Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sok sok..mari kita belajar bahasa Inggris bersama Miss Wanda

No English dictionary has been able to explain the difference between the two words "COMPLETE and FINISHED". Some people say there's no difference between COMPLETE and FINISHED, but there is:
When you marry the right woman, you are COMPLETE! When you marry the wrong woman you are FINISHED! ....And when your wife catches you with another woman, you are ...COMPLETELY FINISHED! And if you marry a wife who likes shopping so much, you are FINISHED COMPLETELY! 😂🤣😂🤣

***

Usai dengan urusan kedua murid dan walinya, Wanda akhirnya kembali ke ruang guru untuk membereskan mejanya dan bersiap untuk pulang. Sekolah sudah sepi sekitar satu jam yang lalu, bahkan kekasihnya Bagas sudah menunggu dari tadi di pelataran parkir sekolah.

Setelah yakin bahwa ia sudah membereskan mejanya, Wanda mengganti sendal jepitnya dengan sepatu pump hi heels yang sebelumnya ia pakai. Kemudian dengan tergesa keluar dari ruang guru menuju pelataran parkir sekolah. Saat sampai di parkiran, ia berpapasan lagi dengan Ari dan kakaknya, sales panci minta ditoyor.

Anehnya, Bagas malah bersalaman dengan pria itu.

Ketika Wanda mendekat, Bagas langsung memperkenalkan dirinya pada Dhito.

"Dek, ini teman kuliah mas waktu di Oz dulu. Namanya Dhito. Sekarang sudah terkenal dia."

Wanda mengangguk-angguk tak nyaman sementara Dhito tersenyum-senyum mesum kepadanya, setidaknya itulah yang Wanda tangkap saat melihat senyumnya. Ia tidak suka. Sebagai balasan, Wanda menarik lengan Bagas agar lebih dekat ke arah tubuhnya.

"Udah kenalan tadi, mas. Walinya siswa adek."

Bagas tersenyum.

"Dhit, ini tunangan aku. Wanda namanya. Nanti kalau kami nikah, jangan lupa datang ya. Kalau boleh, kamu nyanyi, deh."

Ardhito mengangguk. Matanya masih menatap Wanda dengan rasa penasaran yang tidak bisa ia kesampingkan. Sementara Wanda sepertinya sudah tidak sabar ingin menarik Bagas meninggalkan tempat itu dengan segera.

"Mas, nanti butiknya tutup. Ini udah setengah empat, lho. Jakarta macet."

Bagas mengangguk, lalu mengusap pelan jemari Wanda yang melingkari lengannya. Hal itu tidak luput dari pandangan Dhito, namun ia tidak mengatakan apapun. Hanya tersenyum samar.

"Dhit, balik dulu ya. See you, man." Kata Bagas pada akhirnya, sambil menyalami Dhito. Pria itu membalasnya.

"Nanti nongkrong bareng, Gas." Balas Dhito yang direspon dengan anggukan Bagas.

Uluran tangan Dhito pada Wanda awalnya hanya dilirik dengan enggan olehnya, namun karena menghormati Bagas, Wanda akhirnya membalas dengan menjabatnya cepat-cepat.

Saat berbalik, Ari memanggil Wanda.

"Bunda, Ari pulang dulu."

Bocah kelas sebelas itu kemudian meraih tangan Wanda dan menciumnya dengan sopan. Wanda tersenyum penuh kasih sayang pada Ari, sikapnya jauh berbanding terbalik pada Dhito yang masih menatapnya. Untunglah Bagas sudah kembali ke kursi pengemudi, hingga ia tidak perlu susah payah menahan indra penglihatannya untuk menikmati wajah Wanda sepuasnya.

Ia belum pernah seperti ini, merasa tertarik pada seseorang dari kalangan biasa. Bukan seperti wanita-wanita cantik dari kelasnya. Tapi Wanda adalah pengecualian. Sejak pertama kali melihatnya, Wanda telah mencuri perhatiannya dibanding rasa kecewa karena adik bungsunya ketahuan merokok disekolah.

Walau dia ternyata milik orang lain.

Orang lain itu ternyata teman kuliahnya dulu.

Huh, dunia memang sempit.

Setelah mobil yang dikendarai Bagas meninggalkan sekolah, Ardhito segera mengenakan kembali kacamatanya, lalu bergegas masuk mobil sport mewahnya yang berwarna kuning terang dimana Ari sudah menunggu dengan wajah cemas.

"Kamu pulang kerumah mama?" Tanyanya datar. Ari dengan bimbang menjawab.

"Nggak ada orang dirumah, bang. Aku sendirian sudah tiga hari. Mama nggak balik-balik."

Dhito menoleh pada Ari yang kini muram, lalu ia menatap kacamatanya.

"Sudah telepon mama?"

Ari mengangguk.

"Udah, tapi nggak aktif."

"Ya udah, kamu ambil baju kamu di rumah, nanti nginep di apartemen abang."

Ari mengangguk.

"Tapi abang nggak bisa lama dirumah. Ada syuting habis ini, terus off air sampai malam. Kamu nggak apa-apa?"

Untuk kedua kalinya Ari mengangguk.

"Iya, bang. Nggak apa-apa."

"Sudah makan?" Ditho bertanya lagi. Ari menggeleng. Ia hanya sempat makan dua buah gorengan saat ketahuan merokok tadi. Setelah itu dia nyaris tidak makan hingga saat ini.

"Kita mampir makan dulu." Katanya untuk yang terakhir kali sebelum mobil mereka menyusul meninggalkan parkiran sekolah yang sekarang benar-benar sepi itu.

***

Bagas dan Wanda sampai di sebuah butik yang cukup terkenal dibilangan Jakarta Barat. Saat masuk, seorang desainer pria kemayu bertubuh tambun mendekat.

"Wanda dan Bagas yang tadi konfirmasi lewat telepon, kan? Ayo masuk dulu. " Ajaknya sopan. Lalu sepasang kekasih itupun mengekorinya dengan tangan saling membelit erat dan senyum yang tidak lepas dari bibir masing-masing.

Setelah beberapa menit, Wanda dipersilahkan untuk memilih beragam gaun yang menjadi koleksi disana. Apabila ia sudah menemukan desain yang pas, maka sang desainer akan memfitting ulang bajunya, lalu menjahitkan lagi sesuai dengan ukuran tubuh Wanda atau bila tidak ada satupun model yang ia sukai, Wanda bisa bebas meminta dibuatkan satu disain baru yang sesuai dengan kepribadiannya.

Setelah beberapa kali melihat model busana pengantin yang ia sukai, akhirnya pilihan Wanda jatuh pada sebuah gaun berwarna putih tulang dari bahan lace didesain ala ball gown yang mekar dibagian bawah, dengan brokat lembut dan manik-manik sangat indah yang menghiasi dada, sedikit bagian bahu dan tangannya, serta menampilkan siluet tubuh Wanda dengan pas baik ilusi yang ditimbulkannya di bagian leher yang membuatnya semakin jenjang. Atau dibagian punggung yang sedikit terbuka namun tidak terkesan vulgar tetap membuatnya mempesona. Bagas bahkan tidak bisa berkata apapun saat melihat kekasihnya muncul dari balik fitting room.

"Magnificent" katanya saat melihat Wanda tersenyum dengan manisnya.

"Jadi setuju dengan model yang ini?"

Suara Baskoro sang desainer atau lebih suka dipanggil "B" membuyarkan keheningan diantara sepasang kekasih yang sibuk mengadu ilmu telepati untuk saling mengirimkan sejuta perasaan cinta yang tidak bisa mereka katakan. Wanda yang menjadi sedikit canggung kemudian menatap Bagas berusaha meminta konfirmasi darinya sebelum Wanda memutuskan pilihannya.

Bagas mengangguk menyetujui, berarti Wanda pun tinggal meminta kepada B agar membuatkan satu gaun dengan model yang sama seperti yang sedang ia pakai sekarang.

"Itu yang yey pakai koleksi terbaru tahun twenty seventeen loh say. Kemaren waktu eke ke JFC ini paling banyak diincer. Memang best seller."

"Tapi nanti eke modif ya, biar nggak kodian gitu. Buat kawinan bok, once in a lifetime. Masak disamain sama grosiran. Ntar disangka beli di PGC dong nek." Kata B dengan mulut ceriwisnya, membuat Wanda hampir mundur dua langkah ketika ia mencoba membantunya melepaskan gaun itu.

"Saya bisa sendiri, mas..eh." Wanda gugup saat matanya ditatap dengan pandangan B yang menusuk.

"Panggil eke B aja, darl. Don't be so serious."

Wanda mengangguk.

"Oke, B"

Bencong.

B lalu kembali ke meja desainnya, membuka satu folder besar yang Wanda ketahui berisi ukuran badan dan desain baju.

Setelah menuliskan nama Wanda disitu, ia kemudian mengambil sebuah meteran dan dengan cekatan menggunakannya untuk mengukur tubuh Wanda.

"Boobies yey gedong nek. Suaminya pasti seneng." Bisik B ditelinga Wanda yang menyebabkan wanita itu kembali mundur selangkah karena malu. Dia tidak tahu arti bahasa banci yang berbunyi gedong itu, tapi jelas dia tau arti kata boobies.

"Laki yey juga cucakrowo cakrabirawa neik. Jaga baek-baek, jangan diambil pelakor. Nangis yey. Tapi sapose yang tinta tahu Bagas Mahesa, neik. Pengusaha terkenal."

Jujur Wanda benci setiap kali orang mengungkit-ungkit tentang Bagas dan pekerjaannya. Ia memang seorang pengusaha muda yang sedang naik tahun diakhir usia dua puluh tahunnya. Berwajah amat tampan, tinggi semapai. Beberapa orang malah selalu mengatakan ia beruntung bertemu Bagas, tanpa mereka tahu bahwa mereka berjuang bersama-sama sejak sepuluh tahun yang lalu, sejak Bagas masih beranjak dewasa, dengan kesulitan yang besar menjalin hubungan jarak jauh, putus sambung beberapa kali karena Wanda selalu takut dengan komitmen. Hingga ia mampu menjadi wakil direktur di perusahaan besar seperti sekarang ini, tidak mudah langkah yang telah ia lakukan, butuh banyak pengorbanan, namun seperti manusia kebanyakan, pada akhirnya mereka hanya bisa berkomentar.

"Masnya pesen jas dimana? Disesuaikan sama gown nya? Atau nggak?" Tanya B yang kemudian merubah cara bicaranya pada Bagas yang sedang mengamati mereka dalam diam.

"Oh, nanti ke penjahit langganan saya. Rencananya disesuaikan dengan gown Wanda."

B mengangguk. Setelah selesai mengukur tubuh Wanda, ia kembali ke mejanya. Menyelesaikan tulisan dalam foldernya lalu mendekati merek berdua.

"Ini nanti selesainya sekitar dua bulan. Akan ada beberapa kali fitting biar ukurannya pas. Jeng Wanda makannya jangan banyak-banyak, nek. Ntar bajunya nggak muat."

Baik Wanda dan Bagas, keduanya tersenyum.

"Uang mukanya gimana, B?" Tanya Wanda yang sudah mengetahui harga gaun pengantin pilihannya tadi. Walau sebenarnya ia sedikit keberatan dengan harganya, namun diawal, Bagas sudah meminta ia tidak mengkhawatirkan semua hal yang berkaitan dengan biaya pernikahannya. Pria itu sudah menyiapkan semuanya sejak bertahun-tahun lalu. Wanda hanya ia minta untuk menyiapkan diri dan pikirannya saja menjadi istri Bagas.

"Uang muka lima puluh persen dibayar dimuka, kita juga terima credit card." Kata B santai. Bagas kemudian segera berdiri, mengambil dompetnya, dan mengeluarkan satu kartu platinum dan menyerahkannya pada B yang langsung tersenyum senang dan segera memanggil seorang pelayan untuk segera memproses transaksi mereka pada hari itu.

Tidak lama, urusan mereka selesai di butik dan keduanya kemudian memutuskan untuk makan disebuah restoran cepat saji yang berada tidak jauh dari butik Baskoro.

"Ayam goreng dua, french fries satu, burger satu,  sama nasinya satu. Ada lagi yang mau ditambahkan?" Tanya pramuniaga yang melayani mereka sore itu.

"Air mineral dua sama cream soup satu, mbak." Jawab Wanda.

Dengan cekatan pramuniaga tersebut menambahkan pesanan baru, lalu menjumlahkannya. Setelah Wanda membayar, ia lalu mengambilkan satu-satu pesanan mereka dan meletakkannya di piring pada sebuah tray.

"Terima kasih, selamat menikmati." Kata pramuniaga tersebut setelah menyerahkan pesanan mereka yang segera diambil oleh Bagas.
Lalu mereka berdua memilih satu meja kosong yang terletak sedikit di ujung restoran. Setelah duduk, Bagas lebih dulu menuju wastafel yang tersedia dekat situ untuk membasuh tangannya. Setelah dua menit, giliran Wanda melakukan hal yang sama.

Mereka kemudian menikmati makanan yang tersedia sambil mengobrol. Sesekali Wanda tertawa karena gurauan yang di lontarkan Bagas kepadanya, namun tidak jarang juga Bagas akan tersenyum mendengar cerita yang dituturkan Wanda tentang hari itu. Hingga kemudian pertanyaan Bagas tentang Dhito membuat Wanda nyaris terdiam.

"Dia anaknya baik kok, Mel." Kata Bagas.
Mel atau Amel adalah panggilan sayangnya untuk Wanda.

"Walaupun orang tuanya berkecukupan, waktu di Oz dia nggak malu part time, nyanyi dari kafe ke kafe. Sampai pulang ke Indonesia, tahu-tahu jadi terkenal kayak sekarang."

"Adek nggak mau tahu kalau dia terkenal atau nggak, mas. Jangan dibahas lagi, lah. Nggak suka."

Bagas yang sedang menguliti ayam milik Wanda menghentikan pekerjaannya.

"Lho kenapa? Tadi di sekolah ada apa memangnya? Dia wali siswa yang tadi cium tangan kamu, kan?"

Wanda mengangguk.

"Nggak tahu, nggak suka aja liatnya. Sok sombong gitu. Adek bilang kalau adiknya itu ketahuan merokok, dia malah marah, bilang apa kerjaan adek sampe siswa ngerokok aja nggak tahu. Kan kesel, mas. Siswa adek bukan adiknya doang. Memang adek wali kelasnya, tiga puluh siswa tanggung jawab adek, lah adek ngajar enam kelas tinggal dikali jadi seratus delapan puluh orang, itu semua manusia, harus diawasi, dia malah nyuruh adek ngasuh adiknya satu."

Bagas tertawa.

"Maklumi aja, mel. Dhito itu terbiasa agak ketus dikit."

Wanda menghela napasnya. Kenapa harus membahas orang lain sih dalam obrolan mereka kali ini? Apa Bagas tidak tahu kalau Wanda merindukannya seharian ini? Mereka bahkan belum sempat membahas tentang katering dan undangan, padahal pernikahan mereka tinggal tiga bulan lagi.

"Lho, bunda Wanda makan disini juga?"

Suara familiar ditelinga Wanda membuatnya menoleh, dan potongan ayam yang sedang dipegangnya nyaris meluncur lagi ke piring didepannya saat melihat sosok Ari dan kakaknya kini sedang memandang penuh minat kepada mereka berdua.

Sial.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro