Bab 15 ( Bertahan)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat berada di situasi yang tak diinginkan, apa yang kau pilih pergi atau bertahan?

~***~

Zeroun yang lagi istirahat rapat OSIS segera mencari Leony, dan dia benar-benar kehilangan jejaknya. Kebingungan dia segera menelepon Leony.

Tak ada yang angkat, dan yang jawab hanyalah operator. Zeroun tidak kehabisan akal segera menelepon ke Hanita.

'Halo.' sapa dari telepon yang tersambung.

"Tante Ayu, Leony apa sudah pulang?"tanya Zeroun dengan nada yang gemetaran.

'Iya, baru saja.'

Seketika Zeroun menghela napas lega."Syukurlah, kalau dia sudah pulang. Tante Ayu, aku lanjut mengurus hal lain dulu. Bye ...."

'Baiklah, selamat beraktivitas.'

Saat Zeroun mematikan telepon genggamnya di belokkan dia melihat geng Naura sedang berkumpul.

"Apa yang mereka rencanakan lagi?" gumamnya sambil mengelus dagunya.

Zeroun mendekat dengan cara mengendap-endap. Bukan mau menguping, tapi cuma ingin mengurangi kasus pembullyan di sekolah dan penasaran juga siapa korbannya saat ini. Samar-samar dia mendengar rencana yang kurang enak.

"Kita bully saja tuh bocah, setelah membesarkan masalah itu dan buat semua orang menjauhinya."

"Tadi pagi sudah kasih hadiah utamakan, terus juga sudah kasih pelajaran. Besok kita tambahin lagi."

"Iya, pokoknya harus usir dia dari sini."

Belum sempat Zeroun menegur, pundaknya ditepuk Billy. "Bro, rapat sudah dimulai."

Zeroun yang sempat mengalihkan pandangannya, kehilangan jejak geng Naura. Mereka sudah pergi dan tak meninggalkan jejak.

Zeroun ingin tahu siapa yang mereka bully, karena selama ini acara pembullyan mereka belum mendapatkan bukti yang dapat menjerat mereka.

Kali ini rapat sebaiknya mengusulkan pemasangan beberapa cctv di beberapa titik gelap.

~***~

Setelah rapat OSIS kemarin, benaran besoknya langsung dimulai pemasangan cctv di berbagai titik gelap dan tersembunyi tanpa sepengetahuan seluruh murid SMU Pertiwi hanya beberapa guru dan ketua OSIS yang mengetahuinya.

Pagi sekali Leony sedang menyiapkan baju gantinya, karena selesai sekolah dia akan pergi ke rumah sakit menemani Rea dan Oliveria.

Bagi Leony, Oliveria tak tahu siapa dia itu lebih baik dan Leony bisa sedikit merasa membayar perasaan bersalahnya akibat kecelakaan itu.

Buku pelajarannya sudah dia masukin di dalam tas, lalu dia turun ke bawah dan sarapan bersama mamanya seperti biasanya.

Leony akan mencoba menguatkan diri, seperti kata mamanya 'semua akan baik-baik saja'.

Seperti biasa selesai sarapan bersama dan pamitan dengan Hanita, Zeroun akan menjemputnya dan berangkat bersama Leony ke sekolah. Kali ini arah mobil Zeroun datang jemput adalah arah mau ke sekolah. Leony tak ingin bertanya jadi dia memilih diam.

"Zeroun, ini dari Mama." Leony meletakkan bekal dari Hanita ke pangkuan Zeroun.

Zeroun tercekat melihat bekal yang sudah disiapkan untuknya. Zeroun membukanya, melihat isi dalam bekal adalah makanan kesukaannya.

Udang goreng tepung dan tahu goreng plus tumis buncis dan wortel. Di dalam mobil Zeroun langsung memakannya dengan lahap.

"Enak sekali," puji Zeroun.

Leony tersenyum melihat tingkah Zeroun, sedangkan Zeroun tertegun dengan senyuman Leony yang telah lama hilang.

Leony merasa tatapan Zeroun makin hari makin berbeda juga segera memalingkan wajahnya dan kembali dengan wajah datarnya.

"Jangan simpan sedihmu sendiri, jangan menutup senyummu. Aku … hmm, maksudku di sekitarmu masih banyak orang yang menyayangimu termaksud aku." Zeroun menatap Leony dengan mata yang mendambakan.

Leony menoleh dan hanya tersenyum sekilas terus kembali menatap depan.

Tak lama mereka sudah tiba di sekolahan, Leony langsung menuju lokernya yang dia bersihkan susah payah, kali ini apalagi yang menantinya.

Saat kuncinya memasuki lubang, kunci tak bisa berputar dan tak bisa dicabut juga, malahan tangan Leony jadi kotor bekas lem dan cat. Karena menempelkan telapaknya untuk mencabut kunci.

Tangan sebelah kiri Leony kotor, dia menitipkan tasnya pada Zeroun berjalan menuju kamar mandi.

Byuur

Seember air menyirami tubuhnya, baru mau diangkat ember yang menutup kepalanya, lemparan tepung dalam bungkusan kantong es menyapanya.

Kotor, bau, basah dan lengket. Itulah yang dirasakan Leony. Banyak teman yang lihat saja, mereka berbisik-bisik. Ada yang menertawakan, ada yang mengejek bahkan ada juga yang mensyukurinya.

Lelah itulah yang dirasakannya ingin menangis, tapi sadar hal ini tak bakal mendapatkan penyelesaian.

Zeroun mendekat, Leony mengangkat tangannya mengisyaratkan jangan mendekatinya.

"Zeroun, bisakah kamu menungguiku di sini? Jangan biarkan siapa pun masuk kemari." Zeroun segera mengangguk.

Leony seperti pemain pantomim atau makhluk tepung. Dia segera berjalan memasuki salah satu kamar mandi dengan membawa tas di tangannya.

Setelah bersih dia memakai baju kaos biru dan jean hitam. Menoleh pada Zeroun. "Aku pulang dulu."

Melihat Leony makin menjauh, Zeroun bergegas mengejarnya. "Jadi kamu tak masuk hari ini?"

Langkah Leony terhenti, dia menoleh pada Zeroun. "Baju seragamku kotor, tak mungkin aku pakai baju bebas."

Selesai berkata itu, Leony langsung mempercepat langkahnya menuju gerbang sekolah.

"Kamu tetap bisa ikut pelajarannya walau pakaianmu bukan seragam."Leony kembali menoleh pada Zeroun.

Pasrah itulah Leony sekarang telah berada di kelasnya mengikuti pelajarannya, semua guru sudah tahu Leony dibully.

Saat pelajaran memasuki jam istirahat kedua, Bu Fuji meminta Leony maju ke depan untuk menyelesaikan soalan yang diberikannya.

Dan anehnya Leony bangun kursinya juga ikut terangkat. "Apalagi ini?"

Posisi Leony membuat teman satu kelasnya menertawakan dirinya. Bayangin sendiri dech, kursi itu nempel kuat di bokongnya.

Mau tak mau Leony sekarang tengkurap di atas meja yang ditahan beberapa siswa, belakangnya ada beberapa siswa bantu tarik kursi yang melekat ketat di bokongnya.

Adegan tarik menarik berlalu cukup lama, akhirnya bokong Leony terbebaskan juga. Tentu dengan mengorbankan celananya koyak.

Leony menutupnya dengan jaket yang diberikan Zeroun padanya. Karena pakaian sudah tak layak, saat ini Zeroun mengantar Leony pulang lebih awal.

Sesampai di rumah, Leony segera melesat ke kamarnya, mandi berganti pakaian. Kotoran tadi masih ada yang melekat di tubuhnya.

Hanita heran Leony sudah pulang bahkan belum jam pulangnya. "Zeroun, kenapa sudah pulang? Apa Leony sakit lagi?"

"Tidak, tadi di sekolah bajunya kotor jadi dia hanya berganti pakaiannya saja."

"Baiklah, kamu sudah makan bekal tadi. Ayo makan siang bareng Tante. Gimana makanan tadi enak tak?" tanya Hanita dengan tetap menyunggingkan senyumnya.

"Enak, Tante Ayu," puji Zeroun dengan tulus.

"Baguslah," kata Hanita sambil mengisi nasi ketiga piring yang kosong.

Tes

Setetes darah menetes ke meja makan, Zeroun menyadarinya menengadahkan kepalanya mendapatkan Hanita mimisan.

"Ehh … Tante Ayu, kamu mimisan?"

Hanita segera menjepit hidungnya berlari ke wastafel. Membersihkan hidungnya dari darah.

"Tante Ayu, tak apa-apa, 'kan?" tanya Zeroun khawatir, Hanita menggeleng pelan.

"Tapi wajah Tante pucat sekali?"

Hanita yang sudah membersihkan langsung berbalik mengeringkan mukanya dengan beberapa tisu.

"Tak apa, mungkin panas dalam."

"Mama, kenapa? Sakit ya?" Leony yang baru siap mandi, saat menuju ke meja makan mendengar pembicaraan Hanita dan Zeroun, langsung mendekati Hanita.

Hanita langsung meraih telapak tangan Leony yang ingin memegang kening Hanita. "Tidak, Sayang. Hanya mimisan saja. Ayo, temanin Mama makan siang."

Leony tersenyum dan mengangguk pelan, mereka makan bersama. Setelah itu, Zeroun dan Leony kembali ke sekolah untuk mengikuti pelajaran hingga selesai.

~***~

Pulang dari sekolah di sinilah tujuan Leony, rumah sakit. Berdekatan dengan nama samaran memang sulit, tapi melakukan ini juga mengurangi rasa bersalah.

Dibandingkan dulu tiap tidur harus menggunakan obat penenang sama sekali tak mengurangi jeda mimpi buruknya, tapi dengan menjaga Oliveria. Leony merasa tenang, mimpinya juga berkurang.

"Siang, Oliv!" sapa Leony saat memasuki kamar Oliveria.

"Ah, Oni. Akhirnya kamu datang juga, kamu tahu betah sepinya diriku." Oliveria merasa senang, seharian sendirian dalam kegelapan yang menemaninya.

"Justru ini aku segera selesaikan tugasku biar bisa datang kemari menemanimu," ucap Leony sambil meletakkan sebungkus makanan.

"Senangnya aku. Sayangnya, mataku tak dapat melihatmu." raut sedihnya Oliveria membuat Leony merasa bersalah.

"Aku bawain kue buatanku, mau coba?" Leony mengalihkan rasa sedih Oliveriadengan kue buatannya tadi sebelum kemari, tentu dibantu mamanya.

"Iyakah, boleh. Mana?" Oliveria sangat antusias menunggu makanannya, karena kue juga kesukaannya.

"Sini, aku suapin." Leony memotong kue itu di piring, ingin menyuapi Oliveria.

"Jangan anggap aku tak berguna donk. Kalau hal-hal kecil aku coba lakukan sendiri kok." Oliveria menolak.

"Baiklah, ini pegang!" Gimana hasil tes matamu, apa kamu tak tahu?" Leony meletakkan piring di pangkuan Oliveria, meraih tangannya ke arah kue berada.

"Tidak, Mama dan Papa tak pernah cerita."Leony menatapnya lekat, alisnya menaut.

Sebaiknya aku minta bantuan Papa supaya tahu hasilnya. batin Leony.

Leony melirik jam tangannya, tahu sebentar lagi Elaine akan datang. Jadi Leony pamit pulang.

Saat Leony keluar dari kamarnya Oliveria, Elaine melihatnya, tapi tak bisa pasti itu siapa. Dan Elaine juga tak memikirkannya segera masuk ke kamar Oliveria.

~***~

Next or not 😂😂😂😂😂
Belakang sesinya agak berat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro