Sebuah tuduhan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Irwan, Nuno, Hamdan dan Jamet duduk di depan teras masjid. Ya, mereka usai melaksanakan sholat dhuhur berjamaah di masjid. PKL dimulai pukul satu, sedangkan sekarang baru menunjukkan pukul satu kurang lima belas menit . Masih ada lima belas menit tersisa sebelum PKL dimulai.

Seketika Sarwan mendatangi keempat remaja itu sambil menyedekapkan kedua tangannya di depan dada. Sikap Sarwan yang begitu seperti terlihat angkuh. Irwan hanya mengernyitkan dahi. Dia tidak tahu apa maksud Sarwan dengan gayanya yang demikian.

"Lo kenapa?" Irwan bertanya sambil berdiri. Sementara Nuno, Hamdan dan Jamet masih tetap duduk. Mereka juga turut memandangi sikap Sarwan yang mukanya tidak mengenakkan.

"Gue tahu, lo kemarin nemuin Sari, kan?" Sarwan mengangkat sebelah alis. "Ngapain sih kalian peduli sama pengkhianat itu? Gue tahu, Sari celaka, kan? Udah lah, biarin aja. Anggap aja itu pelajaran buat dia!"

Sorot mata Sarwan berubah marah. Dia tidak suka teman-temannya itu memedulikan Sari yang sudah menyakiti hati Beno. Sarwan paham kalau masalah Sari dan Beno tidak ada urusannya sekali dengan mereka. Tetap saja, Sarwan tidak suka.

"Gue cuma kasihan sama Sari, " jawab Irwan. "Udah itu aja."

"Jangan-jangan lo, ya, yang nyelekain Sari?" Tiba-tiba Nuno menuduh tanpa jelas. Cowok itu berpikir bisa saja Sarwan menyelakai Sari karena dia sakit hati gadis itu telah menyakiti hati Beno.

Amarah Sarwan langsung bergejolak. Dia langsung menarik lengan Nuno menuju kamar mandi sebelah masjid.

Irwan, Hamdan dan Jamet yang khawatir dengan Jamet pun menyusul kedua remaja itu. Mereka tidak menyangka ucapan Nuno membuat Sarwan marah.

"Maksud lo nuduh gue nyelakain Sari apa, hah?" Sarwan mendorong tubuh Nuno ke tembok. Tak ada ruang lagi bagi Nuno untuk bergerak.

"Apa?" Sarwan mendekat, lalu memukulkan sebelah tangannya ke tembok. Nuno hanya bisa diam, dia tidak bisa berkutik apa-apa. Sebenarnya, Nuno tidak asal tuduh, semua ada fakta yang ada.

"Gue nggak asal tuduh, kok, " jawab Nuno, ketus. "Bisa aja lo yang nyelakain Sari, karena lo benci sama dia. Karena dia udah nyakitin Beno." Nuno mulai kesal dengan sikap Sarwan. Dia mendorong tubuhnya sampai tersungkur di tanah.

Nuno menghampiri Sarwan, menatapnya tajam. "Jangan macam-macam lo sama gue, ya!" serunya. "Gue dikira takut sama lo?" Nuno mengcengkram kerah baju lawab bicaranya. "Urusan kita selesai."

Setelah berucap, Nuno berlalu begitu saja meninggalkan Sarwan yang masih terkapar lemah. Saat itu, Irwan dan Nuno hendak menolong Sarwan, tapi tindakan itu dihalangi oleh Nuno.

"Udah, ayo ke lab, nyelesaiin proker PKL, " ucap Nuno dingin. Dia berjalan terlebih dahulu. Mau tidak mau, Irwan, Hamdan dan Jamet mengekori Nuno di belakang.

Hamdan dan Nuno menuju laboratorium,  sedangkan Irwan dan  Jamet menuju puket 3.

"Lo bakalan nyesel nuduh gue! Kalian bakal nyesel!" Sarwan bangkit dan berlalu begitu saja.

Tatapan sebal itu masih menghantui Nuno saat kegiatan menjadi asdos sudah dimulai. Dosen sudah memberikan materi,  para mahasiswa mengerjakan prakium.  Nuno dan Hamdan mengawasi jalannya praktikum sembari mengoreksi laporan para mahasiswa.

"Lo kenapa? Mukanya lecek gitu," ucap Hamdan.

"Masalah Sarwan, " bisik Nuno.

Hamdan membentuk membulatkan jari jempol dan telunjuknya. "Udahlah diemin aja si Sarwan itu."

Nuno mengangkat bahu.  "Ngapain juga dia ke kampus?  Kan harusnya PKL dia.  Dia PKL di mana?"

Hamdan menggelengkan kepala.

Seusai PKL selesai, 
Irwan, Nuno, Jamet dan Hamdan janjian di lobby.  Ada hal yang akan mereka bahas.  Keempat remaja itu sudah sampai lobby.  Mereka duduk di kursi panjang yang ada di sana.

"Lo masih kesel, No?" tanya Irwan, berhati-hati, takut menyinggung perasaan temannya.

"Jelas, gue kesel sama Sarwan!" Nuno mengepalkan tangannya erat. "Kenapa dia langsung narik gue seenak jidat dia."

Irwan menepuk-nepuk bahu Nuno, bermaksud untuk menenangkan temannya itu. "Gue tahu lo baru kesel, kok, " jawab Irwan. "Tapi, mungkin tuduhan lo nggak ada artinya, No. Sori, gue nggak maksud belain Sarwan, kok."

Nuno membalas menepuk bahu Irwan perlahan. "Gue rasa Sarwan ada yang sengaja dia tutup-tutupi dari kita, Wan."

"Gue rasa juga gitu. Bener apa yang dikatain Nuno, Wan, " sahut Hamdan. "Coba deh, lo pikir, kenapa dia seneng itu lihat Sari celaka?"

"Gue tahu, Ndan, No. Tapi kita juga nggak bisa nuduh tanpa bukti," jawab Irwan. "Pelaku yang bunuh Beno aja masih abu-abu."

"Cerdik banget yang bunuh Beno emang. Gue akuin itu, kok," timpal Jamet.

Irwan membenarkan perkataan teman-temannya. Dia sekarang bertambah bingung bagaimana cara untuk melacak pembunuh Beno. Pelaku ini sangat cerdik, jejaknya sangat susah dilacak, tapi Irwan yakin dia ada di sekitar kampus. Terbukti orang yang menyalakai Sari berada di tempat dekat kampus. Ya, bisa saja dia mengawasi setiap gerak-gerik orang yang berhubungan dengan Beno.

"Pokoknya kita harus tetap hati-hati, Guys, " saran Irwan. "Gue juga mikir dia nggak hanya akan celakai Sari, tapi kita semua."

"Gue jadi takut."

"Gue juga."

Irwan paham risikonya atas penyelidikannya ini. Apa boleh buat dia sudah melangkah terlalu jauh, sangat disayangkan jika berhenti di tengah jalan. Apa lagi arwah Beno selalu datang meminta tolong.

"Tadi malam arwah Beno ke kos gue, " ucap Irwan, menceritakan kejadian tadi malam.

Mata Nuno dan Hamdan terbelalak kaget. Keduanya tidak menanggapi, mendengar cerita Irwan bulu kuduk mereka berdiri.

"Tolong."

Suara lirih itu terdengar di telinga Nuno dan Hamdan. Mereka saling adu pandang.

"Lo denger suara tolong, nggak?" bisik Nuno pada Hamdan.

Hamdan mengangguk. "Gue denger, No. Jangan-jangan arwah Beno di belakang kita lagi!'

"Kita balik aja, yuk, No," ajak Hamdan. "Udah mau maghrib juga."

Nuno dan Hamdan berpamitan pulang. Langkah mereka terkesan terburu-buru.

"Kok kalian balik cepet. Kenapa?" tanya Irwan saat Nuno dan Jamet tepat berada di tepat pintu lobby, keduanya menoleh. "Udah mau maghrib, suasana kampus udah serem. Bye."

Keduanya berlari keluar kampus dengan langkah tergesa-gesa.

"Udah, yuk, Wan, kita pulang." Jamet menarik tangan Irwan seperti anak kecil yang merengek meminta permen.

"Oke. " Irwan berjalan terlebih dahulu diikuti Jamet di belakangnya.

Jamet terkekeh, "Gue tadi nggak nyangka Nuno bisa sebringas itu."

"Sama sih, gue juga, kok."
Baru pertama kalinya Irwan melihat sikap Nuno yang beringas.

Sampai pertigaan jalan, Irwan dan Jamet menghentikan langkah. Seperti ada orang yang mengintai mereka dari kejauhan.

"Met, lo ngerasa ada yang ngikutin kita?" Irwan menoleh ke belakang, seperti ada yang mengintai.

"Gue juga ngerasa gitu, Wan." Jamet mengendap-endap, dia merasa ada yang aneh dengan semak-semak yang ada dekat bangunan tua. Bangunan tua dekat pertigaan memang sudah lama tidak dihuni. Memberikan kesan menyeramkan.

Jamet membuka semak-semak itu. Ternyata hanya ada seekor kucing yang sedang memakan tikus dari hasil buruannya.

"Kucing, Wan, " ucap Jamet.

"Oh, kucing, gue kira apaan."

Irwan dan Nuno melanjutkan langkah kakinya menuju kos mereka yang tingkal beberapa langkah lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro