja terlepas dari tubuh. Dengan penuh percaya diri, ia ikut melambai. Kupu kupu di perut Windi yang tadinya tertidur lelap kini terbangun, mengepakkan sayap-sayap indahnya dan terbang ke langit nan luas. Pipi Windi menghangat, mungkin ia sedang demam? Atau karena seperti ini reaksi alami cinta?

"Riana!" teriakan Akmal membuat kupu-kupu yang tadi berterbangan di angkasa kehilangan sayapnya dan berjatuhan menjadi ulat biasa.

Windi menoleh ke belakang. Benar saja, Riana ada di sana. Ia ternyata hanya salah sangka. Bagaimanapun juga, Akmal tidak akan pernah menoleh ke arahnya, sebanyak apapun ia mencoba.

Jangan terlalu percaya diri saat orang yang kalian sukai melambaikan tangannya kearahmu. Mungkin saja ia hanya ingin menyapa sang pujaan hati yang kebetulan sedang berada di belakang.

Windi mencebik kesal gara-gara ingat ramalan zodiaknya hari ini. Ia menghentak-hentakan kakinya dan berjalan menjauh dari sana. Dari arah berlawanan, Leon berjalan ke arahnya, membuat Windi menghentikan langkah sejenak.

"Hai, Win!" sapa pemuda tampan itu.

"Iya?"

"Gue denger-denger, lo bakal tampil di pensi besok ya?"

Windi mengulas senyum terpaksa. "Ya gitu deh."

"Well, gue nggak sabar liat lo nyanyi." Pemuda itu mengacak rambut Windi perlahan kemudian kembali melangkah dengan tangan di dalam saku.

Sejenak, bibir Windi sempat tertarik ke atas. Andai aja Akmal bisa semanis Leon, batinnya bersuara.

***

Bangku-bangku besi tersusun berjajar di lapangan. Beberapa anak telah berlalu lalang dengan penuh semangat meski sang mentari bahkan belum terbangun sepenuhnya. Di tengah lapangan telah berdiri sebuah panggung berukuran besar dengan beberapa sound system bertengger hampir di semua sisi.

Windi menatap pemandangan itu dengan pikiran kosong. Ada sedikit ketakutan di sana. Ia mencoba kembali fokus, tapi nyatanya kejadian itu kembali membuat jiwanya rapuh sekali lagi.

"Woy! Ngalamun aja lo!" ujar Anin yang tiba-tiba sudah ada di sampingnya.

Windi memaksa seulas senyum ke arah gadis itu. Tangannya tak tinggal diam, dengan usil ia meraih snack kentang yang dibawa sahabatnya tanpa permisi.

"Yee ... kebisaan banget sih lo!" cibir Anin.

Hening menyelimuti. Sayup-sayup, telinga Windi mendengar sebuah lagu yang tidak asing lagi di telinganya. Scars to be lonely.

"Lo kenapa?" tanya Anin lagi.

Windi hanya menatap gadis itu singkat sebelum kembali tenggelam dalam lamunan.

"Lo nggak mau cerita? Yakin?" Anin mengamati gadis ceria di sampingnya dengan kening berkerut. "Lo aneh deh hari ini, nggak biasanya diem kayak anak cupu."

Tiba-tiba tawa Windi meledak. "Ngeselin banget sih. Jangan lo nyamain gue sama anak cupu, apalagi kayak cewek itu."

Anin mengedikkan bahu.

"Eh, asal lo tau ya, diem gue tuh bisa menghasilkan emas tau nggak?"

Gadis bersurai hitam legam itu terbahak. "Yaelah gaya lo, Windi. Eh, megang emas aja paling lo gemeteran, sok-sokan menghasilkan emas lagi. Najong tau nggak."

Mereka tertawa. Lagi-lagi humor lama itu kembali muncul saat Windi terpuruk. Ya, ia ingat. Semuanya berawal dari kemenangan mereka saat ikut kompetisi dance tiga tahun yang lalu.

"Seneng ya liat sahabat sendiri inget kejadian memalukan dulu."

"Sorry," ucap Anin berusaha menahan tawanya, "by the way, kelas yuk, anak-anak udah pada ngumpul tuh. Dan lo juga harus siap-siap buat tampil perfect nanti."

Anin mendorong bahu Windi ke arah koridor C, jalan tercepat menuju kelas mereka.

Mars SMA Alamanda bergaung di setiap sudut sekolah menandakan bahwa acara sudah dimulai. Beberapa tamu perwakilan sekolah lainpun sudah mulai berdatangan. Mereka berjajar rapi di baris pertama dan kedua, bersama para petinggi sekolah.

Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini Windi tengah cemas ketika melihat banyaknya manusia di sana.

"Kita terakhir," ujar Reon, salah satu teman Windi yang juga anggota OSIS.

Jarum jam bergerak cepat. Satu per satu acara telah dilalui. Bahkan tak terasa beberapa kelas yang mendapat nomor undi sebelum kelasnya juga sudah tampil.

"Kok perasaan dari tadi lo diem aja sih, Win?" tutur Lina.

Windi menoleh singkat sambil tersenyum kecil. "Emang nggak boleh?"

"Boleh aja sih, tapi dari tadi loh, ini udah pertengahan acara dan lo masih diem aja. Minum enggak, makan apalagi. Lo kenapa sih?"

Menggigit bibir bawahnya, Windi sempat berpikir sebelum berkata, "Gue demam panggung, Lin."

"WHAT?" teriak Lina nyaring.

Sontak beberapa mata tampak melirik mereka. Beberapa bahkan tampak mencibir dengan mata melirik bosan.

Windi melotot. "Jangan tereak nggak bisa?"

"Ya sorry. Gue cuma kaget aja. Nah, lo kan biasa tampil di depan banyak orang waktu cheers, lo biasa aja. Dan kalo lo takut sendiri, kan entar tampil sama yang laen. Kan aneh kalo misal lo demam panggung," ujar Lina melirihkan suaranya di dua kata terakhir.

"Lo nggak tau, Lin. Gue pernah gagal di panggung."

Lina mengerutkan keningnya. "Maksud lo?"

"Ceritanya panjang. Gue nggak bisa cerita sekarang. Intinya sekarang gue deg-degan. Udah gitu aja."

Gadis penyuka warna ungu itu tampak prihatin. Selama ini, ia hanya mengenal Windi yang pemberani dan ceria. Tanpa tahu bahwa gadis itu punya trauma terhadap sebuah panggung.

Lina mengusap punggung Windi seraya menyodorkan jus wortel yang tadi dibelinya ke arah sang sahabat. "Gue yakin lo bisa, Win. Masa lalu biar jadi masa lalu. Lo hidup buat hari ini. Bukan kemaren. Apalagi besok."

Windi menatap Lina tidak percaya. Tapi kebingungannya seketika hilang, digantikan perasaan haru yang membuncah. Ia memeluk tubuh Lina erat sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.

"Ehm, Win, daripada lo meluk gue, mending lo makan dulu nih. Biar entar nggak lemes."

Mengurai pelukannya, Windi lantas tersenyum senang. "With my pleasure."

Satu jam berlalu. Berikutnya adalah giliran kelas Windi untuk maju ke depan. Mereka bersiap di belakang panggung, bersama beberapa anggota OSIS yang bertugas mengkoordinir acara.

"Win!"

Gadis itu menoleh ketika seorang pemuda memanggil namanya.

"Hai, Le."

Leon berjalan mendekat, mengikis ruang yang ada di antara mereka. Pemuda itu baru berhenti ketika jarak mereka hanya satu langkah saja. Windi terpaksa mendongak. Wajahnya berpapasan dengan rahang kokoh dengan senyum menawan yang selalu ia suka.

Pemuda itu meraih tangan Windi, dan memasang sebuah gelas perak berhias bandul bintang di sana. Ia melepaskan tangan mungil itu. "Good luck ya! Lo bisa lakuin semuanya dengan baik."

Windi hanya diam hingga punggung kokoh itu menjauh kemudian hilang di balik tirai.

"Win, ayo! Giliran kita," seru Fina menginterupsi.

Gadis itu menoleh, kemudian berjalan mengikuti keempat temannya. Mereka menaiki 5 buah anak tangga untuk sampai diatas panggung. Windi menempatkan posisinya sebagai pemain keyboard sekaligus penyanyi inti, dibantu oleh Alif dan Fina yang menyanyikan suara kedua. Sedangkan Reza dan Alif, mereka yang bertugas membaca puisi.

Menghela napas panjang, Windi telah siap. Dentingan piano mengalun indah di balik jari jemari Windi. Suara lembutnya kian terdengar.

Apa yang kuberikan untuk mama
Untuk mama tersayang
Tak kumiliki sesuatu berharga
Untuk mama tercinta

Windi menulikan pendengarnya akan hal lain. Ia tengah memfokuskan pikiran, mencoba kembali menyelami perasaan yang dulu sempat ia rasakan.

Hanya ini kunyanyikan
Senandung dari hatiku untuk mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku untuk mama

Perasaan itu semakin menyeruak di rongga dadanya. Kehilangan yang teramat dalam dan panjang. Sepanjang bait lagu, Windi kembali mengingat masa kecilnya. Di mana tak pernah sekalipun ia menemukan sosok penenang di kala duka tengah menyelimutinya.

Sementara itu, di sudut lain, ada sebuah hati yang merasakan hal sama seperti gadis itu. Rasa rindu yang tak tersampaikan. Ia bukanlah anak yang cengeng. Bukan. Tapi terkadang, perasaan seorang anak selalu terhubung dengan memori sang ibu.

Tak lama kemudian, Reza dan Alif mulai membacakan sebuah puisi dengan tema yang sama.

Kau yang selalu hadir
Walau tak dapat selalu ku ungkapkan
Kata cintaku 'tuk mama
Namun dengarlah hatiku berkata
Sungguh kusayang padamu mama

Emosi berkecamuk dalam gemuruh kehampaan yang tak berujung. Satu per satu pertanyaan terlintas memenuhi kepala gadis itu. Menciptakan nada lain yang mampu membuat siapapun yang mendengarnya ikut merasakan rindu.

Oh....

Kembali hentakan kekecewaan mengalir dari setiap lirik yang dibawakannya seakan benar-benar menyihir setiap sudut SMA Alamanda. Lagu Cinta Untuk Mama by Kennyi berakhir saat jemari Windi berhenti dan diakhiri riuh tepuk tangan dan siulan penonton.

Tanpa sepengetahuan Windi, mata Akmal tak henti memandangnya dengan tatapan penuh pertanyaan dan kekaguman yang tak bisa lagi dia sembunyikan. Ada getar dalam dawai yang tanpa bisa dicegah mengalir dalam sanubarinya.

Kelima anak itu membungkuk lalu turun dari panggung. Leon mengulurkan tangannya ke arah Windi ketika gadis itu menapakkan kakinya di backstage. Akmal hanya diam memperhatikan.

"Mal, kita ke stand itu yuk! Ada makanan kesukaan kamu loh, aku juga lapar nih.”

Entah sejak kapan Riana ada di sebelahnya. Akmal sedikit kaget. Namun dengan cepat ia menganggukkan kepalanya.

"Hari ini seru banget ya, Mal.” Riana mencoba membuka percakapan kembali, saat Akmal tak kunjung bicara. Pemuda itu sibuk dengan pikirannya sendiri, tidak peduli bahwa gadis berkacamata di sampingnya mencoba menarik perhatian.

Tiba-tiba Akmal menghentikan langkahnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada dua orang yang tampak begitu mesra. Si pemuda mengatakan sesuatu yang membuat wajah sang gadis bersemu.

Tangan Akmal mengepal, hingga buku-buku jarinya memutih. Sadar akan arah tatapan pemuda itu, Riana menatap ke arah yang sama. Senyum bahagia terbit begitu melihat pemandangan itu.

Di ujung sana terlihat Leon merangkul Windi. Gadis itu tertawa, tawa yang terdengar seperti lantunan musik klasik yang menenangkan hati. Namun, tidak dengan Akmal, secuil hatinya begitu berharap senyum dan tawa Windi berasal darinya, bukan dari yang lain. Hanya darinya!

Detik kemudian Akmal tersentak. Ia menggeleng pelan.

Sial!

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro