Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Usai pelajaran terakhir, Wanda yang baru kembali dari mengajar kelas XI.F dikejutkan oleh kerumunan siswi yang berkumpul di depan ruang guru. Beberapa diantara mereka berbisik-bisik dengan wajah kentara sekali antusias. Beberapa bahkan saling berpegangan dan terlonjak gembira.

Dengan satu dehaman, Wanda membuat kerumunan tersebut diam dan mereka memberikan ruang padanya agar bisa masuk ke ruang guru. Begitu ia sudah berada di dalam, lagi-lagi pemandangan aneh ia temukan, dimana beberapa orang guru perempuan sedang melakukan foto bersama seorang lelaki yang tidak ia kenal.

Huh, peduli amat, itu paling sales panci kreditan berjaket kulit KW yang sedang tebar pesona biar dagangannya laku.

Wanda melewati aktifitas teman-temannya itu kemudian menuju mejanya. Ia sedang meletakkan daftar nilai dan buku pegangan guru saat Ari dengan kikuk mendekat padanya.

"Bunda, wali Ari sudah datang." Katanya malu-malu.

Wanda yang menangkap perubahan sikap anak didiknya itu hanya bisa mengangguk. Mungkin kejadian di ruang guru ini membuat bocah itu salah tingkah.

Wajar jika dia harus jadi salah tingkah, toh gurunya tiba-tiba bertingkah seperti ABG. Dia sendiri bahkan malu melihat ulah mereka.

"Oke, bilang tunggu sebentar ya, Ri. Ibu sholat dulu. Lagian disini masih ramai. Ibu kasihan sama wali kamu. Nanti kalian ke ruang BK saja biar kita bicara disana."

Ari mengangguk.

"Wali Mike sudah datang?" Tanya Wanda pada Ari. Bocah itu menggeleng.

"Belum, bunda. Ibunya Mike lagi di perjalanan."

"Ya, sudah. Kamu ajak wali kamu ke ruang BK ya. Ibu pusing liat sales panci itu tebar pesona di ruang guru." Kata Wanda berdecih melihat kelakuan mereka.

"Anu..bunda, itu..."
Ucapan Ari terputus saat ponsel Wanda berbunyi dan wanita itu tersenyum padanya sebelum menerima panggilan.

"Ya, mas? Adek masih harus ketemu sama orang tua siswa. Nanti adek telepon mas lagi kalau sudah selesai."

Ari menatap gurunya dengan pandangan hormat, sementara saat ia melirik pada kerumunan guru disebelahnya, keringatnya mulai menetes.

Miss Wandanya belum sadar siapa wali yang diminta oleh Ari untuk datang ke sekolah, namun Ari sangat yakin, ketika mereka bertemu nanti, gurunya pun akan lupa kepadanya, seperti mereka semua.

"Ari...!" Suara Wanda menyadarkan Ari dari lamunannya.

"Ajak wali kamu ke ruang BK. Ibu sholat dulu, ya." Katanya.

Tanpa protes Ari pun mengangguk, lalu mengamati bayangan tubuh Wanda sebelum akhirnya menghilang ke musholla yang berada di belakang ruang guru.

Pandangan wajahnya kemudian beralih pada "sales panci" yang kini terlihat tersenyum, namun Ari yakin dalam hatinya pria itu sangat ingin menonjok wajahnya sekarang. Ia kemudian menarik napasnya lalu berjalan perlahan menyeruak diantara kerumunan gurunya.

Usai sholat, Wanda bergegas ke ruang BK. Kerumunan guru yang tadi sibuk berfoto serta gerombolan siswi antusias karena sales panci berjaket kulit tersebut sudah bubar. Wanda menghela napas lega. Bagaimanapun juga, kurang enak melihat para guru bertingkah seperti ABG didepan para siswa. Walau begitu, Wanda tidak ambil pusing. Semua sudah dewasa dan bisa memutuskan mana yang baik dan benar untuk dirinya sendiri, bukan?

Namun alangkah terkejutnya saat berada di ruang BK, Kalina, guru yang bertanggung jawab untuk urusan konseling sedang terkikik malu-malu, yang sama sekali bukan dirinya, pada seseorang. Astaga, sales panci itu rupanya wali Ari.

Wanda kemudian menyeka rambut panjangnya yang masih basah karena air wudhu. Dia merasa tidak enak kepada Ari karena menyebut walinya sales panci. Tapi dia juga tidak sepenuhnya salah. Kebanyakan orang asing yang datang ke ruang guru terkadang merupakan penjaja barang yang bisa di cicil hingga sepuluh kali, mulai dari panci, alat pijat, emas sepuhan, bahkan alat pel mutakhir sekalipun.

Kalina tersenyum saat melihat Wanda datang.

"Lin, pinjem ruangannya bentar, ya. Nanti ada satu lagi habis ini. Nggak apa-apa, kan?" Tanya Wanda sopan. Kalina mengangguk.

"Gak papa dong, Nda. Sering-sering juga boleh. Hihihi." Dia terkikik, membuat Wanda mengerutkan dahinya.

Sangat bukan Kalina.

Lalu wanita itu mengalihkan perhatiannya pada dua orang yang sekarang duduk di sofa dalam diam.

Wajah Ari masih segugup sebelumnya dan Wanda merasa tidak enak mengatai walinya sales panci. Sementara sang wali sendiri, apa dia benar-benar wali anak itu? Wajahnya yang dibingkai kaca mata hitam tampak muda, lalu gayanya itu, kok Wanda agak sebal ya melihatnya, duduk bergaya sok mengangkat satu kaki, tangan bertumpu di pangkuannya, lalu senyum tipis seolah ingin berkata, "aku ganteng loh".

Lalu dengan canggung Wanda mendekat dan menyalami pria itu.

"Walinya Ari?" Tanyanya.

Tanpa ragu si pria mengangguk.

"Saya baru tahu ayah Ari masih muda, ya?"

"Anu, bunda. Ini kakak saya." Jawab Ari sopan, membuat Wanda meliriknya, lalu menganggukkan kepalanya.

"Kakak kandung atau kakak ketemu gede?" Tanya Wanda serius.

"Kakak kandung Ari, bunda."

Wanda meneliti wajah sang wali, berharap menemukan kemiripan walau gagal karena kacamata hitam yang bertengger di hidungnya yang mancung.

Yah, hidungnya mirip, sih. Lubangnya ada dua.

"Orang tua Ari mana?" Tanya Wanda lagi pada Ari.

"Orang tua Ari sedang di luar negeri, bunda." Balasnya.

Wanda kembali manggut-manggut.

"Oke, bapak..." Wanda tidak bisa melanjutkan, karena memang dari awal mereka belum memperkenalkan diri.

"Dhito." Kata pria itu, dengan suara berat yang dibuat seksi yang membuat Wanda geli.

"Oke, bapak Dhito..."

Ditoyor maksudnya.

"Saya Wanda, wali kelas Ari. Tadi oleh bapak wakil kurikulum ditemukan sedang merokok di kantin. Padahal Ari bukan murid biasa di sekolah ini, dia ketua OSIS yang punya tanggung jawab besar, juga sebagai panutan teman-temannya."

Wajah pria itu berubah, lalu sebuah kalimat keluar dari mulutnya.

"Lah, kerjaan gurunya apa kalau menghadapi murid macam Ari saja tidak bisa?"

Wanda menelan ludahnya.

Boleh nggak ini orang disambit pake sepatu?

"Oke, begini bapak. Siswa perwalian saya jumlahnya tiga puluh orang, dan saat Ari dan satu orang temannya merokok di kantin, saya sedang mengajar. Tidak mungkin saya fokus mengurus Ari sementara dua puluh delapan murid saya yang lainnya terlantar. Jika bapak berpikir saya digaji hanya untuk mengasuh Ari yang notabene sudah dewasa, maka saya harap bapak meninjau ulang definisi guru dan pengasuh itu cukup berbeda dalam kamus bahasa Indonesia."

Bibir Dhito yang tadinya hendak membuka mendadak tertutup.

"Satu lagi, maaf kalau kurang sopan, sebaiknya saat bicara dengan seseorang ada baiknya bapak membuka kacamata kecuali memang bapak adalah orang berkebutuhan khusus."

Ari nyaris terkikik. Lalu dengan gaya anggun Dhito melepaskan kacamatanya, melirik sebentar pada Ari yang langsung terdiam lalu memusatkan pandangannya pada Wanda yang, anehnya tampak biasa saja saat menatap wajahnya.

Tidak salah?

"Terima kasih." Kata Wanda, tampak tidak tertarik dengan penampakan wajah Ditho yang sebelumnya di kerubungi oleh para wanita.

"Jadi, " Wanda kembali berbicara dengan serius.

"Ari akan kami beri surat peringatan pertama, bahwa apa yang dia lakukan salah. Apabila setelah ini Ari masih nekat melakukan kesalahannya, surat peringatan kedua serta hukuman skorsing menunggu. Kami juga butuh dukungan dari keluarga untuk membantu Ari apabila ada masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Usia seperti Ari butuh dukungan dari orang terdekatnya."

Wanda ingin melanjutkan ucapannya namun merasa terganggu saat mata Dhito menatapnya dengan intens.

"Rambut anda basah." Katanya seakan tidak peduli pada kata-kata Wanda tadi.

"Iya, bapak. Saya habis sholat tadi."

"Hm..."

"Jadi, soal Ari, saya minta tolong..." Wanda berusaha melanjutka ucapannya namun segera dipotong oleh Dhito.

"Anda single?"

Apaan, sih?

Wanda menatap tidak suka pada Dhito yang bicara blak-blakan didepannya, dan adiknya sendiri tentu saja. Bahkan Ari sampai menggaruk kepalanya karena malu.

"Ganda campuran, pak." Kata Wanda asal. Lalu ia bangkit dan menatap Ari dengan tegas.

"Ari kamu ikut ibu kekantor, kita cetak surat peringatan pertama yang harus ditandatangani sama wali kamu."

Ari segera bangun dari duduknya dan cepat-cepat mengangguk.

"Siap, bunda."

Lalu Wanda menoleh padanya.

"Saya pamit sebentar, bapak Dhito."

Ditho kemudian mengangguk sambil tersenyum tipis, sementara Ari sudah melangkahkan kakinya menyusul Wanda yang lebih dulu keluar dari ruang BK dengan wajah yang tampak gusar.

Well, dia menarik. Batin Ditho.

Tapi kenapa dia tidak terpesona seperti yang lainnya?

"Kamu nggak menelepon orang lain dan kamu akui jadi kakak kamu kan, Ri?" Selidik Wanda saat mereka sudah berada di ruang Tata Usaha, menunggui hasil cetak surat peringatan untuk Ari.

Bocah itu menggeleng.

"Nggak, bunda. Ari udah buat salah dengan merokok, nggak mau lagi ngulang bohong. Memang bang Dhito kakaknya Ari."

"Gayanya beda banget."

"Pekerjaannya yang bikin jadi begitu. Aslinya nggak." Balas Ari.

"Memangnya apa kerjaan kakak kami sampe gayanya selangit begitu? Sales mobil mewah? Pialang saham? Atau bos narkoba?"

Ari menggaruk-garuk kepalanya. Kenapa gurunya seperti tidak tahu apa pekerjaan yang dilakoni abangnya?

"Ibu beneran nggak tahu siapa bang Dhito?"

Wanda menggeleng. Saat itu seorang pegawai TU sudah kembali dari meminta tanda tangan kepala sekolah.

Sambil mengucapkan terima kasih, Wanda menerima surat itu lalu membaca tulisan yang tertera disana.

"Beneran kalian saudara kayaknya." Gumam Wanda saat membaca isi surat tersebut. Ari tersenyum. Akhirnya sang guru sadar.

"Namanya susah banget dibaca. Bikin keseleo lidah." Ia tertawa.

Ari kembali bengong. Tidak mungkin bunda Wanda belum sadar. Ardhito itu ibarat Christiano Ronaldo dalam sepak bola. Semua orang tahu bahkan berharap suatu saat bisa berjabat tangan dengannya. Namun kenyataan didepannya sekarang tampak jauh berbeda. Wanda bahkan tidak peduli sama sekali pada kakaknya.

Ari tersenyum. Bunda Wandanya bahkan tetap memperlakukan Ari seperti biasanya. Tidak seperti yang lain, berubah jadi menyebalkan saat mereka tahu kalau ia adalah adik Ardhito Abyan Abinaya yang terkenal itu.

Wanda lalu menandatangani bagian surat yang terdapat namanya, lalu setelah selesai ia menatap wajah Ari dengan serius.

"Ri, ibu harap kamu tidak ceroboh mengulangi hal seperti ini disekolah. Kalau diluar sana, ibu tidak bisa melarang karena merokok atau tidak itu hak kalian. Hanya saja, kamu harusnya tidak merugikan diri dengan hal semacam itu. Kamu ganteng dan berbakat, juga pintar dan baik, ibu percaya di masa depan kamu akan lebih bersinar dari sekarang, jangan rusak diri kamu dengan rokok atau apapun itu, kalau suntuk, ambil bola basketmu, ajak ibu main di lapangan, atau boleh curhat selagi ibu bisa akan ibu dengarkan. Kamu harus janji jangan ulangi hal seperti ini."

Mata Ari berkaca-kaca.

"Orang tua kamu sibuk, mereka punya alasan. Klise memang, tapi tahukah kamu, andai mereka tidak bekerja, mungkin kamu tidak akan bisa bersekolah di sini. Walau berat, kesepian tanpa mereka, kamu harus tunjukkan rasa hormat dan kasih sayang saat bertemu. Kita tidak akan tahu, saat kita sibuk, mereka sedang berjuang atau bahkan saat kita tidak sadar, ketika pulang menemukan mereka sudah terbujur kaku, saat itu kamu bahkan tidak punya satu kesempatan lagi untuk membuat mereka bangga."

"Pedih memang saat orang tua yang kamu jadikan panutan tidak berada disamping kamu saat dibutuhkan. Tapi lebih pedih lagi kalau menemukan kenyataan bahwa mereka tidak berada disisi kamu lagi selamanya."

Air mata bocah tampan itu menetes tanpa diperintah.

"Kalau mereka tidak menelepon kamu, maka kamu yang harus mulai menelepon mereka. Ingatkan mereka untuk makan, beristirahat atau mengingat Tuhan. Karena bagi orang tua, hanya anak yang bisa membawa mereka ke surga."

Ari mengangguk dan menyeka matanya yang basah dengan telunjuknya.

"Maafin Ari, bunda." Katanya menyesal.

"Jangan diulangi lagi. Kamu masih punya banyak kesempatan untuk jadi orang hebat. Manfaatkan itu untuk buat orang tua kamu bangga. Jangan terintimidasi sama kakak kamu."

"Bunda sudah tahu siapa abang Dhito?"

Wanda menggeleng.

"Ibu nggak tahu, tapi yang ibu tahu adalah kamu tampak tertekan ketika berada disampingnya. Seperti bukan Ari yang ibu kenal. Kamu gugup. Hal seperti itu juga biasa terjadi antar saudara."

Ari tersenyum. Siapa yang tidak minder kalau berada di samping bang Dhito?

Wanda selesai menandatangani surat peringatan milik Ari saat wajah Mike muncul mengagetkan mereka.

"Ibu Mike sudah datang, bunda." Katanya.

Wanda mengangguk lalu meminta Mike membawa ibunya ke ruang BK sementara ia akan segera menyusul.

"Ri, jangan lupa pakai materai ya. Kamu cari dulu kalau nggak ada. Di toko fotokopi depan sekolah biasanya jual. Nanti beli dua sekalian buat Mike."

Ari mengangguk. Ia segera pamit, sementara Wanda mulai menyusul Mike dan ibunya menuju ruang BK.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro