-11-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Awalnya Jendra biasa-biasa saja, tidak memedulikan tingkah Anila yang seakan tidak tahu berenang. Dia tentu melihat dengan jelas gadis itu megap-megap, kepalanya timbul-tenggelam, dan sesekali berteriak tolong. Akan tetapi, Jendra tetap tidak peduli. Barulah dia tergerak saat tidak ada pergerakan lagi dari gadis itu.

Tanpa pikir panjang, Jendra langsung melompat ke dalam kolam, meraih tangan Anila yang sudah melemah. Setelah berhasil mengamankan gadis itu, dia berenang ke tepian bersama Anila di dalam dekapannya yang terlihat terkejut, bibir bergetar hebat dan mata terus memejam erat. Entah bagaimana bisa rasa bersalah seketika mengurung sikap keras cowok itu. Kata maaf terus terngiang dalam benak. Ternyata gengsi masih menguasai diri sebab tak mampu mengucapkan secara langsung.

Akhirnya, kedua manusia itu naik ke permukaan. Wajah Anila yang pada dasarnya memang putih, kini terlihat makin putih, bedanya hanya terletak pada binar. Gadis itu tak memiliki binar wajah seperti beberapa menit lalu. Jendra mengacak rambut, antara mengenyahkan frustrasi, atau mengeringkan rambut. Dari ekor mata cowok berkaus putih polos tersebut, dia melihat kondisi Anila tidak baik-baik saja, terbukti dari bibir gadis itu yang semakin pucat.

Segera Jendra berlari ke arah tas yang dia letakkan di salah satu kursi, tak jauh dari kolam renang. Tangannya meraih jaket parasut hitam dan segera kembali ke tempat semula. Tanpa ragu, dia menyampirkan jaket ke punggung Anila. Dapat dirasakan getaran tubuh gadis itu, mengigil kedinginan. Detik berikutnya dia menyadari pakaian yang dikenakan cewek berambut sebahu tersebut berbeda dari biasanya.

Anila semakin mendekap tubuh, mengeratkan jaket yang disampirkan oleh sang senior. Andai saja kondisinya sedang baik-baik saja mungkin dia sudah melontarkan cie-cie, mencoba menggoda Jendra. Namun, dia masih dilanda keterkejutan, bahkan tak mampu memuntahkan kemarahannya. Dia tidak tahu berenang dan tiba-tiba terjatuh ke dalam air. Peristiwa itu sangat memacu adrenalin.

Pusing langsung menyergap kepala saat hendak menjauh dari kolam. Alhasil, dia mengurungkan niat dan memilih menikmati sensasi pening. Dia menyesal meninggalkan Mia dan Dikta begitu saja di kelas. Jika saja kedua temannya berada di sini, mungkin dia tidak akan sampai mengikuti Jendra sampai ke kolam renang. Sekarang dia harus menanggung akibatnya. Kesialan lainnya adalah gaun yang dikenakannya sungguh membuat risih.

"Minum dulu." Jendra menyodorkan sebotol air mineral. Anila menyambut sepenuh hati. Kehangatan tiba-tiba menyerobot sukma hanya karena tutup botolnya sudah terbuka. Tak banyak orang yang tahu bahwa perhatian kecil sangat berharga untuknya.

Banyak yang tak sadar bahwa orang di sekitar mereka hanya membutuhkan perhatian kecil untuk mengobati luka, kesedihan, bahkan tekanan hidup sekalipun. Bagi orang yang rapuh dari dalam, dukungan serta perhatian kecil merupakan obat. Bahkan, berempati saja sudah cukup memberi mereka secuil semangat, meyakinkan bahwa mereka tak pernah sendiri.

"Makasih," ujar Anila. "Tapi tas gue ..." Gadis itu memandang nanar kolam renang, barang-barang berharga termasuk ponsel jatuh ke dasar air.

Belum sempat meminta tolong, Jendra sudah melompat kembali ke dalam sana, mencari tas selempang gadis itu. Tak butuh waktu lama, cowok berumur 21 tahun itu sudah kembali dengan tas milik Anila.

"Sori, karena gue, lo jadi begini ... dan barang-barang lo ikut jadi korban," ungkap Jendra, tidak berani melihat Anila secara langsung. Perasaan bersalah semakin menyeruak. "Ponsel lo pasti kemasukan air, biar gue bawa ke konter HP."

Jendra sudah mengulurkan tangan, meminta benda pipih yang disebut gawai, tetapi Anila justru menggeleng cepat. "Gak usah, Kak. HP gue bisa baikan kalau ditimbun pakai beras."

Tanpa bisa dicegah, cowok itu tertawa kencang. Masih ada saja model orang primitif zaman sekarang. Saat menyadari prilakunya, Jendra kontan berhenti tergelak, dia berdeham sembari menggaruk tengkuk. Canggung sekali. "Udah, gak papa." Masih belum menyerah.

"Gak usah, Kak. Mending antar gue pulang aja sekarang. Gue tambah kedinginan di sini," pinta gadis itu.

Jendra mengiyakan dan segera berlari ke lokernya, mengganti celana pendek dengan celana olahraga, tak lupa mengenakan jaket pemersatu mahasiswa keolahragaan. Baju dan celana basahnya dibuang ke tong sampah begitu saja, jika harus mencari kantong akan memakan waktu cukup lama, sedangkan Anila sudah menggigil.

"Ayo," ajak Jendra setelah meraih tasnya di atas kursi. Dia memperhatikan penampilan Anila dari ujung kaki sampai ujung kepala, sungguh berantakan. Dia meringis, salah lo juga, sih, ngejar gue mulu.

Mereka berjalan bersisian, kedua manusia itu tidak ada yang memedulikan bisik-bisik orang yang mereka lewati. Lebih baik bersikap biasa saja daripada memfokuskan tiap tatapan dan bisikan yang kebanyakan bernada sinis, tentunya untuk Anila karena dianggap kecentilan.

Dari jauh, Bita dan Magnolia melihat pemandangan itu. Magnolia menggeram jengkel saat Jendra memperbaiki letak posisi jaket di pundak Anila, sedangkan Bita dibuat gondok sebab Jendra tidak bertindak kasar seperti yang diinginkan.

"Bi, lo liat sendiri, kan? Rencana lo buat nyakitin hatinya Anila gak bakalan berhasil. Mereka makin lengket tiap hari," adu gadis itu, terdengar frustrasi.

"Diem lo!" judes Bita, lalu meninggalkan Magnolia dalam balutan emosi.

***

"Ya ampun, Anila, kamu habis ngapain basah kuyup begini?" Nintia membulatkan mata, terkejut melihat kondisi puterinya. Netra wanita paruh baya itu langsung menatap tajam cowok di samping sang anak. "Kamu apain anak saya?"

Anila melongo dan langsung memeluk lengan ibunya. Dia sangat tahu bagaimana reaksi Nintia jika ada yang menyakiti puteri semata wayangnya.

"Ini salah Nila, kok, Bu. Malahan Kak Jendra yang nolongin Nila," alibi gadis itu. Dia harap-harap cemas, semoga Nintia percaya.

"Maaf, Tante. Saya gak sen—"

"Kak Jendra beneran tolongin Nila, kok, Bu. Anila tadi iseng-iseng main di kolam renang anak keolahragaan, eh malah kepeleset, terjun deh ke kolam." Lagi, kebohongan kedua sudah diluncurkan dan semakin membuat jantung gadis itu meronta-ronta.

Nintia memicing. "Yang bener?" Dia tidak menatap puterinya, malah menatap Jendra.

Anila melempar pandangan memohon kepada cowok itu, berhara agar tidak membeberkan yang sebenarnya. Jendra membuang napas pendek, lalu mengangguk kaku.

"Makasih kalau gitu. Eh, jangan pulang dulu, ya. Mampir bentar minum-minum teh, atau kopi gitu. Kamu, kan, abis terjun bebas juga." Begitu cepat keadaan mencair, Anila pun membuang napas lega, sedangkan Jendra malah gelagapan bukan main karena untuk pertama kalinya ditempatkan pada posisi ini.

"Gak usah, Tante. Saya—"

"Udah, Kak Jen, lagian kakak pasti nungguin teman buat anterin motor ke sini. Sekali lagi makasih," sela Anila, sehingga mau tidak mau cowok itu menerima saja ajakan tersebut, takut tidak sopan jika menolak berulang kali.

✖️
14/06/2021
.

Udah update aja, nih. Pengen bilang apa di chapter ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro