Evasion (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kembali ke pagi sebelum Lana tiba-tiba menghilang.

Bella mendapati tiga buah amplop misterius di dalam loker miliknya. Ekspresi terkejut jelas tergambar. Dia perhatikan sekelilingnya dengan cermat. Tak ada hal-hal mencurigakan.

Antara takut juga penasaran. Tangannya dengan ragu menyobek sisi amplop dengan tulisan 'jangan baca ini' yang tertera di depan amplop. Dia mendapati sebuah surat juga foto seseorang di dalamnya. Setelah mencari spot kosong yang tak akan dilewati orang lain. Bella memberanikan diri membaca surat tersebut.

'Pilihan yang bagus. Karena sudah membuka amplop ini. Kalau begitu tanpa basa-basi lagi. Aku tahu semua rahasiamu, juga rahasia saudara kembarmu. Nasib kalian ada di tanganku. Aku tak akan menyebarkan informasi ini asalkan kau mengikuti persyaratan yang kubuat. Satu, kau bebas memilih di antara dua amplop yang tersisa, itu tak akan mempengaruhimu sama sekali. Dua, menyelinaplah ke tempat ganti laki-laki dan masukkan loker tersebut pada target yang sudah tertera. Tiga, saat istirahat nanti pergilah ke kantin dan lihat orang paling mencurigakan. Kasih peringatan padanya. Setelah membaca surat ini, sobek kertasnya dan hilangkan jejak-jejak surat ini.
Semoga harimu menyenangkan.'

Bella meneguk ludahnya. Buru-buru ia merobek surat itu sekecil mungkin. Napasnya memburu. Tanpa pikir panjang Bella berlari menuju pos satpam.

"Pak Sokip!"

Pria dengan umur berkisar 40 tahun itu tersedak saat meminum teh paginya.

"Ish. Ada apa sih, neng? Pagi-pagi dah bikin kaget aja."

"CCTV Pak. CCTV!" pinta Bella tergesa-gesa. 

"Abis liat setan?"

"Buruan."

"Iya-iya sebentar."

Pak Sokip memeriksa layar televisi di sampingnya. "Mau dari jam berapa neng? Emang apanya yang hilang?"

"Aku gak tau. Dari kemarin coba, Pak?"

"Yah." Nada kecewa keluar dari mulut Pak Sokip. "Susah kalau gak tau dari jam berapanya. Masa iya harus periksa satu-satu. Bisa telat nanti Neng Bellanya."

"Aduh, gak bisa banget ya?"

"Maaf, kalau gak spesifik nggak bisa. Emangnya ada apa sih?"

Bella menendang kerikil tanda kekecewaannya. Raut mukanya lesu, menyiratkan sebuah kekhawatiran berlebih.

"Apa mereka bikin ulah lagi?" tanya Pak Sokip seraya meminum tehnya kembali. "Mereka sering bikin ulah memang."

"Mereka? Siapa Pak?"

"Anak kelas 3-1. Namanya Nando. Dia suka malakin anak-anak lain. Bapak suka heran, kenapa gak ada yang mengadu ke kepala sekolah? Kadang juga sampai neror-neror gitu."

"Kenapa Bapak bisa tau?"

"Kan anak-anak asrama banyak yang sering curhat sama saya. Jadi sedikit banyak saya tau keluhan mereka-mereka."

Bunyi bel masuk terdengar. Pak Sokip segera menyudahi dan mengusir Bella agar cepat ke kelas. Bella yang masih takut dan penasaran hanya bisa pasrah atas kejadian ini. Bella berjalan dengan kekalutan sampai Billy menghampirinya dari kejauhan. Bella tak sedikitpun meragukan saudara kembarnya. Tangannya mencengkram di dalam saku. Apa yang terjadi padamu, Bil?

***

Hari berlalu begitu cepat. Pelajaran matematika yang membosankan tanpa terasa telah terlewat. Bella membaringkan tubuh bagian atasnya di meja. Dia mereka ulang kejadian tadi pagi di pikirannya. Tentang surat, Billy yang mendadak aneh, juga keterlibatannya pada hal yang tak dia ketahui.

Beberapa teman kelasnya memandang Bella ngeri. Aura mencekam keluar dari segala sisi. Jangankan untuk mengajaknya bicara. Hanya lewat di sampingnya, dia akan mendapat lontaran kutukan dari mata Bella.

Brak!

Bella menggebrak meja keras. Langkahnya ia seret menuju kantin seperti yang surat itu perintah. Teman sekelasnya memalingkan wajah, tak ada yang mau mengganggu gadis itu.

Kelas Bella, kelas 2-2. Terletak tak jauh dari kantin. Hanya perlu berjalan turuni tangga selatan, dia sudah sampai pada kantin yang cukup lapang.

Meski surat itu mengatakan untuk cari orang mencurigakan. Kondisi kantin kali ini sangat ramai. Cukup sulit baginya temukan orang tersebut. Bella putuskan memesan soto ayam. Ia bawa soto tersebut ke salah satu meja yang kosong di tengah.

"Permisi. Gue numpang duduk di sini."

Bella letakkan soto tersebut di meja. Bersebelahan dengannya, beberapa murid lain memandang aneh. Tanpa rasa peduli, Bella teruskan kegiatan makannya. Sampai sudut matanya menangkap eksistensi yang mencurigakan. Itu Lana.

Bella terus perhatikan ke setiap arah mata Lana memandang. Seperti serigala mencari mangsa. Itu yang dia pikirkan.

Lima belas menit berlalu. Mangkok soto milik Lana telah habis sejak lama. Namun dia tak kunjung pergi. Bella menyadari ada yang aneh dengannya. Tak jarang Bella sering berpapasan dengan Lana. Dan setiap ada Lana di situ ada Hendra. Namun hari ini, Lana sendirian. Tak ada tanda-tanda Hendra di sekitar Lana.

Bella putuskan tuk menghampirinya. Saat itu juga Bella akhirnya paham. Foto yang ada dalam surat. Target dari orang yang menerornya adalah pemuda itu. Lana.

Bella menepuk pundak Lana pelan. Reaksi Lana yang berlebihan membuatnya sedikit menahan tawa. Dia pun duduk di kursi kosong seberang Lana.

"Sendiri?" tanya Bella penasaran.

"Sama kamu."

Bella hirup udara dalam-dalam. Lalu ia sampaikan pesan dari surat itu pada Lana.

"Gue peringatin satu hal. Yang kemarin itu hanyalah awal."

Merasa sudah cukup. Bella pergi tinggalkan pemuda itu yang semakin kebingungan.

Kepalang tanggung. Bella pergi dengan secepat kilat. Setelah cukup jauh dari kantin. Dia berlari menuju ruang ganti laki-laki dan mencari loker Lana.

Bella tengah dikejar oleh waktu. Dia tak ingin ada orang lain mengetahuinya di dalam sekarang. Dengan tergesa-gesa dia selipkan salah satu surat ke dalam loker lana melalui celah di bawah pintu loker. Keringatnya mengucur deras. Bella tinggalkan ruangan itu setelah memeriksa bahwa tak ada orang melintas.

Ia atur kembali napasnya yang kian memburu. Tangannya yang masih gemetar merobek amplop ketiga. Rasa was-was menghampiri. Namun yang terjadi biarlah terjadi. Bella akan ambil resiko apapun atas perbuatannya.

'Selamat Bella. Keberuntungan ada di pihakmu. Tapi jangan anggap enteng hal ini, hahahahaha. Ya, karena surat itu telah terkirim. Aku kan tepati janjiku. Aku tak akan sebarkan privasimu dan rahasia kecil Billy. Aku akan menutupnya rapat-rapat. Terima kasih atas kerja samanya.

Apa? Kau ingin tahu siapa aku? Hahaha. Kau akan mengetahuinya segera. Ataukah butuh waktu sedikit lebih lama? Hmmm, menarik. Coba tebak siapa aku?'

Begitu selesai membaca. Bella robek surat itu dengan amarah. Dia merasa kesal karena telah dipermainkan. Matanya nanar menatap langit yang sedikit berawan.

Bella berteriak kencang seperti orang gila. Dia tinju udara yang tak salah apa-apa. Yang dia khawatirkan bukanlah nasibnya. Melainkan saudaranya, Billy.

Bella tahu betul kelemahan Billy. Apabila kelemahan itu tersebar. Maka presentase kesempatan Billy untuk menjadi pemain basket nasional tak akan beranjak dari angka nol. Selamanya Billy tak akan bisa meraih impiannya. Impian mereka berdua sedari kecil. Karena itulah Bella mengunci pintu hatinya rapat. Pikirannya fokus pada satu hal. Fokus dalam mendukung saudaranya lebih dari apapun. Bahkan jika dia harus bersekutu dengan musuhnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro