Hati yang menjerit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rasa bersalah itu kembali muncul di dalam dirinya. Setiap malam Beno selalu datang menghampirinya, dengan wajah yang menyedihkan dan suara yang memilukan hati.

"Kamu pembunuh."

Setiap kali datang selalu Beno berkata seperti itu, membuatnya kadang ketakutan. Tapi apa daya, semua telah terjadi. Dia puas sudah membunuh Beno dengan tangannya sendiri. Dia sudah tidak peduli lagi dengan kedatangan Beno di malam hari. Lama kelamaan dia sudah terbiasa dengan itu semua.

Dia kini meringkuk di tepi kasurnya. Ingatan tentang Beno mulai kembali terulang di dalam ingatannya. Dia ingat betul sejak awal pertama kali tertarik pada Beno. Dia sadar kalau dia hanya perempuan yang biasa saja, dan tidak menarik perhatian siapa pun. Awalnya, dia tidak berani mendekati Beno, tapi setelah seseorang temannya akhirnya dia memberanikan diri mendekati Beno, bahkan mendatangi sekerariat HMJ TI.

Gadis itu sekarang harus lebih berhati-hati lagi, karena dia tahu beberapa teman Beno mulai menyelidikinya, bahkan mengawasinya. Dia harus ekstra hati-hati.

"Tinggal Sari!" serunya sambil tersenyum licik.

***
Irwan mempelajari kembali materi kuliah yang diterangkan oleh Pak Hardi kemarin. Dia membaca catatan yang dicatatnya kemarin. Sedangkan Jamet, dia sudah tertidur pulas setelah membaca materi sampai tuntas.

"Jamet, udah molor aja, " gumam Irwan. Dia melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan malam.

Irwan memegangi perutnya yang terasa lapar. Akhirnya, dia membangunkan Jamet untuk mengajaknya ke Warmindo membeli makanan.

"Met, gue laper. Yok makan, " ajak Irwan sembari menguncangkan tubuh Jamet yang masih terlelap.

"Ayok."

Mendengar kata makan, Jamet langsung terbangun dan melihat sekelilingnya belum ada makanan.

"Loh, makanannya mana?" Jamet mendelik.

"Ya beli, Met. Makanya gue bangunin lo buat beli makanan," jawab Irwan.

Jamet menepuk jidatnya sendiri. Dia pikir Irwan membangunkannya untuk makan, makanan sudah tersedia di hadapannya, dia salah besar. Dengan perasaan yang sedikit kesal, Jamet berdiri tegap dan menarik tangan Irwan menuju ke Warmindo, sesuai tempat yang Irwan maksud.

Sesampainya di sana, Warmindo depan kampus suasana sudah sepi. Gerbang di kampus pun tampak sudah dikunci. Sepertinya kuliah malam sudah selesai. Terlihat dari depan warmindo lampu di kampus sudah dimatikan.

"Ayo, masuk, ngapain lihatin kampus kita. Nggak bakal ilang juga itu kampus, " celetuk Jamet yang sedari tadi memperhatikan Irwan melihat keadaan sekitar kampus.

Irwan mengangguk. Kedua remaja itu memasuki warmindo dan memesan dua mi goreng dan es teh.

"Lo mempelajari materi Pak Hardi sampai mana, Wan?" Jamet bertanya sembari mengunyah gorengan yang ada di meja.

"Belum semua. Ada yang nggak gue ngerti, " jawab Irwan.

Tak berselang lama, pria berbadan besar mengantarkan pesanan kedua remaja itu. Mereka langsung menyambar mie goreng pesanan mereka.

Tampaknya pelayan berbadan gemuk itu masih setia di sana. Dia malah asyik merokok, membuat asap mengenai hidung Irwan dan Jamet yang membuatnya terbatuk-batuk.

"Itu Mas-mas gila kali, ya, " ucap Jamet kesal. "Udah tahu kita baru makan, dia malah ngerokok."

Irwan tersenyum. "Sabar, Bro."

Pria bertubuh gemuk itu pun menghampiri mereka dan duduk di sebelah Jamet.

"Heii..., kalian kuliah di depan situ, ya?" tanyanya dengan logat Medan.

Irwan dan Jamet mengangguk.

"Aku sering lihat kalau malam-malam ada perempuan yang sukanya lari-lari kayak ketakutan gitu," ucapnya lagi.

Ucapan itu membuat Irwan dan Jamet saling pandang. Mereka berdua yakin perempuan yang dimaksud oleh pria bertubuh gemuk itu adalah perempuan yang sudah membunuh Beno.

"Mas tahu ciri-ciri perempuan itu?" Irwan langsung bertanya to the point. Siapa tahu dengan petunjuk itu mereka bisa mengenali ciri-ciri perempuan itu.

Pria berubuh gemuk itu menggeleng. "Mana saya tahu. Udah malam, mukanya nggak kelihatan."

"Mas, kalau tahu mukanya kasih tahu kami, ya?" Kini Jamet yang berbicara.

Pria berubuh gemuk itu mengangguk. "Baiklah. Memangnya buat apa?"

"Minta WA-nya aja, Mas. Saya takut dia membahayakan Mas, " ucap Irwan, lalu menyodorkan ponselnya untuk mencatat nomor pria bertubuh gemuk itu.

Dia pun mendektekan nomornya yang langsung disimpan Irwan di dalam ponselnya.

Jamet menyeruput es tehnya yang tinggal setengah sampai habis, lalu dia kembali mengunyah gorengan yang masih tersisa di meja.

"Kampus kalian jadi serem kalau malam-malam gini semenjak kematian mahasiswa itu, " ucap pria berubuh gemuk.

Irwan menggelengkan kepala. "Dia teman kami, Mas."

Pria bertubuh gemuk itu tampak kaget mendengar pernyataan dari Irwan. "Kalian tidak bercanda?"

Kedua remaja itu menggeleng.

"Samar-samar dia pernah beli di warung saya.
Dia anak yang baik. Kalau dia ke sini pasti sama pacarnya, " ucapnya.

"Kalau itu kami tahu, Mas, " jawab Irwan. "Sebenarnya kami juga sedikit tidak menduga dia akan meninggal secepat itu."

Pria bertubuh gemuk itu mengangguk. Dia seolah paham bagaimana rasanya kehilangan seorang teman, apalagi meninggalnya tidak wajar. Bunuh diri.

"Ya udah, Mas.  Saya kasih himbauan ke Mas-nya buat hati-hati.  Saya nggak mau Mas nanti jadi korban kayak warmindo sebelah, " ucap Irwan.  Sungguh,  tragedi kebakaran warmindo yang menewaskan pelayan itu masih teringat dalam ingatannya.  Totalnya berapa?" Irwan merogoh sakunya, mengambil beberapa uang dua puluh ribuan.

"Pesennya apa aja?"

"Saya mie goreng satu, es teh satu, " jawab Irwan. "Lo pesen apa aja, Met?"

"Mie goreng satu, es teh satu, gorengan dua, " jawab Jamet.

Pria bertubuh gemuk itu tampak menghitung totalan. "Tiga puluh ribu."

Irwan menyodorkan sepuluh ribuan berjumlah tiga. Tandanya uangnya pas.

"Uang pas, ya?" tanya pria bertubuh gemuk.

Mereka mengangguk dan keluar dari warmindo. Sekarang perut mereka kenyang karena sudah makan.

"Gue yang nuker uang lo kalau orangtua gue udah kirim, ya, Wan?" Jamet menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue nggak enak hati sama lo."

Irwan menepuk bahu Jamet. "Ahelah, santai aja, Bro."

"Gue ini kos numpang, makan numpang." Jamet menghembuskan napas kasar. "Tahu sendiri adik gue banyak di kampung."

Irwan terkekeh. Dia paham bagaimana kondisi Jamet. Ditambah saudaranya ada empat, pasti orangtuanya memutar otak untuk bisa mencukupi kebutuhan anak-anaknya.

"Gue mah santai aja, Met. Asal lo kuliah yang serius, ya? Kasihan orangtua lo," Irwan tersenyum sambil merangkul temannya itu.

Jamet mengangguk. "Iya, Bro."

Sesampainya di kos, mereka langsung terkapar merebahkan tubuhnya di kasur. Rasa kenyang masih terasa di dalam perut mereka.

"Siapa ya perempuan itu?" Irwan tampak berpikir keras.

"Gue yakin, sih, Wan, dia hidupnya pasti nggak tenang, " jawab Jamet.

Irwan mengangguk. "Yang gue heran, kenapa dia juga nyelakain Thoriq sampai meninggal?"

Jamet mengedikkan bahu. Dia juga tidak paham pola yang dilakukan oleh perempuan itu.

"Mungkin Thoriq di balik ini semua?" Jamet mulai menebak-nebak.

"Maksud?" Irwan tidak paham dengan apa yang dilontarkan oleh Jamet.

Jamet membisikkan sesuatu di telinga Irwan, membuatnya berpikiran sama tentang pola pembunuhan perempuan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro