Evasion (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Detik jam terus berlalu. Putarannya yang lambat membuat suasana di dalam gudang itu menjadi kalut. Kedua orang yang masih terikat di sana tak mengucapkan sepatah kata. Hanya suara jarum jam yang terdengar.

Bryan terus menggerutu dalam hati. Dia tak bisa berpikir. Rencana yang dia buat akan terendus oleh kepala sekolah. Keringatnya mengucur deras. Tak henti-hentinya dia menelan ludah demi menenangkan diri.

Sudah menjadi faktor penting baginya semenjak memasuki kelas 8. Bryan paham eksistensi kelas tersebut diperuntukkan bagi mereka yang memiliki bakat paling tinggi di antara semua murid. Bryan yang awalnya termasuk dalam anggota kelas 1-1, harus berjuang lebih keras dari murid yang lain.

Tiga bulan setelah pengumuman. Usaha keras Bryan tak mengkhianati dirinya. Bryan mendapat kunci emas untuk memasuki kelas 1-8. Dia sempat menertawakan temannya yang tidak lolos.

Begitu Bryan membuka pintu. Bryan terkejut dengan aura kompetisi yang begitu kuat terpancar dari kelima murid pertama. Tatapan mereka layaknya pedang tajam yang menyayat kulit semangat tiap penghuni baru kelas 1-8. Terutama Bryan yang mendapat tekanan paling besar.

Empat dari lima orang itu memancarkan aura intimidasi paling kuat. Tiap kegiatan belajar dimulai. Atmosfer kelas itu benar-benar menyesakkan dada. Siapa yang lemah, dia yang akan tersingkir. Namun anehnya hanya ada satu murid yang duduk tenang. Dia bahkan tak memerhatikan pelajaran yang diberikan. Kerjaannya hanya tidur, menguap, sesekali mendapat gebukan buku dari gadis berkacamata tebal. Dan yang paling aneh adalah anak itu selalu mendapat nilai tinggi tiap ujian berakhir.

Bryan memegangi kepalanya, pusing. Saat wali kelas mereka, Bu Rinjani membentuk struktur kelas. Si anak aneh itu menunjuk Bryan menjadi ketua kelas. Tiap pasang mata segera menatap Bryan. Tatapan itu berupa menertawakan, ancaman, bahkan aura membunuh di dalamnya. Sejak saat itu Bryan terpaksa menjadi ketua kelas 8. Sejak itu pula Bryan mulai membenci kelasnya sendiri.

Lamunannya terbuyarkan kala Lana berdiri di hadapannya. Tangannya menepuk kepala Bryan ringan. Terukir senyuman yang membuat Bryan teringat hari-hari pertamanya di kelas 8.

"Kau tahu? Aku sudah tahu orang di balik kejadian ini."

Lana melangkah menaiki kursi dan menuju ke atas meja. Lana berdiri seraya berkacak pinggang. Dia berjongkok menghadap Bryan.

"Orang itu adalah kau, kan?"

"Apa maksudmu? Aku gak ngerti," elak Bryan.

Lana kembali tersenyum. Telunjuknya ia taruh di dahi. Dengan sedikit tekanan, dia mencoba memikirkan sesuatu.

"Tidak banyak yang tahu bahwa Icus memiliki alergi. Kami berlima yang memang penghuni awal kelas 8 telah sepakat untuk mengatakan kelemahan masing-masing. Semua demi sportifitas, jadi kami tidak akan menyerang titik lemah seseorang."

Lana berhenti bicara. Dia memperbaiki posisi jongkoknya yang terlihat melelahkan.

"Terus, kenapa ada orang di luar kelas 8 yang tahu alerginya Icus? Karena di kelas kita ada yang berkhianat," tukas Lana.

"Dan kau menuduhku, Lan?" tanya Bryan tidak terima.

"Tentu saja tidak." Lana menjawab dengan cepat. "Karena itu bukan tuduhan semata. Seseorang memiliki bukti itu."

Bryan menelan ludahnya. Dia tidak menyangka ada orang yang bergerak dan memancing dirinya. Dengan nada ragu Bryan bertanya, "O-Ovin?"

Lana semakin lebarkan senyumnya. Dia bangkit dari posisi jongkoknya. Menuju pintu gudang yang tampak terkunci dari luar. Lana melompat dari atas meja. Sebelum pergi, Lana menengokkan kepalanya ke belakang.

"Kau salah memilih lawan, Bryan. Sayang sekali. Sebentar lagi kelompokmu akan bubar."

Lana membuka pintu tersebut tanpa kesulitan. Langkahnya tak lagi terdengar di telinga Bryan. Dalam ruang tersebut, Bryan berteriak kencang sembari melepaskan tali yang mengikat tangannya. Usahanya untuk menjebak Lana gagal total. Dia tidak menyangka kalau Lana akan menyadari gerak-geriknya sedari dulu.

"AAAAAAAA!!"

****

Di luar gerbang sekolah ketika Lana hendak mengayuh pedal sepedanya. Billy yang tengah bersandar di pagar seperti menunggu kedatangan Lana. Meski malam telah larut, perawakan Billy tak menunjukkan dia lelah menunggu.

Lana menghentikan langkahnya. Sebuah senyuman dia lemparkan pada Billy. "Kerja bagus," ujar Lana.

"Gue gak nyangka lo bakal manfaatin adik gue!" keluh Billy yang menunjukkan sisa surat dari loker Lana.

Lana terkekeh kecil. "Bukannya ini menguntungkan? Win-win."

"Terus apa yang bakal lo lakuin selanjutnya?" tanya Billy serius.

"Haruskah aku menjelaskan hal-hal detil seperti itu? Jika kau saja sudah tau apa jawabannya." Lana meregangkan tangannya lebar-lebar. "Yang kubutuhkan hanya informasi. Tidak lebih, tidak kurang. Karena penghukuman datang bukan dariku. Tapi dari beliau langsung."

"Menurut lo, apa yang lo lakuin ini gak salah?" Billy tampak ragu akan pilihan yang dia buat.

"Perihal benar atau salah itu tak ada yang tau lagi, Bil. Aku hanya menjalankan tugasku agar tetap berada di sekolah ini. Juga ada satu hal lagi yang harus kukatakan padamu."

Lana mendekati Billy dan jongkok di posisi kaki Billy yang pernah cedera.

"Jika kau bermain berlebihan lagi di pertandingan selanjutnya. Aku tak bisa jamin kau akan terus berlari di lapangan. Kakimu sudah mencapai batas. Mungkin hanya cukup untuk bermain dalam dua quarter."

"Apa yang lo tau! Gue yang paling paham sama diri gue sendiri!" bantah Billy.

"Ngomong-ngomong, Pak Brata juga tau akan masalah ini. Bukan aku yang membocorkan hal tersebut."

"Gue tetap bertahan sama impian itu. Meski gue tau, kalau mimpi itu diambang keruntuhan."

"Kau tau kapan dan di mana bisa bertemu denganku selanjutnya."

Lana mengacungkan telunjuknya tepat di depan batang hidung Billy. Setelah meraba-raba jawaban yang akan dibalas oleh Billy. Lana naiki sepedanya dan mulai mengayuh pedalnya sedikit demi sedikit.

Tujuan Lana hanya satu untuk kali ini. Dia terus mengayuh dengan kencang meliuk-liuk di antara pengendara motor. Lana lebih suka jika ia memacu sepedanya di tengah jalan daripada di atas trotoar. Baginya melaju bersama pengendara lain menambah akselerasi sepeda yang ia naiki dengan memanfaatkan mereka sebagai penghalang angin.

Sesampainya di jalan menuju kawasan perumahan elit. Lana mengatur napasnya yang sedikit terburu-buru. Lima hingga sepuluh menit ia habiskan untuk berputar-putar mencari rumah yang dia cari. Nyatanya perumahan tersebut begitu luas dan tak sedikit rumah dengan model yang sama.

Mata Lana memicing. Dia baca satu per satu plat nomor rumah yang terbaca jelas. Lana hembuskan napas dalam-dalam.

"Sampai juga akhirnya."

Lana berhasil menemukan rumah yang dia cari. Setelah turun dari sepedanya. Lana memencet bel yang berada di pinggir pagar.

Lima menit menunggu. Pagar rumah tersebut terbuka. Salah satu penghuni mengeluarkan kepalanya sembari tersenyum saat mengetahui Lana berdiri kesetanan di sana.

"Kenapa harus sekarang? Kenapa tidak besok saja di sekolah?" tanya pria itu sembari mengusap dagunya.

Lana membuka telapak tangannya yang berarti ada lima orang yang ingin dia bicarakan.

"Bryan, Barhan, Risa, Dino, Novan. Itu yang saya tahu. Sisanya itu terserah Bapak, mau diapakan mereka. Tugas saya selesai."

"Alasannya? Bukankah Bryan ketua kelasmu?" tanya pria itu sedikit mendekte.

"Festival olahraga, balas dendam, dan ingin menjatuhkan yang lain demi mendapat nomor satu di sekolah," ujar Lana mengakhiri laporannya yang mendadak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro