Sebuah cekikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seseorang itu merasa lelah seusai mempelajari materi UAS. Kemudian dia merebahkan tubuhnya di kasur. Dia mulai memejamkan mata yang sudah mulai lelah. Matanya pun sudah sayup. Akhirnya, dia pun tertidur. Saat dia sudah terlelap dalam tidur, dia merasa ada sebuah tangan yang mencekiknya. Cekikan itu semakin kuat, membuatnya susah bernapas. Anehnya, dia susah untuk membuka mata. Seseorang itu meraba-raba tangan yang mencekik dirinya. Tangan itu terasa dingin seperti mayat.

"Kamu harus mati."

Suara itu terdengar jelas pada telinganya.

"Lepasin, " gumamnya. Tangan itu tak mau melepaskan, malah semakin kencang.

Seseorang itu akhirnya bisa melepaskan cekikan itu, dan dia pun terbangun. Dia memegangi lehernya, ternyata dia hanya bermimpi. Sesuatu yang aneh terjadi padanya, dia merasa lehernya terasa sangat perih. Kemudian dia meraih kaca kecil yang ada di meja kecil di sebelahnya. Dia mulai berkaca, melihat ada bekas luka jeratan di lehernya.

"Nggak mungkin, tadi mimpi, " gumamnya tak percaya. Dia yakin cekikan itu hanya ada di mimpinya, tapi kenapa sekarang benar-benar ada?

Terdengar suara memanggil yang entah darimana. Dia pun mengedarkan pandangan ke segala arah. Semakin lama suara itu semakin jelas.

"Apa mau kamu?" Dia berteriak memecah keheningan malam.

"Kamu harus mati."

Suara itu terdengar kembali dari belakang dia duduk di ranjang tempat tidur. Takut-takut dia menoleh ke belakang, sebuah tangan dingin mencekiknya dari belakang. Sampai kehabisan napas, dia pingsan seketika.

Sebuah suara membangunkannya dari pingsan.

Matanya mengerjap-ngerjap. Dia tidak ingat apa-apa sama sekali. Yang diingatnya sebuah cekikan yang membuatnya tak sadarkan diri.

"Aku kenapa?"Dia memijit keningnya sendiri. Dia bingung dengan apa yang terjadi.

"Kamu tadi pingsan, " jawab teman satu kosnya.

Kepalnya terasa pusing. Dia menggelengkan kepala. "Apa yang terjadi?"

Teman satu kosnya menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Awalnya mendengar suara teriakan dari dalam kamar. Karena penasaran, teman kos menuju kamar kos yang kebetulan tidak dikunci. Saat membuka pintu, dia menemukan temannya tergeletak di lantai dalam kondisi pingsan.

"Kayaknya aku ketakutan habis nonton film horor di ponsel, " jawabnya berbohong. Dia tidak menyangka suara teriakannya terdengar sampai keluar.

Teman kos menghela napas. "Yelah, kalau takut ngapain nonton?" Temannya mengangkat sebelah alis, merasa aneh. Sering dia mendengar saat malam teman satu kosnya itu berteriak-teriak seperti orang ketakutan. Hampir setiap hari.

"Menguji adrenalin." Dia tertawa untuk menutupi apa yang terjadi.

Kembali teman kosnya mendongakan kepala, dia melihat ke dalam kos temannya yang dirasa sangat menyeramkan. Entah kenapa saat masuk ke dalam kamar kos , dia merasa ada yang memperhatikannya.

"Kamar lo kok agak gimana gitu, ya?"

Pertanyaannya membuat dia mengernyit. Dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan.

"Ah ... kamu, terlalu berlebihan, " cibir nya sembari menepuk bahu lawan bicara. "Nggak ada apa-apa, kok." Dia mendongak ke arah kamarnya, yang memang lampunya sedikit redup.

Teman kosnya menggaruk tengkuknya. "Kayaknya perasaan gue aja, ya?"

Dia tersenyum. "Iya."

"Gue balik ke kamar kos dulu." Teman kosnya berpamitan menuju kamar kos yang bersebelahan dengannya. Seseorang ity pun masuk ke dalam kos. Dia sangat was-was, karena teman kosnya seperti mencurigainya. Dia harus lebih berhati-hati.

Saat temannya berada di kamar kos, dia masih memikirkan soal teman sebelahnya yang akhir-akhir ini memang sadikit aneh. Entah kenapa dia merasa ada yang disembunyikan.

"Kok, gue jadi nggak yakin kalau dia berkata jujur, ya?" Duab menompang dagunya di atas tempat tidur.

Dia menggelengkan kepala, dia tidak boleh berburuk sangka pada teman satu kos-nya itu.

Seseorang itu menuju ke meja belajar. Dia mengambil sebuah foto Beno, yang disimpannya. "Aku tahu aku jahat sama kamu, Ben, tapi ini aku lakukan karena--" Dia tak melanjutkan kata-katanya. Jujur, kadang dia merasa bersalah atas perbuatannya. Hidupnya mulai terancam saat Beno mulai datang menghantuinya secara terus-terusan.

"Sampai kapan aku begini?" Dia meneteskan air mata. Sungguh, kadang dia sangat menyesali perbuatannya. Kadang dia berpikir kenapa dia melakukan hal sekeji itu pada orang yang dicintainya. Dia menghela napas, berusaha menenangkan pikirannya yang gundah. Dia tidak menyangka akibat perbuatannya, diabkehilangan Beno untuk selama-lamanya. Andai dia berpikiran luas, semua tak akan terjadi pada hidupnya. Andai dia lebih sabar dalam menguasai egonya, semua tak akan terjadi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro