Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kelas bahasa Inggris bunda Wanda

Understanding A Girl
This Is Like Downloading A 4GB File.
At The Speed Of 2kbps.
Which Ends Up..
In An Error At 99% Completed…

***

"Bunda makan di sini juga?"
Suara antusias milik Ari terdengar dengan nyaring di telinga Wanda. Bukan kehadiran  Ari yang ia permasalahkan, namun sosok disampingnya yang tersenyum-senyum seperti orang mesum membuat sekujur tubuh Wanda bergidik ngeri. Sialnya Bagas malah mengajak mereka untuk makan bersama, menggabungkan pesanan super banyak yang sedang dipegang oleh Ari dengan menu mereka yang sudah separuh habis.

"Nggak nyangka ketemu disini juga." Kata Bagas sambil tersenyum. Dhito pun membalas senyuman itu dengan ringan, kemudian melepas kacamatanya. Saat ini ia memilih duduk disamping Bagas yang duduk berseberangan dengan Wanda. Otomatis Ari mengambil bangku di sebelah Wanda. Celakanya malah Bagas tidak sadar kalau hal itu dimanfaatkan oleh Dhito untuk menikmati wajah Wanda yang cemberut sepuas hatinya.

Mimpi apa coba aku semalem didatangi sales panci ini lagi? Duh.

Merasa tidak ada gunanya memasang wajah tertekuk yang akan membuat Bagas bertanya-tanya, Wanda lalu mengalihkan pandangannya pada Ari, dan mengajaknya bicara. Bocah itu tampak lahap menyantap jatah ayam goreng dan nasinya.

"Laper, Ri?" Tanya Wanda. Tanpa malu Ari mengangguk.

"Lapher bhaanget. Thadhi chumha mhakan ghorengan dwa." Balasnya disela-sela kunyahan nasi.

"Makan dulu, baru ngomong. Nanti keselek, dilihat fans kamu jadi malu. Ketua OSIS makannya kayak nggak pernah nemu."

Ari cengesan. Ia lalu meraih cangkir kertas berisi softdrink miliknya, menyedot isinya hingga tersisa setengah, lalu melanjutkan makannya. Saat Wanda kembali mengalihkan perhatiannya pada Bagas, matanya menangkap senyum samar dari bibir Dhito untuknya.

Ember mana ember? Mau muntah, ih.

"Nggak sibuk roadshow, Dhit?" Suara Bagas kemudian mampir ke gendang telinga Wanda, membuat wanita itu melirik sesaat pada tunangannya, namun segera memusatkan lagi pandangannya pada ayam tanpa kulit yang sebelumnya dipisahkan oleh Bagas.

"Aku off air malam nanti, Gas. Di TV Lima, ada acara tertutup ulang tahun bosnya."

Suara Bagas terdengar bangga saat berikutnya ia bicara.

"Wow, makin sukses. Album kamu kemarin laris juga kayaknya, berapa copy?"

"Sekarang sih, pembelian fisik kurang laku, cuma kencengnya di bagian download, RBT sama di aplikasi kayak itunes gitu."

"Banyak?" Tanya Bagas lagi.

"Lumayan, sih."

Suara tawa Bagas yang renyah memenuhi pendengaran Wanda. Pria itu selalu mudah tertawa dan kagum pada orang lain.

"Kamu suka merendah. Mana mungkin penyanyi top sekelas Ardhito Abyan Abinaya punya penjualan lumayan. Terakhir aku dengar, single kamu nomor satu selama hampir tiga bulan."

Wanda nyaris tersedak tulang. Kakak Ari bukannya sales panci? Kenapa Bagas malah menyebutkan satu nama yang sering didengarnya dari para siswi saat jam istirahat sekolah.

Oh Tuhan, jadi saat mereka berebutan berfoto tadi pagi, karena kakak Ari ini seorang artis?

Artis? Bukan tukang panci?

Jaketnya bukan KW?

Wanda segera mengangkat kepalanya, namun dengan cepat melirik Ari yang masih sibuk makan sambil memperhatikan kedua lelaki itu bercakap-cakap. Usianya memang baru tujuh belas tahun, namun bukan berarti ia tidak mengerti apapun. Dipilih menjadi ketua OSIS berarti menunjukkan dirinya punya kecakapan, kan?

Namun dengan bijak Ari hanya memutuskan untuk makan sampai ia sadar diperhatikan oleh gurunya.

Wanda sedang tersenyum dengan kikuk kepadanya.

Kalau dipikir, wajah Ari memang mirip si artis sales panci itu, hidung mereka sama-sama mancung. Ari lebih tampan, tapi kan dia belum memandangi wajah si sales panci dengan benar, duh kenapa ia meracau seperti ini?

"Bunda masih lapar? Ayam Ari masih banyak." Suara Ari yang menawarinya seember ayam membuat Wanda mendadak mual. Ia menggeleng.

"Nggak, makasih ya. Ibu sudah kenyang. Mau cuci tangan dulu."

Wanda kemudian bangkit, membuat Bagas menoleh padanya, selama beberapa detik pria tampan itu mengirimkan senyuman lewat udara padanya yang diterima oleh Wanda dengan baik. Ia bahkan tidak merasa perlu untuk menatap si sales panci dan langsung membalikkan tubuhnya menuju wastafel.

Setelah mencuci bersih tangannya, dan yakin bahwa tidak ada jejak bau ayam goreng atau bahkan kulitnya sekalipun, Wanda menggunakan air keran untuk menyeka wajahnya yang sepertinya menjadi kacau sejak bertemu dengan orang itu.

Sekarang dia harus menyebutnya apa? Dia sudah jelas bukan sales panci. Wanda tidak sudi menyebut namanya walau yakin beribu gadis akan meneriakkan namanya dengan senang hari, baik saat bangun atau ngelindur, cuih.

Tarik napas, Wanda. Kalian tidak akan bertemu lagi. Cukup pastikan Ari tidak akan berbuat macam-macam, dan beres. Say goodbye to yesterday.

Lalu, dengan gugup Wanda melirik meja mereka yang terlihat dari tempat cuci tangan. Bagas masih asyik mengobrol, Ari masih sibuk makan, dan pria itu masih dengan santai menanggapi pertanyaan yang diajukan kekasihnya yang tampan itu. Namun Wanda dapat melihat kalau sesekali pria itu mencuri lihat ke arah wastafel tanpa membuat Bagas curiga sama sekali.

Tuh kan, sejak awal ia sudah curiga. Mulai dari saat pria itu menginterupsi ucapannya, bertanya dia single atau tidak, caranya tersenyum dan menatap Wanda benar-benar seperti orang mesum. Ia sangat terganggu karenanya. Tidak peduli walau orang bilang ia tampan dan terkenal. Ia tidak mau berurusan dengan orang lain saat hatinya terikat dengan Bagas. 

Wanda menghela napasnya. Sekarang dia harus apa? Bagaimana caranya melarikan diri dari tempat ini tanpa membuat Bagas merasa tidak enak kepada temannya.

Tatapan wanita itu lurus pada kaca yang memantulkan pintu kamar mandi dibelakangnya. Pintu itu kemudian membuka dan seorang gadis berjilbab keluar dari sana dengan tangannya yang basah, lalu mendekati salah satu keran kosong di samping Wanda.

Wanita itu kemudian tersenyum.

*
"Sayang, kenapa buru-buru?" Tanya Bagas bingung sambil tetap mengekori Wanda yang berjalan lebih dulu darinya kearah parkiran mobil.

"Mas, adek udah bilang tadi. Adek dapet. Nggak bawa pembalut. Nanti darah semua kalau kita nggak segera pulang." Kata Wanda diantara langkah kakinya yang bergerak cepat, mencari-cari dimana mobil Bagas terparkir, sampai menemukan benda itu nangkring dengan rapi disebuah mobil, ya ampun itu mobil atau stabillo, ngejreng banget. Yang punya pasti sinting membawa-bawa benda semencolok itu buat jalan-jalan.

Setelah mengaktifkan kunci otomatis mobilnya, Wanda langsung membuka pintunya dan duduk dibangku penumpang sementara Bagas yang masih berada di luar menatapnya kebingungan.

Namun ia tidak banyak bertanya, dan langsung masuk ke mobilnya setelah itu.

Wanda menghela napasnya lega. Setelah kembali dari mencuci tangannya, ia langsung berbisik kepada Bagas dan mengatakan ia baru saja mendapatkan menstruasi, dengan debit yang sangat banyak, sehingga khawatir akan membanjiri seisi restoran kalau mereka tidak segera bergegas keluar dari tempat itu, yang mana segera saja Bagas lakukan, dengan meninggalkan keheranan yang tertinggal di raut wajah milik Dhito dan Ari.

Bah, pintar kali kau berbohong, cikgu Wanda.

"Jadi kita mampir dulu ke minimarket buat beli pembalut?" Suara Bagas menyadarkan Wanda dari terkejutnya. Dengan cepat ia menggeleng.

"Nggak, mas. Anter adek pulang aja. Rasanya nggak enak kalo mampir kemana-mana lagi."

Bagas lalu mengangguk, tidak banyak berkomentar lagi. Setelah itu ia menyalakan mobilnya, dan setelah dua menit, perlahan mereka meninggalkan pelataran parkir menuju rumah kontrakan Wanda.

***

"Abang nggak makan?" Suara Ari menyadarkan Dhito dari lamunannya tentang guru manis berkuncir kuda yang hampir seharian ini memenuhi kepalanya melebihi janji temu kangen fansnya atau juga jadwal padat yang selalu disodorkan oleh manajernya, Yuni.

Tatapan Dhito beralih pada adiknya kemudian pada bucket berisi potongan ayam dengan bumbu khas itu. Tadi sebelum masuk ketempat ini perutnya sedikit lapar. Namun rasa itu kemudian lenyap digantikan dengan rasa baru yang membuatnya penasaran bukan main dengan sosok yang kini telah meninggalkan sedikit jejak di hatinya. Cuma sedikit, tapi jejak itu kemudian membekas dan menumbuhkan sesuatu yang asing.

Asing karena selama hidupnya, baru kali ini ada seseorang yang berani menatapnya dengan tegas tanpa harus memerahkan wajahnya karena tersipu-sipu menyadari bahwa ia adalah seorang artis besar berwajah amat sangat tampan, incaran banyak wanita, bahkan seperti kata Ari dalam perjalanan mereka tadi, kamu boleh ganteng dan terkenal, namun semua itu tidak ada apa-apanya saat miss Wanda memberi angka C di raport, dan itu adalah kekalahan telak paling menyakitkan, paling mengerikan.

Terjemahan: Percuma ganteng tapi bodoh, miss Wanda tidak menoleh padamu, bung.

Tapi dalam kasusnya, miss Wanda nya Ari tidak akan menoleh padanya karena jelas ia punya kekasih yang tidak kalah keren. Selama mereka kuliah di Australia, Bagas sudah terkenal diantara anak-anak himpunan mahasiswa Indonesia di sana, prestasinya moncer, disamping fakta bahwa keluarganya juga tajir melintir.

Lalu, apa bisa dirinya merebut Wanda yang manis itu dari temannya sendiri?

Teman, mereka kan tidak terlalu dekat untuk jadi sahabat. Paling tidak mereka hanya beberapa kali bertemu. Selama di Jakarta bahkan baru dua kali seingat Dhito. Itupun saat ada acara di sebuah hotel dan saat pembukaan cabang restoran terbarunya.

Sial, kenapa guru cantik itu irit sekali ngomong? Dia bahkan lebih sibuk mengurusi Ari yang makan bagai tidak pernah ketemu ayam goreng, padahal uang sakunya sehari bisa membeli seember ayam itu dan memakannya hingga muntah.

"Guru kamu itu, dia suka bunga atau tidak?"

Ucapan itu lolos begitu saja dari mulutnya, membuat paha ayam yang sedang siap masuk ke mulut Ari lepas begitu saja dari tangannya, dan bocah itu menatap abangnya dengan tatapan horor seperti habis bertemu kuntilanak memakai stiletto yang melambaikan tangannya minta diajak naik mobil kuning stabillonya.

"Lo kagak gila kan, bang?"

***

Penasaran muka Ari?
Segini cukup?

Muka bang Dhito yang lubang hidungnya mirip Ari, pake kacamata item, mau?

Ehm, bang... toyor adek baaang...😂😂😂🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro