-12-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terhitung setengah jam Jendra berada di rumah yang sangat asing baginya. Mulai dari lingkungan sampai penghuni rumah ini pun sangat membuatnya gerah, tidak nyaman. Dia tidak mengenal Anila, bahkan pertemuan pertama mereka tak begitu menyenangkan.

Cowok itu mengusap wajah sekali, embusan napas keluar begitu saja. Dia ingin segera pulang, memberishkan tubuhnya yang mulai lelah. Namun, temannya belum muncul juga.

Ke mana si curut itu, dengkusnya.

Anila datang dari dalam, membawa secangkir teh hangat beserta camilan di stoples. Bibir gadis itu merekah sempurna, duduk antusias di sofa depan Jendra. Melihat senyum Anila begitu lebar, cowok itu bergidik ngeri.

"Kak, coba lo ketawa lagi kayak tadi, gue pengen rekam. Itu, tuh, fenomenal banget," ucap Anila menggebu-gebu. Dia langsung berpindah duduk di atas karpet, menjadikan kedua tangannya sebagai penyangga wajah. Bibirnya merekah memandang wajah datar seniornya. "Kak Jendra manis, lho, kalau ketawa kayak tadi. Gue jamin cewek-cewek berani dekat-dekat," kekehnya di akhir kalimat.

Jendra kembali mendengkus. Awan kesal semakin menggumul di atas kepala. Seraya menatap tajam gadis di hadapannya, dia meraih cangkir teh dan langsung menyesap air berwarna cokelat manis itu tanpa mengira-ngira teh bisa melukai lidah akibat terlalu panas. Dia kontan meletakkan cangkir dan meringis.

Sialan!

"Ya ampun!" pekik Anila, lalu buru-buru duduk di sebelah cowok itu. "Ck, harusnya disesap dikit, dong. Lihat, tuh, tehnya berceceran di karpet, jaket Kakak juga."

Jendra melongo, seketika menghentikan aktivitasnya mengipas-ngipas lidah. Ditatapnya Anila dengan sorot mata penuh emosi. Apa-apaan ini! Bukannya menanyakan keadaannya gadis itu malah mengkhawatirkan karpet dan jaket.

Gila! Entah sudah keberapa kali Jendra mengumpat. Ada yang aneh pada dirinya. Mengapa kesal Anila tidak mengkhawatirkannya? Dia lantas menggeleng. Namun, tetap saja sesal tak pudar begitu saja meskipun berkali-kali menepis bahwa tak perlu ada yang dikhawatirkan.

Perasaan jengkel Jendra menguap begitu saja kala Anila tiba-tiba berbalik dan mengambil majalah tipis dari bawah meja. Gadis itu kembali menghadap Jendra dan langsung mengipasi wajah cowok itu. Posisi muka mereka cukup dekat, hanya terpaut tiga jengkal. Jendra menatap Anila dalam diam, seluruh saraf terasa kaku dan begitu sulit dikendalikan.

Ada aliran panas yang mengalir di sekujur tubuh. Dia tahu darahnya sedang berdesir hebat, tetapi kenapa? Jendra malah dengan berani menatap mata Anila saat gadis itu sedang serius mengipasinya.

Sadar ditatap begitu lekat oleh cowok di hadapannya, Anila refleks berhenti dari aktivitas, lantas memundurkan duduknya. Jendra sama sekali tidak mengalihkan netra hingga membuat gadis berkaus putih dibalut celana jins hitam itu menautkan alis bingung.

"Kak," panggilnya, tetapi tak ada respons. "Kak Jendra." Sekali lagi dan tetap saja yang dipanggil sama sekali tidak menyahut. Anila menggaruk tengkuk, salah tingkah. Emergency call from my heart. Ini gak bisa dibiarkan, hebohnya.

"Kak Jendra!" pekik gadis itu hingga bukan hanya Jendra yang sadarkan diri, melainkan Nintia juga menampakkan raut terkejut saat melintasi keduanya.

"Nila, kamu kenapa teriak-teriak gitu?" Nintia kembali berjalan setelah sempat berhenti karena tindakan sang anak. Melihat Anila hanya menyengir, dia pun menggeleng. "Ibu harus pergi ke arisan sekarang, kamu di sini ... jangan macam-macam," ancam wanita paruh baya itu, sempat memelototi Jendra.

Sejenak Anila melongo, detik berikutnya tertawa kencang. "Ah, Ibu. Mikirin apa, sih."

"Kamu gak tau soal nafsu laki-laki Anila," ujar Nintia penuh penekanan dan matanya mengintimidasi Jendra yang tengah menyeruput teh.

Dalam hati Jendra menggerutu, kayak gue nafsu aja sama anaknya.

"Tenang aja, Bu. Kak Jendra ini baik, lagian Anila tinggal jerit aja kalau dia kecentilan," selorohnya membuat Jendra menatap tidak suka, ingin protes. Namun, saat melihat Nintia, dia urung. Wanita paruh baya itu terlihat sangat mengawasi gerak-geriknya.

Adanya lo yang kecentilan, omel cowok itu tidak suka. Ingin sekali rasanya menyeruakkan apa yang ingin dia katakan tanpa menghiraukan perasaan sakit hati yang 'kan timbul dari si lawan bicara, tetapi dia tahu tempat.

"Udah kalau gitu, Ibu mau berangkat sekarang."

Anila spontan mengangguk dan mengantar ibunya sampai ke teras rumah. Setelah itu, dia lekas kembali di sebelah Jendra. "Kak, pacaran sama gue, dong." Terdengar gila memang, tetapi Anila sudah memikirkan ini matang-matang. Dia harus bekerja sama dengan Jendra jika ingin memenangkan misi, bukan? Semoga saja cowok ini mau.

Lagi-lagi Jendra dibuat melongo padahal dia sudah pernah mendengar itu sebelumnya. "Lo pikir gue sudi pacaran tanpa cinta? Gak!" sembur cowok itu dengan tampang judes.

Gadis itu sudah tahu penolakan telah menanti, tetapi bukan berarti dia menyerah. "Oh, jadi Kak Jendra mau pacaran kalau gue beneran cinta sama, Kakak?" Ingin sekali rasanya menyemburkan tawa. Akan tetapi, sebisa mungkin ditahan.

Jendra tersenyum miring. "Ngaco. Jangan harap lo bisa jadi pacar gue."

"Kak, gue mohon. Kalau lo bantu gue itu berarti lo bantu mereka yang tertindas."

"Gue gak peduli."

"Lo harus peduli. Kalau bukan lo siapa lagi?"

"Ada lo, kan, yang peduli sama mereka?"

"Tapi, sayangnya kepedulian gue gak lengkap tanpa partisipasi, Kakak. Jadi gue mohon banget, ini demi teman-teman kampus yang selalu dirundung sama GDC." Anila masih tidak mau menyerah.

"Sekali lagi gue gak peduli dan gue mau lo berhenti ngejar gue. Lo berhak jalanin misi sialan itu, asalkan bukan gue targetnya." Napas Jendra memburu, matanya berubah memerah. Dia tidak menyangka pembahasan ini cukup menguras emosi. "Gue pamit, temen gue udah datang. Terima kasih jamuannya."

Jendra bergegas keluar dari rumah, meninggalkan Anila yang hanya membisu. Ya, dia tahu permintaannya memang kurang ajar. Mana ada orang yang ingin menjalani hubungan pura-pura. Anila membuang napas panjang.

"Gue harus ngapain biar dia luluh," lirih gadis itu.

***

Berulang kali Jendra membuang napas panjang selama perjalanan pulang. Sekarang dia sudah sampai di rumah yang selalu membawa genderang perang bersama sang papa. Dia tertawa miris. Lagi-lagi sama sekali tak menyangka hidupnya 'kan seperti ini. Andai saja papanya tidak menikah lagi, mungkin semua akan baik-baik saja.

Cowok itu menuruni motor sport dengan mata terus memandang datar mobil Ragalih, papanya. Tumben sekali beliau pulang cepat. Jendra melangkah ringan memasuki rumah, seolah-olah tak ada masalah.

Namun, sekali lagi rumah ini memang tak pernah menyuguhkan kenyamanan bagi matanya. Terbukti, sekarang papa dan wanita itu—ibu Dikta—dan Dikta berkumpul di ruang tamu. Mereka bertiga kompak menatap Jendra yang kini juga berhenti berderap, refleks saja melakukan itu.

"Jendra, Papa mau bicara sama kamu," tukas pria paruh baya tersebut, berusaha terlihat tenang karena sang anak sama sekali tak menggubris, melirik pun tidak. Jendra memilih melenggang begitu saja, tetapi ketika mendengar titahan Galih, dia langsung berhenti berjalan.

"Jendra. Duduk!" suruh Galih dengan suara tegas.

Mau tidak mau, Jendra akhirnya memilih untuk duduk tepat di seberang sang papa. Jendra menatap datar pria itu dalam diam, menunggu kalimat memuakkan apa lagi yang akan terlontar.

Tanpa perlu basa-basi, Galih langsung berucap ke inti pembicaraan. "Papa mau jodohin kamu sama anak kolega."

Laki-laki berumur dua puluh satu tahun itu sontak bangkit dari duduk. "Hahah." Tertawa renyah, "Papa mau jodohin Jendra? Jangan harap, Pa," tegasnya.

Dikta yang dari awal sudah tahu akan seperti ini hanya diam. Tidak ingin ikut campur, takut Jendra semakin membenci dan menambah bentangan jarak.

"Jendra, tolong bantu, Papa. Papa gak enak nolak permintaan kolega," mohon pria itu.

Lagi-lagi Jendra tertawa sumbang. "Tolong? Setelah semua sakit yang Papa kasih ke aku? Gak, Pa. Jangan paksa Jendra buat nurutin permintaan konyol itu."

"Kamu harapan Papa, Jen---"

"Kenapa gak Dikta aja?" potong cowok itu. Namun, sebelum mendengar penjelasan Galih, Jendra lebih dulu keluar rumah, meninggalkan keluarga kecilnya dalam keadaan tegang.

Masa bodoh jika setelah ini papanya tidak ingin menganggapnya lagi sebagai anak. Permintaan Galih jauh lebih konyol dari permintaan Anila. Jendra lebih baik pergi dari sini daripada harus meladeni segala ucapan papanya.

✖️
15/06/2021
.
Semakin rumit aja. Tungguin besok kelanjutannya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro