DUA PULUH DUA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : sapsha_


Langit terlihat cerah ditemani dengan semilir angin yang berembus pelan. Begitu sejuk hingga orang-orang terlena untuk memejamkan mata.

Daun-daun pepohonan tampak melambai, menemani Windi dan Leon yang sedang menghabiskan waktu istirahat mereka di taman belakang sekolah. Perut mereka telah terisi penuh usai menyantap seporsi bakso di kantin. Kedua manusia itu sama-sama menyunggingkan seulas senyum menawan, membuat orang-orang memperhatikan keduanya. Tak terkecuali Akmal.

Dari kejauhan Akmal sesekali mencuri pandang ke arah mereka. Rasanya ia memang tidak menyukai kedekatan dua sejoli itu. Sampai-sampai, ia lupa bahwa ada seseorang yang sejak tadi menemaninya. Gadis itu–Riana–merasakan respon Akmal yang kurang bersahabat. Ia tahu. Sangat tahu bahwa hati Akmal seperti tidak lagi berpihak padanya. Riana meremas tangannya sejenak sebelum memilih untuk mengalihkan perhatian Akmal.

"Eh, Mal, kayaknya di sini mulai panas deh, kita ke kelas aja yuk! Lagian bel juga lima menit lagi," ajak Riana.

"Hah? O ... oh, ok," balas Akmal tergeragap.

Daripada Akmal merasakan hal aneh di taman ini, mungkin memang lebih baik ia kembali ke kelas seperti usulan Riana.

Tidak beberapa lama setelah kepergian Akmal dan Riana bel masukpun berbunyi. Windi dan Leon beranjak, kembali ke kelas mereka.

"Ekhem, ciee ... yang abis pacaran," goda Lina ketika gadis itu melintas di samping meja mereka.

"Iyalah, yang taken mah gitu," tambah Anin.

"Apaan sih," ucap Windi malu, wajahnya merona.

"Ciee ... blushing cieee...," teriak Lina dan Anin serentak.

"Udah-udah jangan godain Windi mulu, ntar blush on-nya tambah tebel," lerai Leon yang jelas-jelas ikut menggoda Windi.

"Ih kamu mah, belain napa," ucap Windi cemberut.

Melihat hal tersebut, Anin, Lina, dan Leon tertawa terbahak-bahak.

Di sisi lain Akmal malah merasa panas akan interaksi empat teman sekelasnya tersebut. Beberapa menit setelahnya Bu Susi, guru Bahasa Indonesia, masuk ke dalam kelas.

Anak-anak berhamburan, kembali ke kursi masing-masing.

"Baiklah anak-anak, apakah kalian semua sudah paham?" tanya Bu Susi ketika wanita itu selesai menerangkan.

"Sudah, Bu," jawab mereka serentak.

"Oke, kalau begitu tidak masalah kalau Ibu memberikan kalian tugas," ujar bu Susi.

Terdengar helaan napas dari seisi kelas. Pasalnya Bu Susi adalah guru yang tidak akan tanggung-tanggung dalam memberikan tugas.

"Ibu akan membagi kalian beberapa kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan empat orang," jelas bu Susi.

"Silahkan disimak dan catat anggota kelompok kalian masing-masing. Kelompok pertama: Lina, Herwin, Cece, dan Orin."

"Idih sekelompok sama si Herwin lagi," ujar Lina kurang suka.

"Selanjutnya, kelompok dua: Fera, Didit, Anindya, dan Zein."

"Kelompok tiga: Akmal, Kintan, Leon, dan Windi," tutur wanita itu yang sontak membuat Windi hampir terjengkal dari tempat duduknya.

Gadis itu mendesah kesal. Bagaimana ia bisa move on jika setiap hari harus berhadapan dengan Akmal, apa lagi satu kelompok, di mana mereka harus saling kerja sama dalam menyelesaikan tugas mereka.

Akmal juga merasa demikian, dia senang sekaligus jengkel. Senang karena bisa sekelompok dengan Windi dan jengkel karena akan melihat kedekatan Windi dan Leon selama pengerjaan tugas mereka.

Setelah menyelesaikan pembagian kelompok, Bu Susi menjelaskan tugas seperti apa yang diberikannya.

"Jadi, tugas kali ini, kalian harus membuat sebuah makalah tentang masalah yang sedang trending sekarang. Dan ibu minta kalian juga memakai metode wawancara," jelas Bu Susi kemudian melanjutkan, "tugas ini harus ada di meja ibu minggu depan dan setiap anggota kelompok wajib ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini, jika ada yang tidak ikut berpartisipasi, namanya tidak usah kalian tulis di makalah tersebut."

Seisi kelas hanya mengangguk tanda paham.

"Baiklah kalau begitu pelajaran saya tutup, selamat siang," pamit Bu Susi sebelum berjalan keluar kelas.

Sepeninggal Bu Susi, kelas tampak riuh. Para siswa bergerombol dalam kelompok mereka masing-masing, tak terkecuali kelompok Windi. Mereka mulai membahas makalah apa yang akan mereka buat sampai di mana mereka akan mengerjakannya.

Karena canggung dengan Akmal, Windi hanya diam dan tidak menanyakan apapun pada kelompoknya. Leon yang mengerti akan kondisi langsung mengambil alih masalah kelompoknya.

"So, kita mau bikin tentang apa?" tanya Leon.

"Kalau itu sih belum tau, tapi nanti aja kita bahas apa yang mau kita bikin. Sekarang yang penting itu di mana kita mau ngerjain tugas ini?" tanya Akmal.

"Di kafe aja," jawab Windi.

"Di rumah kamu aja gimana?" tanya Leon.

"Setuju," ucap Akmal cepat.

"Lah kok di rumah aku sih? Lo juga kenapa main setuju-setuju aja?" tanya Windi kesal.

"Udahlah gak apa-apa, sekalian aku juga mau ketemu sama adek kembar kamu. Lagi pula aku udah lama gak main sama mereka," jawab Leon.

Windi hanya mengangguk tanda setuju, walaupun awalnya dia sedikit kesal. Akmal hanya tersenyum miris.

"Oke. Kalau gitu nanti jam tiga kumpul di rumah Windi," putus Akmal.

Kintan, Windi, dan Leon hanya mengangguk. Tak lama bell pulang sekolah berbunyi nyaring. Kelas kembali ramai, anak-anak mulai membereskan barang-barangnya, bersiap kembali ke rumah masing-masing.

***

"Assalamualaikum," teriak Windi ketika memasuki rumahnya.

"Wa'alaikumsalam," sahut Dira dari arah ruang keluarga.

Windi melepaskan sepatunya cepat. Dengan langkah lesu, ia berjalan menghampiri ibunya kemudian mencium tangannya. Gadis itu terduduk di atas lantai keramik dengan wajah disandarkan pada dinding di sampingnya.

Dira yang menyadari anak sulungnya itu tengah bersedih, bertanya hati-hati, "Kakak kenapa? Kok mukanya lesu gitu?"

Windi mendongak, dia beringsut duduk di dekat Dira dan menyandarkan kepalanya di pangkuan wanita berambut wavy tersebut.

"Nanti ada temen Windi yang bakal ke rumah. Mau ngerjain tugas kelompok," bebernya.

"Temennya mau dateng kok lesu gitu? Harusnya seneng dong?" Dira membelai rambut Windi lembut dan menyingkirkan beberapa helai itu dari wajah manis anaknya.

"Masalahnya ada Akmal, Ma...," rengeknya dengan wajah kusut.

Meskipun sedikit terkejut, Dira mencoba menetralkan perasaannya yang ikut memburu saat ini. Wanita itu sudah tahu semuanya. Dia tahu bahwa Windi memutuskan untuk melupakan Akmal, seseorang yang ia tahu adalah anak kandung Sofi dan Yanuar.

"Jangan terlalu dipikir, Kak. Kalian kan sekelas, jadi nggak mungkin kamu mau ngehindar dari Akmal terus. Kakak nggak boleh lesu gitu dong, nanti hatinya sakit sendiri."

Windi menatap wajah berbentuk hati itu lekat-lekat. Kemudian mengangguk pelan. "Iya, Ma."

Dira membalas tatapan itu sebelum beranjak. "Kakak ganti baju dulu gih, mama mau masakin buat temen-temen kamu nanti. Oke?"

Windi mengangguk kemudian menaiki tangga menuju kamarnya untuk mengganti seragam sekolahnya dengan polo shirt dan celana jins selutut. Sejenak, ia menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Ia membayangkan Akmal berdiri di sampingnya, memperhatikannya dengan pandangan mencemooh. Windi menghela napas berat. Ini tidak semudah kelihatannya.

Kesal, gadis itu akhirnya memilih duduk di dekat jendela. Matanya menjelajah cakrawala, berangan seandainya ia bisa pergi sejauh mungkin dari siapapun yang berhubungan dengan Sofi. Namun, itu mustahil. Nyatanya takdir mempertemukan mereka semua dalam situasi yang sulit.

Windi menumpukan kepalanya di atas meja. Ia bertahan dalam posisi itu cukup lama hingga matanya terpejam sempurna.

Satu jam kemudian, Windi terbangun ketika Dira memanggilnya turun. Mengumpulkan kembali kesadarannya, ia berjalan gontai ke arah toilet yang tak jauh dari tangga. Setelah merasa cukup segar, gadis itu menuruni satu per satu anak tangga yang berhenti tepat di tembok pembatas antara ruang keluarga dan ruang tamu.

Sayup-sayup ia mendengar percakapan sang ibu dengan seorang pemuda yang duduk membelakanginya.

"Kemana aja kamu lima hari gak mampir?" tanya Dira.

"Belakangan sibuk sama tugas sekolah, Tan, jadi nggak sempet mampir deh," balas Leon.

Tak lama Windi ikut bergabung bersama mereka dan menyapa Leon ramah. Mereka terlibat percakapan hangat sebelum Dira beranjak untuk mengambil minuman. Tepat saat itu pula, Akmal muncul di muka pintu dengan setelan kaos oblong hitam dan celana jeans khaki kebanggaannya. Sejenak Windi menahan napas, sebelum kembali menyadarkan dirinya bahwa ia tidak perlu bersikap berlebihan.

"Assalamu'alaikum," sapa Akmal yang diikuti Kintan tak lama kemudian.

"Wa'alaikumussalam."

Tak mau membuang waktu lebih banyak, mereka berempat memutuskan untuk mulai berdiskusi. Tugas itu tidak terlalu berat sebenarnya, Leon dan Kintan sama-sama punya kenalan yang bisa mereka tanyai untuk tugas tersebut. Belum lagi kemampuan Akmal yang memang pandai dalam segala pelajaran. Windi tersenyum miris, ia bukan apa-apa di antara mereka bertiga.

Gadis itu mendapat tugas sebagai notulen sekaligus membuat list pertanyaan bersama Kintan. Jarum jam kian merangkak cepat, meninggalkan angka empat lebih. Kintan mendapat telepon dari orang tuanya, gadis itu harus segera kembali karna harus menghadiri acara keluarga.

Windi menghembuskan napas berat. Ia harus melanjutkan pekerjaannya segera. Ia sibuk dengan laptop dan mengetikkan lembar demi lembar proposal yang akan mereka ajukan untuk mewawancarai seorang aktivis yang cukup terkenal di kalangan masyarakat setempat.

"Duh, ini gimana sih? Kok malah jadi berantakan gini?" ujar Windi yang mulai kesal. File laporan yang ia kerjakan mengalami kendala.

"Sini aku bantuin," ucap Leon dan Akmal serentak.

Kedua pemuda itu saling pandang. Windi yang masih canggung dengan Akmal malah memilih Leon untuk membantunya.

"Yang ini, Le, kok bisa jadi kayak gini ya," terang Windi.

"Oh, ini tuh seharusnya...."

Leon menjelaskan dimana letak kesalahan Windi. Mereka begitu dekat, bahkan nyaris tanpa jarak. Akmal yang melihat kejadian itu di depan matanya merasa terbakar. Ia tidak terima jika gadis itu seolah mengejeknya setelah semua perhatian yang dulu ia berikan pada pemuda itu.

"Ekhem." Akmal membuang muka.

Apa ini karma baginya yang sudah mengacuhkan Windi selama ini? 

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro