14. Video Call sama Popo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy Reading, hope you enjoy this part ya🥰

🍡🍡🍡🍡🍡

Sekolah sedang libur lebaran selama dua minggu, dan ini baru hari ketiga di minggu pertama. Pun kantor Caesar dan Dapoer Buya yang sedang libur lebaran juga. Kalau liburan panjang begini, yang paling bahagia ya Abang Daffin sama Mas Ade karena bisa bangun siang, seperti hari ini jam sembilan pun dua anak lelaki itu masih belum keluar kamar. Si Princess, Ceden, sudah keluar kamar. Lebih tepatnya dia terpaksa bangun karena Buya-nya sudah buka gorden sehingga cahaya matahari yang masuk menyilaukan mata.

Deana menggandeng Ceden untuk turun tangga. Sebenarnya si bungsu bisa turun tangga tapi tetap harus pegangan, belum selancar Mas Ade yang bahkan sudah bisa naik turun tangga sambil lari.

Setelah sampai anak tangga paling terakhir, Deana melepas gandengan tangan anak bungsunya, dia langsung berjalan ke Dapur melewati suaminya yang sedang duduk di ruang makan yang sedang video call sama Popo yang lagi ngomongin kerjaan. Dia ngga pernah ikut campur kalau Popo, suami bahkan kedua adik kembarnya ngobrolin kerjaan karena dia ngga mengerti apa yang dia bahas, dipikirannya dia cuman jalanin usaha dan urusin keluarga kecilnya aja.

"Ayaaaah..." panggil Ceden sambil mengucek matanya.

Mendengar suara bungsunya, Caesar memberhentikan obrolan dengan mertuanya sejenak dan menoleh ke samping kirinya.

"Haiii, Cantiknya Ayah udah bangun," ucap Caesar lalu menarik Ceden untuk duduk di pangkuannya. Bisa terlihat dari muka bungsunya yang setengah sadar itu, pasti bangunnya bukan dengan senang hati.

Ceden membuka matanya karena ada sinar yang sangat terang menerobos matanya. Sedetik dia membuka mata sambil melotot, dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Oopsi, Ayah lagi telpon teman," ucapnya.

"Oopsi," ulang Caesar sambil tertawa. "Ini Popo, De..."

Ceden mengangguk serius, seakan paham, dan hal itu justru mengundang tawa Popo dari layar kaca. "Oom Popo Temen Ayah?" Ceden memastikan.

Deana yang sedang berjalan dari arah dapur dengan membawa mangkok berisi susu putih dan sereal warna-warni. Dia meletakkan mangkok sereal di meja makan yang biasa digunakan untuk bungsunya, lalu ia melotot mendengar ucapan anak bungsunya. Bisa-bisanya bapaknya dikira temen suaminya. "Duuut, itu Popo."

Ceden menoleh ke Buyanya. Ia minta turun dari pangkuan sang Ayah dan mengikuti langkah Buyanya untuk duduk di seberang Ayah, dia minta dinaikkan ke kursi makannya dia yang biasa dia pake untuk makan tanpa disuapin. "Iyaaa," anak itu menganggukan kepalanya lagi. "Temen keja Ayah?"

"Bukan dong," ucap Buya. "Kasih tau Yah, Popo siapa," ucap Deana sambil mulai menyiapkan roti untuk sarapan untuk suaminya.

"Geser dong, Popo mau liat Dede makan," pinta Popo.

Caesar menggeser ponselnya supaya lebih mendekat ke arah Ceden yang melirik sedikit ke arah ponsel. Dengan usaha maksimal ia mencoba menggapai ponsel Ayahnya untuk menyentuh layar ponsel, supaya muka dia yang lebih keliatan besar. Ayah dari anak itu tertawa melihat kelakuan anaknya yang bukan telponan, malah makan sambil ngaca.

"Popo itu Ayahnya Ayah sama Ayahnya Buya, De," jelas singkat Caesar.

Sedikit berdesir hati Rangga saat Caesar menyebut dirinya Ayah dari dia dan anak sulungnya. Dia bahagia, karena tidak hanya disebut 'Ayahnya Buya'.

Caesar mengetuk layarnya kembali untuk menampilkan wajah Popo lebih besar, agar anak bungsunya bisa memerhatikan dan mengenali wajah Popo.

Pergerakan tersebut mendapat lirikan sinis dari Ceden, si kecil hendak protes namun tiba-tiba matanya melotot. "Ini yang ada dumah Mas Abi!"

"Nahhh..." ucap Caesar dan Deeana bersamaan.

"Ayahnya Mas Abi?" tanya Ceden memastikan.

Deana memberikan roti gandum berisi selai kacang dicampur selai stroberi untuk suaminya.

"Thank you, Buya," ucap Caesar.

"Ayah ... Ini Ayahnya Mas Abi?" ulang Ceden karena pertanyaannya dua detik lalu belum direspon."

"Bukan sayang, Popo ini Ayaahnya Ayah sama Ayahnya Buya, kakeknya Mas Abi." Caesar menjelaskan dengan sabar.

Ceden menoleh ke Ayah dan ponsel Ayahnya, tanpa menggubris ia menyentuh layar ponsel Ayahnya lagi untuk melihat mukanya.

"Popo apa kabar?" Deana mengambil ponsel itu dari hadapan anaknya untuk ngobrol sama Poponya dan membiarkan suaminya untuk makan terlebih dahulu.

"Baik, disana semua sehat-sehat kan?" tanya Poponya memastikan, sebelumnya ia juga sudah menanyakan ini ke anak menantunya di awal telponan.

"Sehat dan gembul," Deana terkekeh dengan jawabannya sendiri.

"Mas Abi mana?" tanya Ceden tiba-tiba.

"Apa sayang?" ucap Popo, ia kurang mendengar apa pertanyaan cucunya, tapi dia mendengar suara samar-samar.

"Mas Abi mana?" ulang Ceden.

"Mas Abi masih bobo, sayang," jawab Popo.

Deana kembali meletakan ponsel suaminya di hadapan si bungsu, biar mereka yang melanjutkan obrolan, sedangkan dia duduk di sebelah bungsunya. "Dede tambah ngga makannya?"

Ceden menggeleng.

"Dede makan apa?" tanya Popo.

"Celeal wana-wani," jawab Ceden.

"Tunjukin De serealnya, ini kaya yang punya Mas Abi loh Po," ucap Deana.

Popo tersenyum melihat wajah galak cucu perempuan satu-satunya waktu disuruh nunjukin makanannya. Ia seperti de javu ke masa-masa Deana masih jadi anak satu-satunya alias saat si kembar belum lahir, dan dulu anaknya itu sering dijailin sama adiknya – Muna. Dan kurang lebih muka yang Deana pasang ya muka sinis kaya yang Ceden tampilin begini tiap ketemu sama Muna.

"Abang sam Mas Ade masih bobo ya, de?"

Ceden mengangguk. Lalu sedetik kemudian dia tersadar akan pertanyaan itu. "Popo tau Abang sama Mas Ade?"

"Tau dong," jawab Popo, dia bingung kenapa dapet pertanyaan begitu.

"Penah liat?" Ceden memastikan.

Popo mengangguk di layar.

Tenang, Ceden pernah ketemu sama Popo, kok. Jangankan Popo, Papa Yoyo, Mama Joan, Yangde – Eyang Ade – Muna pun sudah pernah ketemu, bahkan setiap hari telponan tapi yang video call-an memang lebih seringnya sama Mas Abi aja, paling video call sama Popo & Bubu seminggu sekali atau dua kali, lah. Tapi karena ngga ketemu setiap hari, jadi Ceden selalu lupa muka orang-orang.

"Pernah dong, waktu itu Abang, Mas sama Dede ke rumah Mas Abi kan ada Popo juga," ucap Popo.

Ceden manyun untuk merespon, dia kurang percaya, tapi ngga mau jawab apapun.

"Buyaa, Dede dah celecai," ucap Ceden.

"Uwaaah, abis," ucap Deana sambil mengangkat mangkok dan menunjukkan ke arah kamera, memperlihatkan ke Poponya kalau si bungsu makannya habis. "Hebat banget anak Buya sama Ayah nih..."

"Wah, cucu Popo yang paling cantik keren, makannya habis," puji Popo.

Ceden menoleh ke Ayahnya, karena hanya Ayahnya yang belum memuji dia.

Mengetahui arti pandangan – lebih ke pelototan – anak bungsunya yang menunggu dipuji karena makannya habis, dia langsung melontarkan pujian. "Anak Ayah hebat..."

Setelah mendengar pujian itu, barulah Ceden tersenyum.

"Aduh, si anak word of affirmation."

Caesar dan Popo tertawa mendegar ucapan Deana, sedangkan Ceden yang belum paham ikut tertawa karena dikira orang-orang ketawa karena dia tersenyum.

"Buya ... Dede mau bobo lagi ke tempat Abang," ucap Ceden.

Ya begitulah rutinitas Ceden sejak tiga hari terakhir, setelah bangun terpaka dan sarapan sereal bulat warna-warni, dia akan langsung minta tidur lagi di kamar Abang sama Mas Ade, karena di kamar itulah gorden belum dibuka sama Buya.

"Yaudah gih, bobo lagi," ucap Deana sambil menunrukan anaknya dari kursi makannya. "Dadah dulu ke Poponya..."

"Dadahhhh..."

"Dadah sayang..."

🍡🍡🍡🍡🍡

Ayo ngaku, libur lebaran pada naik berapa kilo nih? Me first, aku naik 3kg😁

Dear Mocci 1...

Dear Mocci 2...

Dear Mocci 3...

Dear Ayah Mocci...

Dear Buya Mocci...

🦋16.05.2022🦋
Ta💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro