DUA PULUH SATU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : filsy3

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Siswa-siswi SMA Alamanda berhambur keluar, meninggalkan rutinitas yang seharian menguras tenaga dan pikiran.

Tak terkecuali Windi. Gadis itu ingin segera pulang, setelah seharian batinnya terkuras tatkala mendapati kedekatan Akmal dan Riana. Meskipun begitu, ia telah berjanji, pelan-pelan ia akan melupakan segalanya.

Berusaha mengabaikan semuanya, ia perlahan menuruni tangga bersamaan dengan yang lain. Hingga tiba-tiba, telinganya mendengar ada seseorang yang menyebut namanya beberapa kali. Ia mengenalnya. Dia Leon.

"Hai, balik yuk!" ucap Leon sambil merangkul bahu Windi.

Sejenak gadis itu hanya menatap wajah bernetra tajam di sampingnya sebelum berkata polos, "Kata Papa kalo balik gue harus nelpon Mama dulu, minta jemput."

Leon menaikkan sebelah alisnya. Bibirnya tertarik ke atas beberapa senti. "Ya udah telpon dulu gih, gue tungguin. Tapi, lo harus baliknya sama gue. Gimana?"

Windi mengerucutkan bibirnya, seolah sedang berpikir keras. "Oke."

Leon menjerit di dalam hati. Mereka berhenti sejenak, menunggu gadis itu menelepon Dira bahwa ia akan pulang bersama Leon. Tak lama Windi kembali ke sisinya kemudian berujar, "Ayo, Le!"

Sepanjang koridor mereka berjalan bersisian, masih dengan tangan Leon di pundak gadis itu. Semua mata memandang ke arah mereka berdua. Kebanyakan dari mereka menerka bahwa Leon dan Windi mempunyai hubungan istimewa.

Memang sejak Windi bergabung dengan team cheerleader dan Leon dengan team basketnya, orang-orang kerap kali membicarakan mereka. Belum lagi kedekatan hubungan keduanya yang kadang membuat siapapun iri, jelas membuat orang lain merasa ada sesuatu. Namun, meskipun begitu baik Leon maupun Windi hanya tersenyum ketika mereka menanyakannya, seperti saat ini.

"Lo tunggu di sini ya, gue mau ambil motor dulu," ucap Leon ketika mereka sampai di lobby. Setelah mendapat persetujuan gadis itu, ia lantas berjalan cepat ke arah parkiran.

"Nggak bawa motor?" tanya seseorang di belakang Windi.

Gadis itu berjengit kaget. Suara itu bagaikan petir di siang bolong baginya. Berbalik lambat, Windi memasang senyum andalannya. Tentu saja kali ini berbeda karena memang dipaksakan.

"Eh ... e–enggak. Itu ... tadi pagi gue dianter Papa," ujarnya terbata-bata.

Akmal memiringkan kepalanya sejenak. "Gausah kaget gitu," ucap Akmal lalu pergi ketika sebuah mobil Fortuner berhenti di depan gerbang.

Windi bisa melihat seseorang yang ada di balik kemudi. Seorang wanita yang beberapa minggu lalu berhasil memporak-porandakan hidupnya. Mereka bertatapan dibalik kaca hitam tembus pandang mobil tersebut. Hingga tak lama Windi memalingkan wajahnya, enggan menangis untuk kesekian kalinya.

Untung saja Leon kembali datang. Windi tersenyum lagi sembari berlari kecil menghampirinya.

"Tadi gue liat Akmal ngamperin elo," ucap Leon ketika motor yang dikendarainya mulai melaju perlahan meninggalkan sekolah.

"Iya. Dia cuma ... nyapa doang, I guess," balas Windi seolah mengerti ke mana arah pembicaraan pemuda itu.

Leon terdiam di balik helm full face-nya. Ia sempat berpikir bahwa Akmal berusaha mendekati Windi tanpa ia sendiri menyadarinya. Namun, kemudian pemuda itu menggeleng pelan. Akmal nggak akan ngelakuin itu.

"Le, kita mau kemana? Arah rumah gue kan ke sana," ucap Windi.

"Udah tenang aja, gue gak bakal nyulik lo," tutur Leon tenang.

Setelah 15 menit perjalanan, mereka sampai di taman kota. Pemuda itu memarkirkan motornya kemudian meminta Windi turun. Setelah memastikan motornya terkunci, Leon mengajak gadis itu duduk di salah satu bangku.

Windi menurut. Matanya mengabsen satu per satu pohon flamboyan dan mahoni yang tumbuh lebat di area itu.

"Kita mau ngapain ke sini?" tanya Windi.

"Mau main," sahut Leon asal.

Satu pukulan pelan mendarat di lengan atasnya. Leon pura-pura meringis hingga sebuah senyum terbit di wajah cantik gadis itu.

"Gaje tau nggak!"

Tawa Leon pecah. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Pemuda itu bangkit seraya berkata, "Lo tunggu sini bentar ya!"

Leon berlari kecil ke area penjual makanan yang biasa mangkal di sana. Windi hanya memperhatikan. Tak lama kemudian, pemuda itu kembali datang sambil membawa dua es krim di kedua tangannya.

"Nih buat elo." Leon menyorongkan es krim rasa vanila kepadanya.

"Makasih."

"Win besok berangkat bareng gue ya," ucap Leon di sela-sela memakan es krimnya.

"Emmm ... boleh, tapi gue izin sama Papa dulu," sahut Windi.

"Iya gue tau. Gue juga nggak mau kali dikira nyulik anak gadisnya Om Tomi."

Mereka terkekeh geli hingga tanpa sadar es krim Windi meleleh di sudut bibirnya.

"Lo mah dari dulu kalo makan es krim gak pernahm bener, belepotan mulu perasaan," kata Leon sambil mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan membersihkan sisa es krim di bibir Windi.

Gadis itu hanya diam. Tiba-tiba mereka merasa canggung. Tidak seperti biasanya.

Windi berdeham lalu berkata, "Le, besok berangkatnya pagian ya, gue mau piket soalnya."

Pemuda itu mengangguk setuju. Setelahnya mereka tampak kembali seperti biasa. Sesekali Leon tertawa hingga wajah Windi memerah karena malu. Hingga, jarum jam menunjukkan angka empat dan Leon mengajak gadis itu pulang.

"Makasih ya, Le." Windi menyodorkan helm yang tadi dipakainya. Mereka telah sampai di depan rumah gadis itu.

"Iya sama-sama," ucap Leon.

"Mau masuk dulu nggak?" tanya Windi.

"Gue mau langsung pulang aja, udah sore."

Windi mengangguk. "Oke, kalo gitu hati-hati ya jangan ngebut!"

Leon tersenyum simpul sebelum kembali memakai helm-nya dan meninggalkan rumah Windi.

***

Pagi ini Windi berangkat sangat pagi bersama Leon. Ia sengaja agar saat masuk kelas ia tidak berpapasan dengan Akmal yang akan keluar kelas. Namun, ternyata perkiraannya salah. Di kelas sudah ada Akmal yang sedang membaca buku. Ia mendesah kecewa, mau bagaimanapun juga mereka akan tetap bertemu sebab mereka satu kelas.

Windi melirik ke kanan sebentar, berharap Leon cepat kembali dari toilet. Harapan tinggal sebuah harapan ketika pemuda yang tadi bersamanya tak kunjung datang. Meski ragu, gadis itu akhirnya melangkah pelan. Saat telah sampai di mejanya–yang kebetulan bersebelahan dengan meja Akmal–ia mendengar pemuda itu menyapa pelan.

"Tumben pagi."

Windi bergeming, tak berniat menanggapi perkataan Akmal. Alih-alih, ia justru bergegas mengambil sapu untuk melaksanakan piket kelas. Gadis itu bahkan tidak sadar ketika Akmal terus-terusan mencuri pandang ke arahnya dan sesekali kembali fokus pada buku di mejanya.

Tak lama kemudian Leon datang. "Eh, lo udah dari tadi di sini, Mal?" sapanya ketika telah duduk di kursi.

"Iyalah, emang elo yang biasa berangkat siang," sindirnya.

Leon mengerutkan keningnya bingung. Rasa-rasanya, kalimat Akmal seperti tak bersahabat di telinga. Namun, ia berusaha acuh.

Sebagai seorang laki-laki, Leon jelas tahu apa makna sebenarnya dari kalimat itu. Akmal tidak menyukai kedekatannya dengan Windi. Meskipun perasaan jenis apa yang Akmal simpan di dalam hatinya ia sama sekali tidak tahu. Namun, ia mengenalnya sebagai rasa cemburu.

Leon menggeleng tak percaya sebelum tenggelam dalam jejaring sosial di ponselnya.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro