TIGA BELAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : sapsha_ dan Zulfa_Fauziyyah

Lembayung di ufuk barat nampak semakin memukau. Beberapa orang tengah bersiap kembali ke rumah masing-masing dengan membawa sisa kelelahan hari ini. Termasuk siswa-siswi SMA Alamanda.

Namun, di antara orang-orang itu, Windi bukanlah salah satunya. Ia tengah berjalan sedikit tergesa, bukan ke arah gerbang, melainkan ke sebuah ruangan berukuran medium dengan cat putih dan biru. Gadis itu merapikan rambut dengan jari-jarinya yang lentik kemudian membuka pintu yang semula tertutup rapat.

Kebisingan menyambutnya begitu pemilik mata thin almond itu memasuki ruangan. Hal itu tidak luput dari perhatian Akmal yang kebetulan sudah ada di sana bersama beberapa temannya. Dengan kepercayaan diri penuh, Windi berjalan ke salah satu kursi dan mendudukkan diri di sana. Sesekali ia menyapa temannya yang lebih dulu sampai. Tak berselang lama, beberapa seniornya telah bersiap di depan sambil membawa setumpuk kertas.

Setelah dilaksanakannya pensi, SMA Alamanda akan melaksanakan Kemah Bakti Siswa (KBS). Kemah yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya dalam rangka kenaikan pangkat atau tingkatan dalam Pramuka, Bantara.

"Selamat siang semuanya, mungkin kalian sudah mengetahui alasan kami mengumpulkan kalian di sini," ucap Fahmi, salah satu senior.

"Baiklah perlengkapan yang harus kalian bawa ada beberapa, yaitu...."

Penjelasan dilanjutkan oleh senior yang lain, Jumi. Pemuda itu menjelaskan mulai dari perlengkapan, hal yang harus dilakukan selama berkemah, sampai pada menjaga sikap.

"Sekarang silahkan maju satu per satu untuk mengambil surat izin ini," ucap Fahmi ketika Jumi mengakhiri kalimatnya.

Satu per satu anggota Pramuka bergantian maju ke depan.

"Jangan lupa surat izin besok dikumpul. Siapa yang tidak mengumpulkannya, sudah dipastikan kalian tidak akan ikut dalam kemah dan tidak akan dilantik," tegas Fahmi, "sekarang kalian boleh pulang."

Setelah dibubarkan, Windi dan Anin berjalan menuju kelasnya. Namun karena ada sedikit desakan, Windi terdorong oleh seseorang hingga dia tidak sengaja menyenggol Akmal.

"Ck, bisa hati-hati gak si—" ucap Akmal terputus karena melihat pelakunya adalah Windi.

Akmal yang semulanya kesal mendadak bungkam. Ia teringat perasaan yang tiba-tiba muncul kala itu. Perasaan yang sama seperti miliknya, kehilangan.

"Hai, my prince, sorry gue gak sengaja, lo baik-baik aja kan?" tanya Windi sedikit khawatir.

"Hm," Akmal hanya berdeham. Entah kenapa ia merasa ada yang berbeda dari cara Windi berbicara dengannya hari ini.

Pemuda itu menggeleng pelan akibat pemikiran gilanya barusan. Tanpa menghiraukan Windi, Akmal segera berlalu. Ia perlu menenangkan pikirannya saat ini.

***

"Assalamu'alaikum, Windi pulang," teriak Windi sesampainya di rumah.

"Eh ... anak mama udah pulang?" tanya Dira.

"Udah dong mah, kalo belum ini siapa dong?" kekeh Windi.

"Ma, Papa mana?" tanya Windi pada Dira.

"Tadi Papa kamu ada di ruang kerjanya," jawab Dira.

"Kenapa pulang-pulang langsung cari Papa? Mama gak dicariin?" tanya Dira penasaran.

"Iyalah nyari Papa, kalo nyari Mama, 'kan Mama udah ada di depan Windi," jawab gadis itu sambil nyengir.

"Kamu ganti baju dulu gih. Ntar kalo ada perlu sama Papa kamu tinggal ke ruang kerja Papa aja," usul wanita cantik itu.

"Siap Bos."

Windi memberi hormat pada Dira sebelum berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Dira yang melihat tingkah konyol putri tirinya hanya bisa terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sesampainya di kamar, Windi segera melempar tas selempangnya ke tempat tidur kemudian melangkah menuju ruang kerja ayahnya dengan membawa selembar kertas yang berisi surat izin.

Mengetuk pintu ruang kerja ayahnya, gadis itu memanggil pelan, "Pa, aku boleh masuk nggak?"

"Iya, masuk aja, sayang," jawab Tomi.

Setelah mendapat persetujuan dari pemilik ruangan, Windi mendorong pintu jati raksasa di depannya dengan langkah riang. Begitu sampai di dalam, mata coklat gelapnya menelusuri deretan rak yang tersusun rapi di sudut-sudut ruangan. Ruangan itu tampak gelap, hanya sebuah lampu meja yang menjadi penerang. Di baliknya, sang ayah duduk tegak sambil bergelut dengan tumpukan kertas yang berserakan.

"Pa, aku boleh ganggu bentar nggak?" tanya Windi sembari menghempaskan bokongnya ke single sofa tepat di hadapan Tomi.

"Ada apa?" tanya Tomi yang heran karena tidak biasa didatangi putrinya di jam segini.

"Ini Pa," ucap Windi sembari meletakkan surat yang dibawanya tadi.

"Ini apa?" tanya Tomi heran.

"Papa baca aja," ucap Windi seadanya.

Tomi pun membaca surat itu, setelahnya ia melihat ke arah putrinya lengkap dengan kerutan di dahinya.

"Kamu yakin mau ikut?" tanya Tomi yang tampak khawatir.

"Iya Pa, aku yakin," ucap Windi dengan mantap.

"Menurut Papa, kamu gak usah ikut deh, nanti kalau kamu kenapa-napa kan nggak ada yang ngurusin," ucap Tomi mencoba membujuk anak sulungnya itu.

"Papa tenang aja, aku nggak bakal kenapa-napa kok, lagi pula aku kan perginya gak sendirian," jelas Windi pada Tomi.

"Tapi—"

"Gak pa-pa kok Pa, kan nanti Windi perginya sama temen-temen dan gurunya juga. Iya 'kan, Win?" ucap Dira membela Windi.

"Iya, aku tau, Ma, tapi kan Windi sebelumnya nggak pernah ikut yang kayak begituan," sanggah Tomi.

Gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Pa, Windi mohon ... izinin ya? Sekali ini aja," pintanya memohon pada Tomi.

Tomi melepas kacamata yang sejak tadi bertengger manis di hidungnya. Tubuhnya bersandar pada kursi putar di ruangan itu.

Melepas putri semata wayangnya di antara rimbunnya hutan tidaklah mudah. Windi takut akan kegelapan, pria itu tahu. Namun, ia tidak mengerti apa yang dipikirkan gadis itu saat ini. Mereka punya batasan tak kasat mata. Dan Windi tahu, Tomi yang selalu melindunginya sejak dulu.

Dengan hati kecewa, Windi keluar dari ruang kerja ayahnya. Dira sendiri hanya dapat melihat anak dan suaminya bergantian. Ia mengerti ketakutan pria itu. Tapi melepas Windi untuk sesuatu yang baik bukanlah hal yang buruk. Ia percaya akan ada yang bisa melindungi gadis itu di luar sana.

Jika biasanya setelah makan malam, Windi akan bergabung bersama keluarganya untuk menonton tv, maka malam ini ia memilih berdiam di dalam kamar. Ia sangat berharap bisa mengikuti kemah tahunan.

Dengan ditemani secangkir coklat panas, Windi duduk termenung sambil menatap gugusan bintang yang berkerlap-kelip.

"Kamu tau kan kalau papa sayang kamu," gumam Tomi tiba-tiba di belakang punggungnya.

Gadis itu menoleh singkat, sebelum kembali merenung. "Tau. Tapi kan aku udah gede  sekarang, Pa. Lagian masa Papa tega biarin anaknya nggak pernah ngerasain kemah seumur hidup."

Pria itu terdiam cukup lama. Dia tahu bagaimana rasanya. Tomi menghembuskan napas berat kemudian menyodorkan surat tadi ke arah Windi.

"Janji sama Papa kalau kamu nggak akan kenapa-napa," ucap Tomi.

Gadis itu menerima surat tersebut dengan mata melebar. Tak lama setelah ayahnya berbalik, ia menjerit histeris, "Papa izinin? Ahh, makasih Papa ganteng. Aku sayang banget sama Papa."

Bintang-bintang merasakan kegembiraan yang sama. Windi tersenyum lebar sambil mendekap erat surat tersebut.

***

D

ua hari kemudian Windi sudah bersiap membawa satu ransel berukuran besar di punggungnya. Satu tangannya menenteng berbagai peralatan yang ia butuhkan untuk regunya selama kemah nanti.

Gadis itu menuruni tangga hati-hati. Seulas senyum terbit di wajah cantiknya yang hanya terpoles bedak tipis dan lip balm di bibirnya.


"Kakak sarapan dulu sini," panggil Dira.

"Iya Ma."

Setelah sarapan Windi diantarkan oleh Tomi ke sekolahnya. Di sepanjang perjalanan Tomi tidak henti-hentinya memberikan nasehat pada Windi.

"Pa, Windi berangkat dulu ya," pamit Windi begitu mobil Avanza yang ditumpanginya berhenti di depan gerbang.

"Ingat loh kata-kata Papa tadi," ucap Tomi memperingati.

"Siap, see you Pa," ucap Windi sembari keluar dari mobil.

Di sisi lain, Akmal tengah sibuk membantu Riana membawakan ranselnya.

"Eh Mal, itu bukannya Windi ya?" tanya Riana pada pemuda itu.

"Iya, kenapa emang?" tanya Akmal balik.

"Nggak pa-pa, cuma nggak nyangka aja kalo dia ikut acara kemah kayak gini. Secara dia kan manja banget, jadi agak aneh aja. Aku jadi curiga kalo dia mau cari muka aja," ujar Riana menjelekkan Windi.

"Masa sih? Dia gak bisa pisah sama orang tuanya?" tanya Akmal tidak percaya.

"Ya gitu deh," sahut Riana sekenanya.

Diam-diam Akmal memperhatikan gerak-gerik Windi. Ia tidak tahu bagaimana menanggapi penuturan gadis di sampingnya itu. Yang ia tahu, Windi terlihat bersemangat hari ini. Entah itu pertanda baik atau buruk, pemuda itu mencoba acuh. Setidaknya Windi tidak akan mengganggunya nanti, ia sudah sangat bersyukur.

Setengah jam kemudian, calon bantara dari kelas 10 dikumpulkan untuk briefing dan doa bersama. Setelah semuanya siap, rombongan tersebut berangkat menuju lokasi perkemahan yang membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam.

Di perjalanan Windi terus dibuat jengkel oleh pasangan sejoli Akmal dan Riana. Windi cemburu melihat kedekatan mereka.

Anin yang mengetahui situasi pun mengalihkan perhatian Windi dari pasangan itu, mulai dari membaca novel sampai video call dengan Lina. Sedikit berlebihan memang, tapi itulah mereka.

Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di lokasi perkemahan. Sesampainya di sana masing-masing sangga mendirikan tenda. Windi yang merupakan ketua dari sangganya–Pinsa–mempunyai tugas yang lebih banyak dari yang lain.

Mereka saling bahu-membahu dalam melaksanakan tugas masing-masing. Setengah jam kemudian, sangga Windi sudah selesai mendirikan tenda.

Akmal yang melihat keaktifan Windi hanya bisa tercengang. Karena apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan apa yang didengrnya dari Riana sebelum berangkat tadi. Tapi dia berpikir, mungkin Windi sudah berubah dari sifatnya yang kekanakan dan manja seperti kata Riana tadi–menjadi gadis yang tangguh dan aktif.

Nathan yang melihat Akmal tersenyum sendiri merasa heran dan memutuskan untuk bertanya.

"Lo kenapa Mal? Kesambet apa ya? Kok senyum-senyum aja dari tadi?" tanya Nathan.

Karena tidak mendapat respon dari Akmal, Nathan melihat pada arah pandangan Akmal.

"Ooh, gue tau. Lo udah mulai suka ya sama Windi?" tanya Nathan langsung.

Akmal yang mendengarkannya langsung tersedak oleh air liurnya sendiri.

"Ngomong apa lo barusan? Yakali gue suka sama cewek centil itu," ucap Akmal dengan nada kesal yang dibuat-buat.

"Lidah emang nggak bertulang, jadi maklum aja sih kalo suka nggak sesuai fakta. Eh, jangan gitu lo, Mal, naksir beneran sama Windi baru tau rasa entar!" kata Nathan menyumpahinya.

Memutar bola mata jengah, Akmal memutuskan untuk pergi ke toilet terdekat dan membersihkan badannya.

Malam telah tiba, semua anggota kemah berkumpul di sekitar api unggun untuk menghangatkan diri. Mereka tidak memiliki kegiatan selain apel pembukaan usai tenda mereka berdiri dengan benar.

Ikut melantunkan salah satu lagu yang cukup familiar, Windi tampak menyunggingkan senyum bahagianya. Ini adalah pengalaman pertamanya semasa sekolah. Meskipun, ia harus tetap menyiapkan pasokan kesabaran tatkala melihat kedekatan Akmal dengan musuh abadinya tersebut.

Ia telah bertekad, bahwa selama kemah, ia tidak ingin mempermasalahkan hal itu, biar saja. Toh ia yakin, Riana tidak akan pernah bisa mengalahkannya. Tidak akan.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro