DUA PULUH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : Zulfa_Fauziyyah

Berubah. Satu kata yang berhasil membuat Akmal hampir saja menganga ketika melihat penampilan Windi pagi ini. Gadis itu mengikat rambutnya ke atas, wajanya natural tanpa make-up yang biasa menempel di pipinya.

Sejak memasuki ruang berukuran 10x8 meter tadi pagi, Akmal sudah menyiapkan pasokan kesabaran dan mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia akan sekelas dengan Windi, gadis yang paling ingin dihindarinya semasa SMA. Namun, sepertinya keajaiban baru saja terjadi. Gadis itu datang ke kelas tanpa berteriak ketika melihat dirinya.

Meskipun bingung, Akmal berusaha tidak peduli. Ia harus bersyukur karenanya. Gadis itu tidak akan mengganggunya lagi nanti.

Satu notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Dari Riana. Gadis itu memintanya datang ke perpustakaan sekolah. Tanpa pikir panjang, Akmal bergegas bangkit dari tempatnya.

"Lo mau ke mana, Mal?" tanya Leon yang saat ini duduk bersama Windi.

"Gue mo ke perpus bentar."

Leon mengerutkan keningnya sambil melirik jam. "Bentar lagi bell, kita ada bimbingan buat anak kelas 10, 'kan?"

Akmal mengedikkan bahunya acuh. "Gue tau."

"Jangan aneh-aneh deh, lo bisa kena amuk Rion entar!" seru Leon.

"Gue harus ketemu Riana bentar," sahutnya. Sudut matanya melirik ke arah Windi yang kini menundukkan kepalanya, pura-pura bermain ponsel.

Tanpa menghiraukan nasihat Leon, pemuda itu berjalan menjauh. Hingga tubuhnya tak terlihat ketika berbelok ke koridor C.

"Tuh anak bener-bener," decak Leon kemudian menatap Windi.

Ditatap seperti itu, mau tidak mau Windi mendongak. Iris pemuda itu masih saja mencoba mengerti isi hati Windi saat ini. Gadis itu tiba-tiba berubah dan menjauhi Akmal tanpa ia pernah tahu apa penyebabnya.

Jika ditanya apa yang Leon rasakan saat ini, ia bersyukur. Meskipun, perasaan Windi masih saja menimbulkan teka-teki untuk segera dikuak. Namun, pemuda itu cukup beruntung. Dia ada di saat yang  tepat ketika Windi memutuskan mundur perlahan.

"Kenapa, Le?"

Seakan tersadar dari lamunannya, pemuda berambut cepak itu hanya berdeham sebelum kembali memantul-mantulkan bola basket di tangannya. "Nggak pa-pa, Win."

Sementara itu, di tempat lain Akmal tiba-tiba merasa resah. Ia tidak menyukai kedekatan Leon dan Windi yang menurutnya terlalu drastis. Bagaimana tidak, gadis yang kemarin saat liburan mengganggu rencananya bersama Riana, tiba-tiba hari ini menjauh.

Akmal bukan mempermasalahkan kedekatan hubungan mereka, hanya saja ia merasa menjadi mainan Windi kemarin. Gadis itu dengan sengaja membuat semuanya jadi rumit untuk mereka berdua.

"Mal!" seru Riana ketika pemuda itu muncul di ambang pintu perpustakaan.

Beruntung keadaan saat itu sedang sepi, jadi kecil kemungkinan Riana akan ditegur akibat membuat kegaduhan di sana. Akmal menuliskan namanya di sistem absensi sebelum ikut duduk di sebelah gadis itu.

"Sorry lama."

Riana menoleh sembari tersenyum simpul. "Nggak apa-apa."

"Oh ya, ada apa lo manggil gue ke sini?"

Sejenak, gadis itu mengerutkan keningnya. Wajahnya terlihat sedih. Riana meremas kedua tangannya di atas rok selutut yang dipakainya.

"Eh, sorry, Ri, gue nggak maksud ngomong kasar sama elo," sesal pemuda itu.

Riana memaksa seulas senyum sebelum bangkit berdiri. Ia menghampiri salah satu rak di sudut ruangan kemudian menarik dua buah buku dari sana.

Gadis itu mendengkus. Manik coklat gelapnya melirik Akmal yang masih duduk di tempat semula. "Aku yang harus minta maaf," ucapnya, "harusnya aku nggak minta kamu ke sini. Tapi...."

Akmal mendongak cepat, dihampirinya gadis itu hingga jarak mereka hanya tinggal dua langkah saja. "Kita nggak lagi sekelas. Tapi kamu dan Windi sekelas, aku cuma ... aku...." Gadis itu menunduk, memandangi lantai marmer sekelam langit malam.

"Maaf, Ri." Lagi-lagi kata itulah yang meluncur dari mulut Akmal saat ini. "Bukan maksud gue buat ninggalin elo gitu aja, gue cuma lagi sibuk. Lo tau kan gue OSIS."

Satu-satunya hal yang gadis itu percaya saat ini adalah Akmal berubah. Ia cukup yakin ini ada kaitannya dengan Windi, meskipun ia tahu bahwa sikap Akmal tak begitu baik pada gadis cheerleader itu.


***

"Lo masih nggak mau cerita ke kita, Win?" tanya Anin ketika mereka bertiga duduk di taman.

Windi menoleh singkat. Alih-alih menjawab pertanyaan sahabatnya itu, ia justru sibuk mengipas-ngipas tubuhnya yang masih berbalut seragam cheers gold-hitam kebanggan Alamanda.

Di depannya sebuah gelas plastik berisi es teh manis sudah hampir tandas, lengkap dengan beberapa snack yang berceceran di meja.

"Windi!" teriak Lina kemudian.

Si pemilik nama hanya menghela napas panjang. Ia menggigit bibirnya. Iris coklat terangnya beredar, menilik satu per satu sisi taman yang dipenuhi pohon cherry dan palm berukuran sedang.

"Gue masih punya nyokap," bebernya.

Lina dan Anin saling berpandangan. Bingung dengan pernyataan sahabatnya itu.

"Bukan Mama Dira yang gue maksud. Tapi nyokap kandung gue. Nyokap nggak meninggal kayak yang Papa bilang waktu gue masih kecil." Sudut bibir Windi melengkung ke bawah.

"Nyokap kandung? Jadi ... Tante Dira bukan nyokap asli lo?" tanya Anin memastikan.

Selama ini ia tidak pernah tahu fakta tersebut. Keluarga Windi tampak sempurna baginya, ia punya segala hal yang gadis itu tidak pernah miliki, yaitu kasih sayang. Ia tidak pernah mengira bahwa seseorang yang ia anggap ibu kandung sahabatnya ternyata hanyalah ibu tiri.

Windi mengangguk, mengiyakan. "Dan lo tau siapa nyokap gue itu?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca.

Refleks, Lina dan Anin menggenggam tangannya erat.

"Dia itu ... Tante Sofi." Isakan Windi terdengar di telinga mereka. Kedua gadis itu mematung di tempat. Kata-kata Windi bagaikan sebuah rekaman yang telah rusak. "Nyokap kandung gue adalah orang yang benci sama gue, Lin, Nin. Nyokap gue lebih milih mantan pacarnya sampe ngelahirin Akmal di banding ada di sisi gue saat gue ketakutan. Nyokap kandung gue adalah orang yang nyesel karna udah lahirin gue ke dunia. Dan sekarang ... dia dateng dan minta gue dari Papa, gue nggak bisa."

Lina dan Anin segera memeluk gadis itu. Mereka tidak pernah tahu bahwa sahabatnya mengalami hal yang bagi mereka begitu sulit. Bahkan mereka tidak pernah tahu, bahwa seorang ibu dapat berbuat begitu kejam kepada buah hatinya. Seorang bayi yang tidak bersalah harus mengalami hal seburuk itu.

"Gue milih berubah, karna gue nggak bersedia disamain kayak Tante Sofi. Gue bukan dia."

Lina mengelus punggungnya pelan. Hingga dirasakannya punggung kecil nan rapuh itu kembali bergetar pelan.

"Udah, Win, udah. Jangan diinget-inget lagi. Lo masih punya Om Tomi yang selalu ada di sisi elo dan juga keluarga yang sayang. Nggak peduli nyokap kandung lo kayak gimana. Kita juga sama, kita masih sahabat lo meskipun sesuatu yang buruk terjadi. Lo percaya, 'kan?" jelas Anin kemudian.

Windi mengangguk lemah sebelum tubuhnya kembali tenggelam dalam pelukan kedua gadis itu.

Akan ada pelangi setelah hujan. Windi percaya itu, karna sekarang, Tuhan telah berbaik hati mengirimkan Dira menjadi ibunya. Seseorang yang mampu menggantikan segala rasa sakit di masa lalu. Seseorang yang dengan senang hati menghadirkan kembali kebahagiaan yang pernah pergi bersama Sofi.

Gadis itu juga telah ikhlas. Jika Akmal bukanlah jodohnya, ia yakin perlahan-lahan hatinya akan luluh oleh orang lain. Ia hanya perlu menunggu. Ya, hanya menunggu.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro