Bab 14 ( Derita)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luka fisik akan sembuh dengan pengobatan medis yang teratur, sedangkan luka hati hanya akan sembuh saat dia mengikhlaskan.

~***~

Semenjak kejadian itu, Leony jadi pendiam dan selalu mengurung diri di kamar rawatnya. Saat dinyatakan bisa pulang, Hanita segera memboyongnya pulang.

Leony hanya dirawat empat hari saja, karena kondisinya membaik jadi diijinkan pulang. Lagi pula lukanya sudah mengering semua.

"Leony, ayo pulang." ajakan Hanita hanya diangguki oleh Leony.

"Sini biar aku yang bawain tasnya, Tante Ayu." Zeroun segera meraih tas yang tergeletak di brankar. Dia sudah berdiri di samping Leony dengan satu tangannya berada di saku depan.

"Ehh … Zeroun, kamu tak sekolah?" tanya Hanita yang biasa dipanggil 'Tante Ayu' dari singkatan nama belakangnya Ayuka.

"Tidak, Tante Ayu. Kan hari ini Leony bisa pulang, jadi mau jemput. Di sinikan susah pesan taksi." pengertian Zeroun membuat Hanita bernapas lega.

"Ehh ... kebetulan tadi Tante pesan katanya 'mesti tunggu sekitar dua jam lagi', untunglah kamu datang." Hanita bersyukur Zeroun datang tepat waktu, saat Manuel yang harus pergi keluar negeri mengurus surat kontrak kerjasama.

Setelah sampai di mobil, Zeroun dan Leony duduk di belakang. Sedangkan Hanita duduk di depan bersama supir.

Sejak masuk dalam mobil, Leony hanya diam dan terus menatap keluar jendela. Tak bergerak ataupun bersuara. Bahkan Zeroun yang mengajaknya bicara diabaikannya.

Hanita merasa tak enak berdeham, mencoba berbicara pada Zeroun untuk mencairkan suasana.

"Zeroun, bagaimana keadaan Rea dan Oliv? Tante belum ketemu mereka, saat mau jenguk mereka sudah pindah rumah sakit." Leony bereaksi, dia menoleh melihat mamanya dengan tatapan bingung.

"Iya, mereka dirujuk ke rumah sakit dekat sekolah. Selain peralatan di sana lebih lengkap, obatnya juga tersedia dan Oliv juga akan menjalani beberapa tes." penjelasan Zeroun, membuat Leony menghela napasnya.

Leony kembali menatap keluar jendela. Dan kembali merenung kejadian itu. Kembali merasakan rasa sesal dan mulai menyalahkan dirinya kembali, dia mengepalkan genggamannya untuk menahan air matanya yang hampir menyeruak.

Zeroun melihat telapak tangan Leony memutih, mencoba mengalihkan pikirannya. "Leony, kamu kapan kembali ke sekolah?"

"Besok," jawabnya singkat dan padat, Leony tetap melihat pemandangan di luar sana tanpa menoleh.

"Hah … Sayang, kamu 'kan belum sehat. Lagian Papamu tiga hari lagi baru pulang. Mama tak mau kamu berangkat dengan taksi. Tunggu Papamu pulang saja." Hanita memberi batasan pada Leony dengan bersedekap.

"Ma, Leony kan–"

Perkataan Leony dipotong Zeroun. "Biar aku yang antar saja, Tante Ayu."

Hanita menoleh ke belakang melihat Zeroun dengan tersenyum manis. "Kalo Zeroun yang antar jemput, Mama kan tak khawatirkan kamu, Nak."

Hanita tertawa dan Leony hanya bisa menggeleng pelan. Zeroun yang melihat interaksi unik ibu dan anak ini hanya bisa tersenyum. Setidaknya Leony di saat begini hidup bukan kayak boneka hidup.

Satu jam kemudian, setelah sampai Leony tak sadar karena banyak melamun. Zeroun yang sudah membukakan pintu untuknya, melihat tatapan kosong yang memenuhi pupil coklat Leony. Beberapa kali panggilannya diabaikan.

"Leony, kita sudah sampai." sentuhan Zeroun di tangan Leony, membuatnya tersentak dan sadar kembali dari pemikirannya.

Leony hanya mengangguk datar lalu berjalan masuk menuju kamarnya di lantai atas.

Zeroun melihat keadaan Leony yang benar-benar berbeda dari biasanya menatap Hanita seperti meminta penjelasannya.

Hanita seakan tahu pemikiran Zeroun pun bercerita. "Semenjak kecelakaan itu, tiap dia tertidur akan memimpikan peristiwa itu kembali. Dan parahnya saat bermimpi dia akan berteriak-teriak. Setelahnya dia akan menangis dan terus menerus menyalahkan diri sendiri."

Hanita kembali menghela napasnya. "Dia bahkan sudah diberi obat penenang, jika masih begini Manuel berencana bawa dia ke dokter spesialis."

Zeroun mengangguk. "Baiklah, Tante Ayu. Aku ingin pamit pulang dengan Leony dulu."

"Iya, langsung saja ke kamarnya di lantai dua. Tante bawa pakaian kotor ke belakang dulu." Zeroun langsung menuju ke atas.

Saat Zeroun ingin mengetuk, tangannya berhenti di udara. Dia mendengar suara isakan Leony dan semua kata yang menyalahkan diri sendiri.

Zeroun merebahkan punggungnya di pintu kamar Leony. Menggigit bibirnya dan mengepalkan tangannya, dia ikut merasakan kesakitan yang dirasakan Leony.

Di dalam sana, Leony memeluk dirinya erat, membenamkan kepalanya di kedua lututnya. Dia terus menerus menyalahkan dirinya sendiri.

"Seandainya aku tak ajak kalian ke sana, seandainya aku tak ingin menunjukkan pemandangan di sana, seandainya kalian tak kupaksa ikut, seandainya aku tak kenal kalian, seandainya aku tak kembali ke sini. Apa semua ini tak akan terjadi?"

Leony mengusap air matanya dengan kasar dan kembali bergumam, "Seandainya .…"

Menghela napas mengelus foto-foto mereka di album miliknya. "Ini semua salahku, karena aku … aku yang membuat kalian terluka. "

Leony memukuli dadanya untuk meredakan sesak saat menarik tiap napasnya.

"Maafkan aku … maafkan aku, Rea." Leony meremas dadanya yang terasa sakit tiada tara.

"Maafkan aku … maafkan aku, Oliv. Jika bisa aku berharap yang buta itu aku, yang luka itu aku. "

Gumaman kata maaf perlahan melemah, Leony tertidur dalam rasa lelahnya menangisi penyesalannya.

Hanita yang ingin memeriksa Leony merasa heran, karena Zeroun masih berada di depan kamarnya Leony.

Saat makin dekat, Zeroun mengisyaratkan pada Hanita untuk diam dengan meletakkan telunjuk di bibirnya.

Setelah memastikan suara dari dalam sudah sepi, Hanita dan Zeroun masuk. Melihat Leony telah terlelap dengan matanya sembab.

Mereka meninggalkan Leony yang terlelap dalam kesedihannya dan keresahanya.

~***~

Pagi ini Leony yang sudah bersiap berangkat ke sekolah. Wajahnya yang pucat, pipi tirus dan mata sembab ditutupinya dengan bedaknya.

Memasang wajah palsu menyapa mamanya. "Pagi, Ma."

Hanita yang sedang menyiapkan sarapannya menoleh ke belakang. "Pagi, Sayang. Sebentar lagi siap kok."

Leony masih memeluk mamanya dari belakang. Segera Hanita mematikan kompor dan berbalik memeluk Leony.

Sambil mengelus rambut Leony yang diikat pita, Hanita berbisik, "Semua akan baik-baik saja."

Leony mengangguk pelan. Hanita menepuk pelan punggung Leony yang merasa lebih tenang dan nyaman. Bel pintu berbunyi membuat mereka melepaskan pelukan.

"Biar aku saja yang buka, Ma."

Hanita mengangguk segera berbalik menyalin hasil masakannya ke piring, sedangkan Leony segera berjalan menuju pintu utama.

Saat Leony membuka pintu untuk tamunya, yang ternyata adalah Zeroun. Zeroun terkesima dan terbenggong beberapa detik menatap Leony tak berkedip.

Leony kembali memperhatikan pakaiannya dan baju yang melekat padanya. Bajunya tak ada salah.

Hanita memanggil dari dalam ruang makan sambil menyiapkan sarapan di atas meja. "Siapa, Sayang?"

"Zeroun, Ma." teriakan Leony menyadarkan Zeroun dari lamunan.

Zeroun segera menyapanya. "Pagi, Leony. Gimana tidurmu, nyenyak?"

Leony yang ditanya hanya mengangguk. Hanita segera menghampiri mereka. "Ayo, sarapan bersama, Zeroun."

"Iya, Tante Ayu. Kebetulan aku belum sarapan." Zeroun sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Lalu mereka makan sarapan bersama, sambil mengobrol ringan. Setelah itu, mereka menuju sekolah dengan mobil Zeroun.

Seperti biasanya Leony membawa biolanya, dia ingin memainkannya di ruangan musik.

~***~

Sesampainya di sekolah, ada beberapa cewek yang menatapnya tajam. Apalagi saat tahu dia datang bersama Zeroun.

Leony ke papan pemberitahuan melihat nama dia dibagi di lokal yang mana. Leony berjalan ke lokernya, saat dibuka di sana ada tumpukan kotoran hewan.

Tidak ingin Zeroun tahu hal ini. Saat Zeroun mendekat Leony segera menutupnya dan pergi dari lokernya menuju kelasnya, yang sudah ditentukan.

Saat jam istirahat kedua karena Zeroun ada rapat OSIS, jadi Leony ke ruang musik memainkan biolanya. Tepat di belokkan Leony tersandung dan terjatuh, biola yang sering dibawanya terhempas ke arah tangga, di bawah kaki Naura.

Biolanya Leony digerakan sedikit bakal jatuh dari atas tangga, dimana posisi biolanya yang menyentuh lantai cuma seperempat.

Kegelisahan Leony melihat posisi biolanya berdekatan dengan Naura yang tersenyum sinis, sengaja menyenggol biola Leony yang akhirnya terjatuh ke bawah tangga.

Leony segera bangun dari jatuhnya ingin meraih biolanya agar tak jatuh ke bawah membuatnya melihat bayangan yang sama saat ingin meraih Rea.

Perasaan itu membuat Leony terhenti, dan melihat biolanya berguling-guling di tangga dan patah menjadi dua.

Perasaan yang sama saat melihat Rea dan Oliveria berguling-guling  dan tergeletak di bawah, tak sadarkan diri. Leony bergerak perlahan mengambil biolanya dan berlutut memeluk erat biola kesayangannya.

Air matanya membasahi wajah tirusnya, perasaan bersalah memenuhi kembali hatinya.

Naura yang melihat itu tertawa. "Kau yang melukai Rea dan Oliv! Mereka terluka karena egomu. Karena kamu!"

Sambil menoyor kening Leony, Naura pergi dengan kemenangan yang didapatinya.

Kata-kata Naura terngiang-ngiang  di benaknya. Perlahan Leony bangun, dengan wajahnya yang sembab Leony membawa biolanya kembali ke kelas memasukkan ke bungkusnya dan menyandangkan tasnya berjalan keluar dari sekolah.

Kakinya berjalan tanpa arah, berhenti di depan rumah sakit yang pernah merawatnya.

Berjalan tak tentu arah dalam rumah sakit malah membawanya ke kamar yang merawat Oliveria.

Oliveria sedang meraba di atas nakas ingin mengambil minum, tapi dia kesusahan. Leony segera mengambilkannya dan meletakkan di tangannya.

"Ah … terima kasih, apa kamu suster baru? Aromamu beda," kata Oliveria sambil meminum air putihnya.

"Bukan, aku hanya … hanya sukarelawan." Leony memberi alasannya.

"Siapa namamu, aku Oliveria Elzhar. Panggil saja Oliv." Oliveria mengulurkan tangannya ke depan dengan senyumnya yang ramah.

Leony meraih telapak Oliveria dan mereka salaman. "Panggil aku Ony saja. Senang berkenalan denganmu."

"Apa kamu sendirian, tak ada yang menjagamu, ya?" tanya Leony sambil melirik sekeliling.

"Tidak, biasa Mamaku akan datang, tapi akhir-akhir ini dia mulai cari kerja buat biaya berobatku. Jadi aku ada apa-apa akan pencet bel ini." Oliveria menjelaskan pada Leony.

"Karena kamu sendirian, tiap pulang sekolah aku akan menemanimu di sini."

"Sungguh?"tanya Oliveria dengan antusias.

"Tentu, aku berjanji." sumpah Leony sambil menautkan kedua jari kelingkingnya dengan Oliveria. 

Diraihnya jemari Oliveria membuat Oliveria teringat seseorang. "Kamu membuatku teringat seorang temanku yang menyebalkan."

Leony terdiam menatap wajah Oliveria yang masih menyimpan amarah. " Dia yang menyebabkan aku buta."

Pernyataan yang membuat Leony makin merasa bersalah, dengan gugup dia beranjak pergi. "Sebaiknya aku pulang dulu, orangtuaku akan mengkhawatirkan aku. "

"Iya, besok kemari lagi, ya?" Leony mengangguk, lupa Oliveria tak melihat anggukannya.

Cepat-cepat dia berkata, "Iya, aku akan datang kemari lagi. Sampai jumpa, Oliv."

Setelah itu, Leony keluar dari kamar Oliveria. Melihat Elaine berada di belokan, Leony segera menghindar memasuki kamar pasien lainnya.

"Maaf, mengganggu sebentar," kata Leony tanpa menoleh, dia masih setia menatap keluar melalui celah pintu.

"Leony." suara yang begitu familiar untuknya, Leony menoleh ke orang yang memanggilnya.

"Leony, kamukah itu?"panggil Rea. Leony mendekat lalu memeluknya.

"Kenapa kamu baru menjengukku?" Leony menunduk.

"Maaf, karena aku … kamu jadi terluka." Leony menatap Rea dengan mata sendunya.

"Bicara apa kamu, Leony? Aku terluka bukan karenamu, tapi itu gara-gara aku kurang hati-hati." Leony menggeleng kuat sambil, menetaskan air matanya.

"Bukan, itu karena aku … gara-gara aku, kamu jadi terluka." Rea tersenyum dan mengusap air mata Leony.

"Bukan karenamu, aku ingat betul. Walau kepalaku terbentur dan membuatku tertidur beberapa hari."

Leony masih tetap merasa bersalah atas peristiwa itu. Luka Rea dan Oliveria membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh begitu juga butuh biaya yang sangat besar.

~***~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro