-02-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gue Anila Reiva," ucap gadis itu ngos-ngosan sambil berderap ke arah para penantang dan pendiri komunitas yang memimpin sendiri pertemuan hari ini.

Setiap pasang mata menatap lurus ke satu objek, gadis berparas imut berpenampilan yang tak bisa dikatakan baik-baik saja. Rambut acak-acakan, banjir keringat, serta cara berpakaian tak seanggun anggota GDC pada umumnya. Meskipun demikian, dia tetap percaya diri melangkah ke depan dan berdiri di hadapan para penikmat jerit minta ampun korban penindasan mereka.

Dia tak pernah berpikir nasib seperti apa yang 'kan menimpa. Sekali memegang prinsip, dia tidak akan pernah membiarkannya terlepas begitu saja. Bagi Anila, suatu negara tidak bisa dikatakan tentram jika masih banyak hak yang tertindas.

Atas alasan itu dia tetap berada di jalur ini, menghancurkan perkumpulan apa pun yang bisa merusak mental manusia meski pada awal memijakkan kaki di komunitas ini harus memasang muka dua, alias ikut merundung korban. Namun, dia tidak perlu berlama-lama berbohong. Setelah berhasil masuk dia hanya butuh menampakkan wajah aslinya untuk bisa melancarkan misi.

Gadis bermata biru yang mengenggam mikrofon berkacak pinggang, menatap Anila diikuti senyum merendahkan. Akan tetapi, gadis yang ditatap tak menyadarinya.

"Ini dia ketiga penantang terpilih. Seperti yang pernah gue bilang kalau kalian bakalan pacaran selama tiga bulan sama cowok yang mungkin berengseknya kebangetan." Bita—nama pendiri Girls Day Community itu lagi-lagi tersenyum manis, tetapi kala mata birunya melihat salah satu penantang dengan penampilan sangat kontras di tempat ini, dia lantas mendelik tajam, menyiratkan kebencian.

"Ada tiga kategori cowok yang menjadi target kali ini. Galak, gak peduli sama cinta-cintaan, dan cuek. Siapa yang berhasil berpacaran selama tiga bulan sama cowok yang nantinya menjadi target, takhta kepemimpinan GDC siap berada digenggaman."

Sontak mereka berdecak kagum dan juga iri, sangat menyayangkan tidak terpilih menjadi penantang. Jelas banyak yang tergiur dengan kepemimpinan GDC. Kelas sosial si ketua akan melejit dan disegani karena kesemenaannya pada kaum tak berani bersuara.

Namun, hal tersebut tak pernah melintas dalam pikiran Anila. Sebagai mahasiswa jurusan hukum dia pasti mati-matian melakukan apa saja untuk mempertahankan hak kebebasan setiap orang.

Penindasan telah menjadi sebuah budaya. Isu penyiksaan kaum lemah pada tiap angkatan pendidikan tak pernah menghilang dari radar pemberitaan. Semenjak kelas sebelas dulu, Anila sudah terjun langsung menangani mereka yang sok berkuasa, waktu itu dia bersama Mia—sahabat karibnya.

Gue gak pernah gagal membubarkan perkumpulan kayak gini. Gue pasti bisa, geramnya dalam hati.

***

Hunian bak istana seharusnya menjamin kebahagiaan seorang cowok berbibir tipis yang sedang menatap langit kelam tanpa bintang di atas sana. Namun, bangunan bertingkat bukanlah tolok ukur kesenangan setiap orang, tetapi suasana sebuah rumah yang tetap harmonis.

Jendra tersenyum sinis, kedua telapak tangannya mengenggam pembatas balkon kamar dengan erat. Entah sampai kapan dia harus seperti ini. Dia lelah terus menghindar, tak ada kenyamanan di tempat ini, tak pernah ada kehangatan semenjak sang ibu meninggal setahun lalu. Parahnya, enam bulan lalu sang papa memilih menikah bersama seorang janda satu anak.

Dia benci berada di rumah. Andai saja ibunya tak pernah memberi pesan agar tidak pernah meninggalkan papa, mungkin dia sudah angkat kaki ke tempat lain, mencari kehidupan baru.

"Bu, Jendra gak bisa terus di sini," adunya pada semilir angin. Kaca-kaca pada bola mata semakin tampak, sebentar lagi akan luruh. Akan tetapi, suara derap langkah membuatnya urung.

Jendra semakin mengeratkan pegangan pada besi balkon, rahangnya mulai mengeras. Kebencian semakin menjadi-jadi.

"Berapa kali gue harus bilang jangan pernah nginjakin kaki lo di sini!" gertak cowok bermata kelam itu saat menatap adik tirinya.

Seketika cowok beralis tebal tersebut terkesiap, susah payah menelan ludah kala tatapan menghunus sang kakak menghunjam netra gelapnya.

Dikta berusaha terlihat biasa-biasa saja meski keberanian mulai menguap bersama terpaan angin. Seharusnya dia tak perlu terkejut akan sikap kakak tirinya karena sudah terbiasa dengan kemarahan Jendra. Akan tetapi, aura suram menguar sangat kuat dari tubuh jangkung di depannya.

"Lo dipanggil papa makan malam," ucap Dikta, tenang tanpa getar ketakutan. Padahal jantung cowok itu sudah menggedor-gedor, meminta segera keluar dari sana.

Jendra mendecap sinis sembari berjalan memasuki kamar. Dia melewati Dikta begitu saja, seolah-olah tak ada orang lain di sana. Mengikuti logika, bukan kata hati. Maka dari itu, dia berakhir di ruang makan dan melihat dua manusia paruh baya di sana.

Senyum bahagia jelas tampak pada wajah wanita yang tak pernah dia inginkan ada di rumah ini. Dia melengos lantas berjalan ke arah lemari pendingin, mengambil minuman soda berukuran sedang dari dalam sana lalu pergi tanpa permisi, meninggalkan papa dan juga mama tirinya begitu saja dalam keheningan.

"Sampai kapan kamu seperti ini, hah!" Suara keras dari arah meja makan membuatnya urung melangkah.

Sudah dapat dipastikan suara berat nan menyiratkan kejengkelan itu milik Ragalih—papanya. Sebelum membalikkan badan, dia menyempatkan diri meminum minumannya, setelah cukup dia baru menatap Galih.

"Sampai Papa cerai sama dia," jawab Jendra dengan wajah datar.

Galih sontak bangkit dari duduk, suara decitan berasal dari kursi dan lantai memekakkan telinga. Dikta yang baru saja tiba di ruang makan berjalan pelan ke arah mamanya. Cowok itu sebenarnya sudah lelah menyaksikan kejadian seperti ini setiap hari.

Dia juga sangat menginginkan perceraian antara mama dan papa tirinya benar terjadi karena ketidaksukaan Jendra akan kehadirannya bersama sang mama. Namun, wanita paruh baya itu ternyata sangat mencintai Galih, jadi dia tidak punya alasan untuk menolak kebahagiaan itu.

"Kamu!"

"Jendra tidak akan pernah berubah seperti dulu sampai Papa cerai sama dia," murkanya.

"Kamu mau jadi anak durhaka, Jendra?" teriak Galih, lebih mengusik telinga.

"Jendra gak peduli." Jendra berlalu dari sana tanpa memedulikan gertakan sang papa. Dia sudah muak dengan semua drama keluarga ini.

Perasaan kesal semakin menguasai diri, dia menggenggam botol minuman begitu keras seraya melangkah keluar rumah. Tangannya merogoh saku celana jins lalu menuju garasi setelah membuka pintu utama.

Di halaman dia melempar botol berwarna hijau itu ke sembarang arah, tidak peduli terhadap semua tindakannya hari ini. Dia sungguh kesal dan marah hingga tidak ada cela merasa lebih baik.

"Sial!" geramnya sambil mengeluarkan motor dari garasi.

Motor sport berwarna hitam itu melaju, membelah kepadatan jalan raya. Masih ramai sebab jam masih menunjukkan pukul 19.30. Jendra tidak ambil pusing,dia tetap melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh, membiarkan kuda besi itu menerjang jalan tanpa tujuan. Selama belum merasakan damai dalam hati, dia tidak akan pulang.

Terhitung lima belas menit terus menancapkan gas tanpa pernah berhenti. Saat memasuki kawasan gelap nan sunyi, motor yang dikendarainya perlahan melaju pelan dan berhenti di pinggir jalan.

Jendra memukul spidometer. "Kampret! Ngapain pakai habis bensin segala!" jengkelnya seraya melepas helm kemudian berjalan menyusuri trotoar.

Kendaraan roda dua itu ditinggalkan di sana setelah menarik kunci motor terlebih dahulu. Tidak ada ketakutan membiarkan kendaraannya terlantar begitu saja. Pikiran terlalu kacau untuk berpikir di mana pom bensin di sekitar sini.

Dalam sunyi dia merenung, berjalan membawa beban kesedihan. Tak seharusnya dia seperti ini, tetapi keadaan tidak bisa membuatnya menjadi sosok Jendra penurut seperti dahulu. Dia menggeram jengkel sembari menendang angin.

"Argh! Sial!"

Bruk!

Setelah berteriak tak karuan tiba-tiba saja tubuh berbalut kaos putih itu terjerembab di atas trotoar. Sesuatu yang basah menembus kaos sampai ke kulit tubuh. Matanya melihat ke arah baju, dalam hitungan detik dia membuang napas lelah.

"So-sori, gue gak sengaja!"

Jendra sontak menatap wajah seorang gadis di depannya kala suara tak asing itu membasuh gendang telinga. Posisi mereka sama, terjatuh dan saling berhadapan.

"Lo!" teriak dua manusia tersebut kala mata mereka saling adu pandang.

"Lo emang hobi nabrak orang ternyata," ucap Jendra diiringi tatapan sinis.

Anila kontan mengerjap-ngerjap. Dia tidak berani menatap mata tajam itu lagi. Dalam hati dia terus berdoa agar diberikan ketabahan dalam menghadapi cobaan kali ini.

Meskipun takut-takut dia tetap berusaha bersuara, setidaknya tak menatap objek menyeramkan di depannya. "Sori, gue bener-bener gak sengaja. Kalau mau baju lo bisa gue laundry, kebetulan orang tua gue punya usaha laundry gak jauh dari sini." Itulah bentuk usaha dan permintaan maaf yang bisa dia tawarkan untuk seorang cowok yang belum diketahui namanya.

Jendra melengos, lantas bangkit. "Gak usah. Gue cuma minta jangan pernah muncul di hadapan gue lagi kalau lo mau maaf," katanya begitu tajam.

Gadis itu ikut bangkit dan berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja untuk menutupi kegugupan serta ketakutan yang membaur jadi satu.

"Kalau kita ketemu lagi itu bukan kemauan gue, tapi takdir." Refleks tangannya menepuk mulut, menyesal sudah berkata demikian.

Dilihatnya cowok itu tak menggubris dan malah melangkah menjauh. Entah ke mana ketakutan yang sempat menyelimuti, dengan berani dia berteriak ke arah cowok asing berperawakan tinggi kurus itu.

"Gue Anila," teriaknya sambil tersenyum jenaka.

"Ish! Geblek banget. Ngapain pakai teriak, sih" gemes Anila.

"Ya ... minuman gue ...," ratapnya setelah melihat minuman yang baru diminum setengah berakhir di atas trotoar.

Hope you liek it :)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro