EMPAT BELAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : 01PenulisAmatiran dan Zulfa_Fauziyyah

Matahari masih bersinar malu-malu dari balik rimbunnya dedaunan pohon cemara. Dari balik bukit tempat perkemahan diadakan, beberapa masyarakat sekitar berbondong-bondong berjalan ke ladang yang mereka kelola.

Windi duduk di salah satu bangku sambil memperhatikan mereka. Di pundaknya, kepala Anin bersandar. Gadis itu masih memejamkan matanya. Jika saja Windi tidak merengek ingin melihat pemandangan desa pagi ini, gadis itu tentu masih bergelung di bawah selimutnya sekarang.

Memang, Windi sangat bersemangat kali ini. Ia tidak pernah berkunjung ke pedesaan sebelumnya. Maka, saat ini, ia ingin memanfaatkan semua kesempatan yang ada di depan matanya.

Cukup lama mereka berada di sana, hingga telinga kecilnya mendengar peluit panjang yang meandakan bahwa mereka harus bergegas memulai kegiatan. Windi dan Anin berjalan bersisihan menuruni bukit, kembali ke tenda mereka.

Kegiatan hari itu dimulai dengan acara masak-memasak yang dilakukan oleh sebagian anak dan sebagian lagi mengikuti senam pagi. Setelah itu mereka makan bersama, membersihkan diri, dan kembali berkumpul di lapangan untuk diberikan pengarahan mengenai kegiatan hari itu.

"Oke, sekarang tugas kalian adalah melakukan simulasi kecelakaan. Tapi ingat, obat-obatan yang digunakan adalah racikan dari bahan-bahan yang sudah kalian bawa. Begitu juga dengan tandu yang akan dipakai, kalian buat sendiri. Mengerti?" Bagas menatap semua anak di lapangan. Merasa semua telah mengerti, pemuda hitam itu melanjutkan, "Jika tidak ada pertanyaan, silakan kalian mulai bekerja. Nanti satu per satu kakak pembina akan mendatangi kalian."

Waktu terus berlalu. Satu per satu acara hari itu berjalan dengan lancar. Mentari telah kembali ke peraduannya, berganti tugas dengan sang rembulan. Anak-anak SMA Alamanda baru saja selesai melaksanakan sholat maghrib berjamaah yang dilanjutkan dengan makan bersama.

"Lo beneran suka sama Windi?" tanya Virza dengan mulut penuh.

"Eh, abisin dulu tuh makanan, muncrat bego!" sembur Nathan seraya melempar tisu ke arah pemuda bermata sipit tersebut.

Virza tampak cuek.

"Lo nanya siapa?" Kali ini Akmal angkat bicara.

"Nanya si, Leon lah ya kali nanya ama elu. Emang situ kesindir?" Virza menyeringai.

"Eh, Zal, bagi napa makanannya." Nathan merebut bungkusan yang dibawa Rizal dengan kasar.

"Eh anjir, tuh muka biasa aja jangan sok-sokan gitu."

Merasa belum mendapakan jawaban, Virza kembali bertanya, "Le, lo denger kagak sih?"

"Ha apa?" ucap Leon sembari meletakkan ponselnya, "Sorry nggak denger, abis elo pada pada ribut si."

"Elah, pake acara ngeles pula." Virza melemparkan kulit kacang ke arah Leon yang secara otomatis ditepis pemuda berdarah Bali tersebut. "Tuh mata sama telinga lo cuma fokus aja sama HP," lanjutnya.

"Jawab tuh pertanyaan," kata Akmal berusaha menengahi, meskipun nada suaranya tidak dapat menyembunyikan kegelisahan.

Tiba-tiba tikar yang mereka tempati terasa hening. Keempat pemuda itu menatapnya heran.

"Kenapa? Gue kan cuma bantuin Virza nanya," sahutnya acuh.

Meskipun heran, mereka tidak bisa berkata apapun lagi. Pikiran mereka sudah dipenuhi kemungkinannya bahwa Akmal mulai menyukai Windi. Pasalnya, mereka tahu, Windi kerap kali mengejar-ngejar pemuda itu. Bukan tidak mungkin perasaan Akmal berubah, 'kan?

"Skip ajalah gue kepo sama jawaban Leon." Nathan berusaha mencairkan suasana.

"Ya ... gitu deh."

"Ciee, nggak tembak aja, Le? Gue liat kalian cocok kok." Virza menepuk bahu Leon pelan.

"Gue masih nunggu waktu yang tepat aja. Gue mau Windi cuma liat gue aja kalo kita udah jadian, bukan yang lain." Leon melirik Akmal sekilas.

Akmal diam saja. Tapi bukannya dia tidak tahu. Pemuda itu hanya berusaha meredam perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar di hatinya saat ini. Dan ia rasa, itu satu-satunya hal yang mudah dilakukan saat ini.

***

"Jadi rutenya, kalian naik ke jalan setapak sebelah kiri, lurus, sampai di tikungan belok kiri lagi. Di sana akan ada Kak Norman yang bakal nunjukkin kalian jalan selanjutnya. Mengerti?"

"Siap, mengerti!" Semua anak menjawab serempak.

"Bagus, sekarang mulai dari regu Elang. Yang lainnya tunggu aba-aba untuk mendapat giliran. Bubar ... jalan!"

Anin menarik lengan Windi agar duduk bersama regu mereka. Saat ini, langit telah sepenuhnya pekat dengan berhias rasi bintang orion yang Windi hapal. Gadis itu mendongak ke atas. Hidung mancungnya menghirup udara sebanyak-banyaknya, mengisi paru-paru dengan udara malam yang terasa menusuk kulit.

"Ayo, Win!" ajak Renata, ketua regu mereka.

Windi dan regunya berbaris rapi sebelum memulai perjalanan mereka.

"Naek, terus lurus aja," kata Anin mengulangi perkataan para senior tadi.

Sepuluh menit kemudian, mereka telah sampai ke persimpangan yang dijaga Kak Norman.

Kembali berbaris rapi, mereka mengikuti instruksi pemuda itu sebelum kembali berjalan. Jalanan yang mereka lewati kini adalah kebun kopi yang gelap.

"Eh, Nin, bentar, tali sepatu gue lepas," ucap Windi sembari menarik lengan Anin yang ada di depannya.

Gadis itu melotot. "Aduh lo tuh ada-ada aja deh. Ya udah, buru!"

Windi berjongkok di antara semak belukar dan jalanan becek akibat hujan yang sempat mengguyur tadi. Anin berdiri di sampingnya, masih setia mengarahkan senter ke jalan yang dilalui teman-teman mereka tadi. Sementara itu, matanya menjelajah ke sekitar tempat itu sambil sesekali menepuk tangannya yang diserang nyamuk berukuran besar.

Namun tiba-tiba. "Ah, Windi!" jerit Anin ketika senter yang ia bawa tiba-tiba mati.

Cepat-cepat Windi merapikan talinya dan meraih senter kecil yang ia bawa di saku roknya.

"Anin, diem ah, nih gue bawa senter," ujarnya seraya berjalan lebih dulu. Anin hanya mengekor.

Mereka berjalan hati-hati ke arah perginya teman-teman mereka. Tak lama kemudian, mereka sampai di persimpangan.

"Ke mana, Nin?"

"Ke—" Anin meneguk ludahnya. Ia lupa ke mana mereka harus pergi selanjutnya.

"Ke mana, Nin? Jangan nakut-nakutin gue dong."

Keringat dingin mulai membasahi dahi mereka. Anin merogoh sakunya dan meraih benda kecil yang tampak tak bernyawa.

"HP gue nggak ada sinyal, Win. HP lo coba, telepon Rena atau yang lain," ujar Anin semakin panik. "Nggak ada sinyal!"

"Ikutin gue aja nanti bakal dapet jalan ke perkemahan," kata Windi. Ia berjongkok dan mengambil ranting pohon yang berjatuhan.

"Arah mana lagi nih?" tanya Anin.

"Umm ... ke kanan."

Lama mereka berjalan, hingga sayup-sayup telinga mereka mendengar seruan orang-orang yang memanggil namanya. "Nin, itu suara mereka!"

"Jangan lari," seru Anin ketika melihat Windi berlari kecil ke arah datangnya suara.

Tapi Windi mengabaikannya. Hingga beberapa saat kemudian, kakinya terpeleset ketika melintasi jalan berlumpur di samping kananya. Alhasil, tubuhnya jatuh ke bawah.

Anin berteriak kaget. "Windi!"

Ketakutan. Satu-satunya perasaan yang kini Windi kembali rasakan setelah sekian lama menghilang. Gadis itu hendak bangkit, meninggalkan kegelapan yang dibencinya selama ini. Namun, ia tidak sanggup, kakinya terkilir.

"Anin! Tolong!" isaknya.

"Windi!" jerik Anin panik, "Tolong!"

Windi saat ini berjongkok sambil memeluk lututnya. Ia meringkuk di antara semak-semak. Seluruh tubuhnya kotor ketika jatuh terguling tadi.

"Papa...."

"Win!" teriak sebuah suara tak jauh dari tempatnya kini.

Gadis itu mendongak. "Akmal?"

Sang pemilik nama menatapnya sebelum kembali pergi. Kini hanya ada Anin di atas sana, menatapnya cemas sembari sesekali menjerit kencang.

Windi kembali menenggelamkan wajahnya di antara kedua lutunya. Ia sempat mengira Akmal akan menjadi pahlawannya kali ini. Tapi sepertinya harapan itu tidak akan pernah terwujud.

Tiba-tiba, Windi merasakan sebuah tangan menariknya. Ia kembali dibuat terkejut tatkala Akmal telah berdiri di depannya sambil membawa senter. Pemuda itu tidak mengatakan apa-apa, ia hanya mengulurkan tangannya ke arah Windi.

"Ayo!"

"Gu-gue ... kaki gue, Mal," sahutnya terbata.

Akmal hanya menatapnya, tanpa bersusah payah menanyakan keadaannya saat ini. Mereka diam, namun kemudian, Windi merasakan tubuhnya melayang. Akmal menggendongnya!

Mereka berpandangan sebelum pemuda itu buka suara, "Lo nggak mau pegangan gue? Kalo jatoh lagi gue nggak nanggung ya."

Entah kenapa kalimat itu terdengar menggoda di telinga Windi. Cepat-cepat ia mengalungkan lengannya di pundak Akmal.

***

"Tadi malem Akmal sweet banget ya, Win."

Si pemilik nama hanya diam sembari memejamkan matanya rapat-rapat.

"Gue jadi tau alesan lo suka sama dia karna kejadian semalem." Lagi, suara Anin menyapa indra pendengarnya.

Demi apapun, Windi hanya ingin memejamkan matanya selama perjalanan pulang kali ini. Semalam, ia tidak bisa tidur. Orang-orang mengkhawatirkannya.

Namun, meskipun sudah diacuhkan berkali-kali, Anin tetap saja membicarakan Akmal. Seolah lupa bahwa pemuda itu bisa saja mendengarnya.

Hingga, dua jam kemudian, bus yang membawa mereka terparkir di halaman SMA Alamanda dengan selamat. Satu per satu anak meraih tas mereka dan bergegas pulang. Windi sendiri dibantu Leon yang membawa barang-barang mereka berdua.

Dari sudut matanya, gadis itu melihat mobil ayahnya terparkir rapi. Sementara tak jauh dari tempatnya berdiri, Akmal tengah sibuk mengumpulkan barangnya.

Windi meraih lengan Leon. "Le, gue mau ngomong sama Akmal bentar."

Pemuda itu tampak kaget, tapi juga tidak bisa mencegah keinginan Windi. Bagaimanapun, Akmal yang menolongnya tadi malam. Bukan dia. Ia mengangguk singkat.

Mata hitamnya menatap setiap gerakan Windi yang tengah berbicara dengan salah satu temannya itu. Lama mereka mengobrol, hingga satu tangan Windi tergerak ke arah pemuda itu. Mereka berjabat tangan sebelum Akmal meninggalkannya.

Dalam hati Leon mendengus. Windi terlalu baik buat elo, Mal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro