Save Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wajahnya pucat pasi, alarm berbahaya yang berdering di dalam otaknya semakin nyaring. Ceres ingin lari saat ini juga, tetapi badannya kaku untuk digerakkan.

Ia jadi menyesal telah menganggukan kepalanya dan menuruti Bintang untuk membawanya pulang.

Bibir bawahnya spontan ia gigit, tak percaya bahwa Bintang semakin mendekat ke arahnya. Sosok dingin tak tersentuh itu berubah menjadi sosok menyeramkan, tak pernah dirinya berpikir bahwa sosok asli Bintang akan seperti yang ada di hadapannya saat ini.

Dua langkah kecil lagi, Bintang akan berada tepat di hadapannya. Sebelum Bintang sampai di sana, tawa Bintang menghiasi ruangan. Wajahnya berubah datar saat menyadari bahwa cowok sedingin Elsa itu mengerjainya habis-habisan.

Dirinya hampir kencing di celana karena ketakutan yang berlebihan. Bintang memang cowok sialan, berani-beraninya anak itu menjahilinya, memanfaatkan barang-barang yang ditemukan dan situasi menegangkan.

"Sialan," umpat Ceres mengelus dadanya pelan.

Ia bangkit dari duduknya, melangkah menuju pintu kamar. Dirinya sudah tak tahan lagi, ia takut mengompol di kamar orang.

"Mau ke mana Res?" tanya Teru takut kalau Ceres beneran kesal dengannya.

"Sumpah, becandaan lu enggak lucu ya!" teriak Ceres dengan senyum miringnya.

Bintang menarik tangan Ceres, menahannya agar tak pergi terlebih dahulu. "Kamu beneran marah?" tanya Bintang dengan nada menyesal.

Ceres berusaha melepaskan cekalan Bintang yang berada di tangannya. "Menurut lu? Sumpah, lelucon lu itu sama sekali enggak menghibur."

Dengan apik Ceres memainkan perannya, walau pun sedikit susah karena ia harus menahan kencing yang sudah di ujung, tetapi Ceres harus memanfaatkan situasi yang ada agar bisa membalas dendam.

"Maaf deh, enggak gitu lagi." Wajah Bintang memelas, Ceres yang melihat reaksi itu mati-matian menahan tawa yang sebentar lagi akan menyembur.

"Res, jangan diam aja. Masih marah ya?" Bintang memegang kedua bahu Ceres dan menggoyangkannya pelan.

"Jangan ambekan dong," bujuk Bintang yang sebentar lagi akan pasrah.

Wajah Bintang yang memelas seperti anak kucing membuat Ceres terbahak. "Aduh, ngakak banget gua. Puas pakai banget gua balas dendamnya," ujar Ceres di sela-sela tawanya.

"Nakal banget Res. Aku udah ki--" Belum selesai Bintang mengeluh, Ceres sudah lari duluan keluar kamar.

"Ceres, mau ke mana?" tanya Bintang dengan suara menggelegar.

Bintang yang ingin tahu arah tujuan Ceres, dengan segera mengambil jaket dan kunci motornya yang tergeletak di atas meja belajarnya.

Mendengar keran air yang berbunyi dari kamar mandi membuat Bintang menggeram kesal. Ceres benar-benar membalas dendamnya. Lengkap sudah sifat buruk Ceres di mata Bintang, menjengkelkan, banyak tanya seperti tamu, tidak ada akhlak, dan pendendam.

"Lu mau ke mana?" tanya Ceres saat melihat tangan Bintang yang memegang jaket.

"Gua hampir aja ngompol di kamar lu gara-gara ketakutan, elu sih nyereminnya kebangetan," keluh Ceres sembari menghampiri tempat Bintang.

"Elu mau ke mana Tang?"

Bintang yang tersadar akan kebodohannya hanya menggeleng pelan, bisa malu kalau Ceres tahu bahwa Bintang lagi-lagi dibodohi.

"Lupain, anggap aja aku tadi kerasukan."

Dahi Ceres mengerut bingung. "Bunda ada di bawah?" tanya Ceres tak ingin memperpanjang.

Bintang menggeleng, kakinya melangkah menuju kamarnya dan Ceres mengekori yang empunya kamar.

"Bunda ke mana?" tanya Ceres lagi.

"Nanya terus kayak tamu," sungut Bintang.

"Lah, gua kan di sini emang tamu," ujar Ceres enteng.

Malas berdebat lebih panjang, Bintang memilih untuk menjawab, "Beli dekorasi buat toko."

"Kok lu enggak nemenin? Durjana banget."

"Ceres keturunannya dedemit, kalau aku nemenin bunda, nanti kamu sama siapa?" tanya Bintang menekankan setiap kata yang terlontar dari bibirnya.

Ceres terkekeh kecil, takut bila Bintang berubah lagi seperti tadi, hanya berdua di dalam kamar dan pemilik kamar memegang pisau lipat, bukan hal yang menguntungkan bagi Ceres.

"Lapar enggak?" tanya Bintang setelah melihat Ceres yang asik bergulung di atas kasurnya.

Melihat tingkah Ceres membuat dirinya bersiap naik pitam, tetapi ia malas berdebat dengan Ceres yang menjengkelkan.

"Lu peka banget sih. Iya nih, gua laper pakai banget, elu mau traktir gua ya?" Bintang menepuk dahinya pelan, seharusnya ia menambahkan satu sifat buruk lagi kepada Ceres, yaitu besar kepala.

Bintang menggeser kaki jenjang  Ceres karena menghalangi nakas yang berada tepat di samping kasurnya. Membuka laci kedua dari atas, mengeluarkan beberapa wafer yang biasanya menjadi cemilan malam saat dirinya malas untuk turun dan mengambil makanan di kulkas atau lemari gantung yang berisi beragam makanan.

Ceres kecewa berat saat melihat makanan yang dikeluarkan Bintang. Wafer mana nendang, orang Indonesia belum kenyang kalau belum makan nasi.

Bintang yang seakan tahu pemikiran otak kecil Ceres meliriknya tajam, membungkam corong Ceres agar tak membuatnya darah tinggi.

"Ih, Babang durjana," ujar Ceres dengan nada menggelikan.

"Geli banget Res," cela Bintang diakhiri kekehan kecilnya.

"Gantengan juga kalau ketawa, melotot gitu bikin ngeri."

Bintang yang mendengarnya semakin tertawa lebar. "Halah, tadi aku senyum aja kamu takut Res," ledek Bintang mengungkit kejadian yang membuat Ceres kesal bukan main.

"Ungkit aja terus, awas aja lu kayak gitu lagi, gua kulitin lu biar mampus," sumpah Ceres sembari membuka ragu bungkusan wafer.

"Yang ada dimakan, kalau kurang bikin mi aja di bawah. Males naik turunnya," ujar Bintang saat matanya menangkap pergerakan ragu Ceres saat membuka bungkus wafer yang ia sediakan.

"Bisa langsing gua kalau naik turun mulu," canda Ceres dengan senyum lima jarinya.

Kedua kakinya bergerak naik turun bergantian secara tiba-tiba, entah mengapa Bintang merasa resah tanpa alasan.

"Hasil balapan dapat duitnya banyak ya?" tanya Ceres, mulutnya masih asik mengunyah wafer.

"Lumayan, hasilnya digabung sama hasil menang lomba olimpiade." Setelah menjawab itu, Bintang menggigit kuku jemarinya, keresahannya semakin menjadi.

"Pantes bisa jadi rumah," kagum Ceres tanpa sadar.

Gerak-gerik Bintang belum juga berhenti membuat Ceres kebingungan. "Lu enggak apa-apa?" tanya Ceres ragu, takut bila pertanyaan yang sebelumnya ia lontarkan membuat Bintang lagi-lagi tak nyaman.

Bintang tak menjawab, ia bangkit dari duduk, tungkainya berjalan ke arah balkon kamar, saat ini Bintang butuh udara segar.

Belum juga sampai di ujung balkon dekat dengan terali, kedua matanya memicing, menangkap wujud seseorang. Ia paham alasannya menjadi resah tak karuan. Sosok seseorang itu adalah wujud yang sudah lama tak menginjakkan kaki di rumahnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro