-01-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anila keluar dari kantin setelah membayar makanan. Gadis berambut sebahu itu terlihat sibuk bersama ponsel di genggaman, menonton drama kerajaan asal negeri ginseng. Sambil berjalan pun tak masalah, bagi seorang gadis yang sekarang menginjak semester empat itu tak bisa menikmati hari tanpa melihat drama Korea.

Cewek ber-hoodie cokelat muda tersebut berhenti berderap kala layar ponselnya menampakkan panggilan masuk. Dia menggeram jengkel karena tontonannya terhenti. Dengan perasaan kesal membumbung tinggi, Anila menjawab panggilan dari sahabatnya.

"Kenapa?" jawabnya judes sembari melanjutkan langkah kaki menuju sekretariat komunitas. Sudah terhitung setengah tahun dia menjadi bagian dari wadah perkumpulan tersebut. Bukan tanpa alasan mengapa dia memilih bergabung di sana. Ada sebuah misi yang harus dituntaskan.

"Lo yakin pengen jalanin misi itu?"

Terdengar helaan napas panjang dari seberang setelah melontarkan pertanyaan. Anila mengangguk mantap sebagai jawaban, melupkan fakta bahwa dia tidak sedang berbicara tatap muka. Sadar akan kebodohannya, dia lantas berucap, "Seratus persen yakin."

"Ini bukan komunitas abal-abal kayak SMA dulu, Nil. Lo tau sendiri kalau komunitas Girls Day kerjaannya ngebully, gak berperikemanusiaan, sedangkan lo suka bantuin korban bully."

Tawa menggelegar, gadis itu sontak menutup mulut ketika mengeluarkan suara keras di depan ruangan yang terisi oleh mahasiswa dan dosen-melakukan proses perkuliahan. Sambil tersenyum kikuk, Anila berderap menjauh dari sana secepat kilat menuju parkiran.

"Iya, gue tau. Justru karena alasan itu gue pengen bubarin atau minimal ngubah komunitas itu. Tenang aja, gue udah terbiasa mengubah kebobrokan perkumpulan anak-anak gak bermutu," ujarnya dengan yakin.

"Serah lo, ah! Tapi, gue gak bantu lo kali ini."

Dia tersenyum kecut. Mia, sahabat yang selalu menemaninya dalam menjalankan misi penaklukan wadah perusak anak bangsa, kini tidak mau membantu. Anila memperlambat langkah, terlintas kekhawatiran dalam diri, takut jika rencanannya benar-benar gagal.

Dia tahu betul bagaimana sikap anggota komunitas itu. Menyiksa tanpa ampun setiap mahasiswi yang menjadi suruhan untuk melakukan sesuatu. Jika mereka tidak bisa menyelesaikan permintaan tersebut, mereka akan disiksa habis-habisan.

Terhitung enam bulan Anila bergabung di sana, tetapi dia tidak pernah melakukan perundungan, melainkan membantu mereka yang tersiksa. Apakah komunitas itu tahu perbuatannya? Tentu saja, maka dari itu semua anggota GDC, begitu cewek-cewek elite menyebut wadah perkumpulan tersebut, membenci kehadiran Anila.

Namun, menurut aturan, mereka tak dapat mendepaknya sebab setiap anggota dinyatakan keluar jika mereka sendiri yang meminta untuk selesai, dan Anila tidak akan pernah mengundurkan diri dari sana sebelum menyelesaikan misi terselubungnya.

"Mia, lo masih di sana, kan?" tanyanya karena sedari tadi tidak mendengar suara gadis itu.

"Masih."

"Jangan jutek gitu, ih. Lo bakalan lihat kalau gue akan berhas--" Ucapannya terhenti saat tak sengaja menyenggol seseorang hingga kertas yang berada di genggaman orang itu beterbangan hingga menyentuh lantai koridor utama kampus, bahkan ada beberapa kertas jatuh ke dalam got.

Mata bulat nan hitam gadis itu memperhatikan satu persatu lembaran kertas menari-nari di udara akibat embusan angin, lantas benda ringan tersebut perlahan menyentuh dataran. Butuh waktu sekian menit memahami apa yang barusan terjadi, ponsel di dekat telinga pun belum berpindah tempat.

Hingga tatapan iris tajam dari seorang cowok berperawakan tinggi kurus itu seakan menguliti selaput mata Anila. Tangan yang awalnya menggenggam erat ponsel terhempas ke samping tubuh, teguran si penelepon tak dihiraukan lagi. Entah mengapa dia hanya bisa membeku di tempat, tak bisa bergerak walaupun seinci.

Perlahan dia mendongak, menatap lurus wajah merah padam di hadapannya. Anila sontak merapal doa berkali-kali kala cowok itu melayangkan tatapan menindas. Anehnya, cewek berambut sebahu itu tak menunduk, malah membulatkan mata yang mulai perih karena tidak pernah berkedip meskipun sekali, takut jika memejam barang sedetik ada tinju melayang di depan wajahnya.

"S-sori," ucap Anila terbata-bata. Sikap cerewet dan ramahnya menguap begitu saja.

Tidak ada kata terlontar dari cowok asing di depannya. Perlahan dia mendekatkan diri ke arah Anila dan mau tidak mau cewek itu terus berjalan mundur, pada akhirnya berhenti karena tembok ruangan yang membatasi. Anila semakin dilanda kegugupan, dia bahkan sudah meremas-remas ponsel di genggaman.

Sebelumnya dia tak pernah seperti ini, dia akan dengan mudah sok asyik pada siapa pun meski tidak mengenal orang tersebut. Akan tetapi, dia kesulitan melakukan hal itu kepada cowok yang sekarang sudah berhenti di hadapannya, hanya terpaut dua jengkal antara wajah mereka.

Anila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dirasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen sulit diraup. Dalam hitungan detik bulu kuduk langsung meremang kala mendengar sapuan suara di gendang telinganya.

"Tanggung jawab atau lo bakalan tau akibatnya," bisik cowok itu, kemudian mundur beberapa langkah, memberi keleluasaan gadis yang masih menyatu bersama tembok berwarna putih di belakang punggung.

Karena tak mendapat tanggapan, cowok yang dikenal bernama lengkap Rajendra Taurus Ragalih kembali menyahut, "Tanggung jawab sekarang juga." Raut tanpa ekspresi menghiasi wajah.

"Hah? Ta-tanggung jawab? Lo juga salah karena jalan gak lihat-lihat," protes Anila. Dia kontan menggigit bibir, tidak menyangka kalimat pembelaan keluar dari mulutnya.

Jendra mendengkus sembari melengos. "Kalau jalan, mata harus lihat ke depan, ngapain nunduk? Nyari duit receh?"

Bagai dihunjam meriam, gadis itu kontan memonyongkan bibir mendengar bentakan sarat kesinisan dari mulut laki-laki yang tak dia kenali. Tidak ingin berlama-lama, Anila kembali melihat sekeliling lantai. Kertas bertebaran di mana-mana, bahkan ada yang sudah basah-terbenam ke dalam got.

Sebelum bersuara, dia melirik arloji pada pergelangan tangan. Lima belas menit lagi pertemuan komunitas akan segera dimulai. Tanpa pikir panjang dia langsung menyodorkan tangan, meminta flashdisk.

"Biar gue cetak ulang," cicitnya, tidak mau melihat wajah datar mengintimidasi dari Jendra.

Jendra merogoh saku jaket, mengeluarkan benda kecil berkapasitas memori besar tersebut, lantas menyerahkannya pada Anila. Tak sengaja tangan mereka saling bersentuhan, dapat dia rasakan tangan gadis itu sangat dingin. Tanpa sadar dia tersenyum remeh, tetapi langsung menyulap ekspresi menjadi datar kala Anila mendongak.

"L-lo gak pengen ikut? Gue gak bisa nungguin tugas lo sampai selesai cetak."

Tak ada jawaban, cowok itu malah berjalan lebih dulu meninggalkan Anila di belakang sana yang malah melongo. Sebelum tertinggal jauh, Anila menyempatkan diri memungut kertas-kertas di atas ubin yang bisa dia jangkau lalu berlari sekuat tenaga menghampiri Jendra.

***

"Hari ini adalah hari di mana penantang terpilih diumumkan. Bagi nama yang gue sebutin harap ke depan."

Seketika ruang agak besar tersebut mendadak hening. Raut cemas dan senang mendominasi anggota Girls Day Community. Mereka berharap bisa menjadi penantang terpilih karena jika mereka berhasil melaksanakan tantangan tersebut mereka akan dinobatkan sebagai ketua komunitas tahun ini, dan ketua baru bebas menentukan regulasi baru tanpa boleh diganggu gugat.

"Seperti yang gue bilang pada pertemuan sebelumnya, hanya ada tiga penantang. Jadi, ketiga penantang harus beneran pacaran sama target selama tiga bulan," jelas seorang gadis ber-dress merah muda selutut di depan para anggota yang berjumlah sekitar enam puluh kepala.

Senyap kembali menyapa sampai foto beserta nama para penantang ditampilkan pada layar lebar di hadapan mereka. Seketika raut kecewa, sorak sorai berpadu jadi satu. Para gadis yang katanya cantik dan sok berkuasa itu kemudian membisu kala orang pertama dipanggil untuk maju ke depan, nama kedua ikut menyusul. Tiba pada nama ketiga mereka saling lempar pandang mencari siapa gerangan si pemilik nama.

"Sekali lagi, Anila Reiva." Tepat pada panggilan terakhir, seorang gadis membuka pintu lebar-lebar dengan keadaan napas memburu serta bulir-bulir keringat menghiasi dahi.

"Gue Anila Reiva," ucap gadis itu ngos-ngosan sambil berderap ke arah para penantang dan pendiri komunitas yang memimpin sendiri pertemuan hari ini.

Hello👋 this is my new story. Hope you like it😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro