Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di ruangan berwarna biru langit bagian sudut kiri terdapat sofa panjang yang berada dekat jendela, dihiasi tirai berwarna peach tertiup angin ditambah pantulan sinar senja membuat tempat itu tampak indah dan tenang.

Gadis itu terduduk sambil memeluk kedua kakinya di sana menikmati terpaan angin senja yang menerbangkan rambut pirangnya. Memandangi langit dengan cepatnya berubah warna. Angin sejuk kembali mengembus petanda perubahan cuaca seperti perubahan kehidupannya yang cepat dan tak terduga.

Sesekali dia melirik ponsel pintar di tangannya menggeser layar melihat foto-foto yang sudah diabadikannya. Mengingat kebahagiaan itu membuat hatinya hangat dan sakit bersamaan. Dia hanya bisa tersenyum getir.

Derap langkah seseorang mendekati kamarnya, pintu terayun menampilkan wanita cantik di baliknya. Wanita berambut lurus itu tersenyum hangat dan mendekatinya. Dia membawakan segelas susu untuknya.

"Ma, terima kasih. Maaf membuatmu mengkhawatirkan diriku," kata Leony sembari menatap mamanya sendu.

Mamanya mendekat, duduk di sisinya memeluknya hangat sambil mengelus rambut panjangnya berkata, "Leony, kamu harus kuat. Ingat, Nak! Mama selalu ada di sisimu, apa pun yang terjadi Mama janji tak akan pernah meninggalkanmu."

Leony membalas pelukan erat mamanya sambil mengangguk cepat, tanpa bisa dicegah buliran hangat mengalir begitu saja. Mamanya melepaskan pelukannya, mengusap air mata Leony dengan kedua jempolnya. Melihat sinar kesedihan yang terpancar dalam iris coklat Leony.

Mamanya tersenyum, kembali memberinya semangat. "Leony, kamu jangan bersedih lagi. Ayo, bersihkan diri temanin Mama dan Papa makan malam."

Leony tersenyum tipis dan mengiyakan permintaan mamanya. "Iya, Ma. Sebentar lagi Leony turun."

"Baiklah, jendelanya ditutup saja. Sudah gerimis juga. Kamu jangan menyalahkan dirimu terus menerus. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukan hal yang bisa kita atur." Leony diam tak menjawab ataupun membantah, matanya kembali menatap keluar jendela.

Mamanya hanya bisa menghela napasnya berat dan memilih meninggalkan putrinya yang keras kepala. Leony masih setia menatap guyuran air hujan yang mulai deras membasahi kaca jendelanya, membuatnya mengingat hari pertama dia sampai di sini.

Saat itu Leony dan mamanya baru saja tiba di Indonesia, setelah memasuki koper ke troli. Leony langsung melesat keluar membentangi kedua lengannya lebar dan tersenyum hangat.

"I come back to Indonesian."

Mamanya menyusul dan tersenyum melihat tingkah riang anak gadisnya. Karena lama menunggu jemputan papanya Leony. Jadi Hanita memutuskan untuk mengajak Leony makan siang di cafe dekat bandara sambil menunggu kedatangan Manuel.

Di cafe Amoris, Leony memilih duduk di bagian pojok kanan dekat kaca dinding yang bisa terlihat keadaan di luar. Leony menatap langit biru dan jalanan yang terhiasi curahan hujan.

Pelayan cafe mendekat, mencatat pesanan mereka dengan cekatan. Leony mengedarkan matanya melihat interior cafe yang nyaman dan bersih. Hanita masih sibuk menghubungi Manuel yang ternyata terjebak dalam macet. Edaran Leony terpaku pada seorang gadis yang seumuran dengannya menunduk sedih menatap ponsel pintarnya.

Pesanan mereka sampai, segera disantap dengan lahap oleh Leony dan Hanita. Setelah selesai mengisi perut saat Hanita ingin membayar, dia baru ingat belum menukar uang rupiah.

"Pak, sini terima uang asing tak ya?" tanya Hanita pada pelayan cafe itu.

"Tidak, Bu."

"Kalau begitu, bentar Su–" ucapan Hanita terpotong oleh gadis yang seumuran dengan Leony.

"Hitung saja sekalian punyaku, Pak." Gadis itu tersenyum tipis sambil menyerahkan beberapa lembar uangnya pada pelayan itu.

"Thank's you, Beauty …," Hanita langsung memeluk Rea. Rea tercenung sesaat, tapi dia membalas pelukan hangat yang dia dambakan selama ini.

"Rea Ignacia Mahadev, panggil saja Rea, Tante."

"Terima kasih, Rea."

"Your are welcome, Tante–"

"Hanita Ayuka, panggil saja sesukamu." Hanita menarik diri dan memperkenalkan Leony. "Ini anak Tante, Leony Siller. Jadi merepotkan kamu. Rea, mau berangkat keluar negeri?"

"Tidak, aku hanya sedang tunggu Mama pulang dari Singapura, tapi kayaknya salah jadwalnya."

"Nanti uangmu biar Papa Leony yang gantiin," kata Hanita yang melihat keluar cafe. "nah itu dia datang."

Manuel mendapatkan keberadaan istrinya langsung mendekat dan memeluk istri serta anaknya bersamaan. Ciuman hangat mendarat di kening mereka yang disaksikan Rea.

Melihat kehangatan keluarga Leony membuat raut wajah Rea makin sedih yang tertangkap mata Leony. Lalu Hanita menceritakan kejadian tadi pada Manuel. Setelah berkenalan dengan Rea, keluarga Leony pamitan. Saat hampir keluar dari cafe, Leony melepaskan rangkulan papanya, lalu berbalik dan berlari masuk kembali. Langsung memeluk Rea.

Leony berbisik di telinga Rea. "Jangan putus asa, sampai jumpa." lalu Leony berbalik dan berlari kembali ke pelukan papanya.

Rea tercenung menatap kepergian Leony sebuah keluarga yang hangat baru ditemuinya, perlahan sudut bibir Rea terangkat membentuk sekilas senyum tipis.

"Thank's, Leony. Semoga kita berjumpa kembali."

~***~

Langit masih tetap mencurahkan hujan, Manuel mengajak Hanita dan Leony berbelanja ke Marisa Mall untuk membeli kebutuhan harian dan keperluan sekolah Leony. Saat masuk ke mall, mata Leony tersihir oleh keindahan interior dan desain bangunan Marisa Mall. Tak sangka di sini dia bisa menemukan mall yang semegah ini.

Manuel membawa mereka ke toko buku yang berada di lantai dua, karena ramainya pembeli mereka harus antri saat pembayaran. Tiba giliran mereka, seorang ibu yang terburu-buru malah menjatuhkan dompetnya.

Kaki Leony menginjak dompet tersebut, segera mengambilnya dan mengejar ibu yang berpakaian kemeja hitam itu memasuki swalayan. Leony kehilangan sosok ibu tersebut di keramaian.

Manuel dan Hanita kehilangan jejak Leony di kasir, segera menghubungi telepon genggam Leony. Lalu mereka menyusul Leony setelah menyelesaikan pembayaran.

Leony mengedarkan ke seluruh penjuru, saat melihat ibu tadi yang sedang mengantri di depan kasir. Leony berlari mendekat dan mengulurkan dompet itu ke hadapannya. Belum sempat berkata apa pun tangannya dipegang erat oleh seorang gadis seumuran dia.

"Kau mencuri," teriakan gadis berkepang itu mengundang pembeli swalayan langsung menoleh pada Leony.

Belum sempat Leony membantah, gadis berkepang itu menarik dompet yang ada digenggaman Leony dan memberikan ke ibu tadi.

"Ma, coba periksa uangnya berkurang tak!" pinta gadis yang memiliki bibir tebal itu. Ibu itu segera memeriksanya.

"Hey, lepaskan tanganku. Aku hanya mengembalikan dompet Ibu itu yang terjatuh di toko buku ta–" penjelasan Leony terpotong.

"Oh, jadi kau sudah dari tadi incar Mamaku?" Leony  membelalakan bola matanya dan menyentakkan tangannya kuat, melepaskan diri dari genggaman gadis berkepang itu.

"Aku cuma mengembalikan dompet itu, bukan mencuri. Kau jangan main asal nuduh," sergah Leony.

Saat gadis berkepang ingin kembali menyudutkan Leony. Ibu tadi berkata, "Uangnya pas kok, Oliv. Mama mungkin menjatuhkannya."

Tak lama Manuel dan Hanita menerobos kerumunan, dan mendekati Leony ikut serta menjelaskan hal tersebut. Akhirnya, Elaine Dinata selaku Mama Oliveria Elzhar meminta maaf dan berterima kasih pada Leony.

Tatapan tidak suka antara Leony dan Oliveria membuat keadaan sekitar menjadi tidak enak. Jadi Elaine berpamit pulang dan segera menarik Oliveria menjauh dari sana.

~***~

Kicauan burung mewarnai pagi yang cerah, silauan sinar menerobos masuk melalui celah-celah tirai berwarna peach. Di kasur singel seorang gadis remaja masih setia bergulung dalam selimut hangatnya. Suara alarm di atas nakas diabaikannya bahkan, ketukan pintu kamar berulang kali juga tak dihiraukannya.

Tiba-tiba mata beriris coklat terang itu membuka, gadis itu meraih jam di atas nakas lalu berteriak kencang, "Ah …."

Hanita hanya bisa menggeleng pelan sedangkan Manuel hanya tersenyum sambil meminum kopi hangatnya. Itulah salah satu warna di kehidupan rumah tangganya.

Tak lama suara berlarian Leony dari tangga menjadi latar musik di rumahnya yang berlantai dua.

"Ma, kenapa tak bangunin Leony? Leony bisa terlambat nich," gerutu Leony yang sudah rapi dengan rambutnya dikuncir kuda.

"Mama sudah menggedor pintu kamarmu berulang kali, tapi nyatanya kamu masih sayang sama kekasihmu," sindir Hanita yang membuat Leony mengerucutkan bibir tipisnya.

"Sudah, sudah, sarapan dulu. Kamu lupa ya, Leony? "Leony menatap sang papa dengan menaiki sebelah alisnya.

"Aduh, dasar pelupa. Jam alarmmu kan, sudah kamu cepatin tiga puluh menit." seketika Leony memejamkan matanya dan menepuk jidatnya.

Manuel hanya bisa kembali menggeleng mengingat kecerobohan Leony sambil menahan tawanya, dia menyeruput sisa kopinya malah membuatnya tersedak. Hanita segera menepuk punggung suaminya.

"Hahaha … kamu lucu sekali, Nak." tawa lepas Manuel yang masih sesekali batuk menghias ruang makannya saat ini.

Leony dan Hanita juga ikut tertawa, inilah keluarga Leony yang harmonis.

Setelah sarapan, Manuel mengantar Leony ke sekolah. Mereka memasuki perkarangan taman yang asri dan bersih. Lalu ada lapangan yang luas berbelok ke kiri pintu kedua itu ruang guru setelah ruang tata usaha. Di sana terdapat banyak meja guru-guru.

Manuel dan Leony diantar Pak Joko selaku penjaga gerbang sekolah ke ruang kepala sekolah yang terletak terpisah dengan ruang para guru. Ketukan pintu mendapat balasan dari dalam ruangannya.

Manuel dan Leony masuk, membahas ruang kelas yang akan ditempati Leony selama masa pembelajaran di Indonesia. Setelah itu Leony diantar wali kelasnya menuju ruangannya, sedangkan Manuel pamit pulang.

Di perjalanan tiba-tiba Leony merasa perutnya mules. Dalam hati dia bergumam, 'Wah, gawat nich bisa mencret di celana. '

Leony berhenti sambil memegangi perutnya sambil senyum paksa. "Bu, saya mau ke kamar kecil."

Bu Fuji menaiki kacamatanya dan memberitahukan letaknya. "Dari sini belok kanan. Kalau kelasmu dari sana kamu belok ka–"

"Iya, Bu. Nanti aku ke kelas." selesai menjawab tanpa benar-benar menyimak perkataan Bu Fuji. Leony berlari ke arah toilet dan langsung masuk ke dalam membuang hajatnya.
"Ah … leganya."

Leony keluar dari kamar kecil, mengucek matanya berulang kali dan berteriak kuat, "Ahk! Gila kamu Leony masuk ke tempat cowok."

Leony melirik ke sekitar. "Huft … untung tak ada cowok, bisa-bisa aku tambah malu. Ceroboh sekali kau, Leony!" gerutunya sambil bersiap keluar dari toilet cowok.

Sesaat kemudian pintu toilet paling ujung terbuka. Leony menoleh ke belakang ternyata keluar seorang siswa yang sedang membetulkan resleting celananya. Keduanya bertatapan muka saling terkejut. Detik berikutnya.

"Aaarrgggg!"

" Siapa kau! Ini toilet cowok!"

Leony menutup mukanya yang memerah.  Berlari keluar sambil berteriak.

~***~

Setibanya di luar, napasnya yang ngos-ngosan belum kembali teratur malah disuguhi banyaknya ruang kelas. Bingung menentukan arahnya, akhirnya dia mengetuk pintu kelas di sampingnya dengan canggung. Untungnya guru yang lagi mengajar sangatlah ramah.

Sesampainya di depan kelasnya, Leony berkata, "Terima kasih, Bu Anna. Sudah mengantarku kemari."

"Masuklah, Ibu balik ke kelas dulu," jawab Bu Anna sambil berlalu.

Leony tersenyum canggung saat kembali. Ia langsung diminta Bu Fuji untuk memperkenalkan dirinya. 

"Selamat pagi, namaku Leony Siller. Mohon bantuan dan bimbingannya," kata Leony sambil mengedar ke sekelilingnya.

Leony mengacungkan telunjuknya menunjuk seorang yang menatapnya sinis. "Kau …."

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro