Kasus pertama (4)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pemuda itu memilih untuk menyusuri taman sebelum kembali ke gym basket. Ia terus menerka-nerka. Kenapa dia bisa sepatuh itu padanya?

Apa karena dia lebih jago darinya? Jawabannya tidak.
Apakah karena dia termotivasi oleh niat gigih orang itu? Jawabannya juga tidak. Yang ada malah adik kembarnya—Bella, terlalu berobsesi pada orang itu.
Terus apa masalahnya? 

Sorakan para junior terus mengalun sepanjang jalan yang dia telusuri. Sesekali dia melambaikan tangannya dan melempar senyum pada mereka. Alhasil, sorakan mereka semakin gencar.

Sesampainya di dalam gym. Di bawah ring basket lapangan B, Bella menatap dirinya dengan lekat. "Bolos latihan lagi?" telisik Bella.

"Gak kok. Ada urusan sedikit."

Bella berdiri, dia lemparkan bola itu ke arah Billy. Tangan Bella bergetar ketika aura panas selimuti Billy. "Najis. Bohong banget."

"Suer! Aku emang lagi ada urusan tadi."

"Sama siapa?"

"Bukan urusanmu."

"Mereka 'kan?"

Billy menempatkan telunjuk kirinya di depan bibir. Tanda bahwa dia tak ingin ada informasi lagi yang meluber. Bisa gawat kalau ada yang tahu. Karena itulah Billy coba untuk bergerak seminimal mungkin. Tapi tetap saja, yang namanya ikatan batin anak kembar saling bertautan.

"Kenapa sih? Kamu disuap sama mereka?"

"Bukan gitu."

"Terus alasannya apa?! Apa mereka tahu rahasiamu? Apa mereka tahu kalau kakimu cedera? Apa? Kasih penjelasan!"

Billy terdiam seribu bahasa. Daripada menjawab pertanyaan bodoh adiknya. Billy lebih memilih untuk melayangkan bola ke dalam ring. Dia lebih suka mendengar suara khas bola memasuki keranjang daripada berkutat pada persepsi Bella.

Seiring suara bel pertanda kelas siang dimulai. Para murid kelas basket memasuki gym dan terbagi menjadi enam bagian dan terpisah di lapangan yang berbeda. Pengelompokan terbagi atas kelas dan jenis kelamin. Bella yang masih geram meracau tanpa henti. Di mata murid yang lain. Hari ini Bella tampak lebih dingin dari biasanya.

Billy menyingkir ke sudut lapangan. Badannya bergerak ikuti tiap instruksi pelatih. Dia lakukan pemanasan sebelum pelatihan keras dimulai.

Kenapa disebut pelatihan keras?

Billy selalu menganggap seperti itu. Satu saja murid gagal mengikuti intruksi. Maka mereka akan mengulang dari set awal. Meski sampai jam pelajaran selesai. Mereka akan terus mengulang ke set pertama bahkan sebelum menyentuh sisi dalam lapangan.

Billy jadi teringat saat pertama kali masuk ke sekolah ini. Ketika masa-masa sulitnya beradaptasi dengan lingkungan baru. Lalu ada orang itu. Pemula bodoh yang bahkan tak tahu aturan tengah menyudutkannya.

***

"Bil, kira-kira dia masuk kelas apa ya?" Bella menerka-nerka sembari makan sarapan terakhir mereka di rumah.

Hari ini, Bella dan Billy resmi menjadi murid SMA Bakti Luhur. Setelah semalam berkemas untuh pindah ke asrama. Akhirnya mimpi mereka terbuka kembali. Jalan menjadi atlet basket nasional telah terbuka gerbangnya. Mimpi lama yang mereka dambakan.

"Entahlah, aku gak begitu tau." Billy sisir rambutnya yang sedikit panjang.

Bella sudahi sarapannya. Dia letakkan piring kotor dalam wastafel. Nyalakan air dan membersihkan piring tersebut. 

"Ma, Pa, Adik sama Kakak berangkat dulu."

Bella dan Billy memberikan salam lalu mencium kedua tangan orang tuanya. Bentuk rasa hormat yang akan lama tidak dia rasakan saat tinggal di asrama.

Mereka berdua berjalan menyusuri taman. Langkah mereka terhenti pada  halte 59 dan menunggu bus sekolah yang katanya akan menjemput. Alih-alih untuk hilangkan rasa bosan. Billy telusuri tiap jalanan lewat matanya. Sekelebat bayangan dengan kecepatan konstan tertangkap pengamatannya.

"Bel, Bel, Bel." Billy menepuk pundak kanan Bella.

"Apa sih?"

"Tuh lihat tuh!" Billy tunjuk orang dengan sepeda yang baru saja melintas di depannya. Bella memicingkan mata, coba tangkap sosok pesepeda yang dibicarakan Billy.

"Emang kenapa dia?" tanya Bella polos.

"Itu orang yang kemarin kita lihat di gedung basket!"

"Masa?" ungkap Bella tak percaya.

"Yeee, gak percayaan amat." Billy tampak kecewa mendengar Bella tak mengindahkan kalimatnya.

"Tuh! Busnya dah dateng. Yuk berangkat!"

Bus hijau bertuliskan SMA Bakti Luhur berhenti tepat di halte 59. Pintu terbuka, memperlihatkan sang sopir yang tersenyum ramah pada mereka. Telah menjadi prioritas baginya untuk memberikan senyum hangat bagi para murid SMA Bakti Luhur.

Langkah mereka berdua melaju hingga sampai di kursi kosong pada barisan belakang. Kondisi yang relatif sepi sedikit membuat mereka tercengang. Dari 40 bangku dalam bus, hanya sekitar belasan yang terisi.

Setelah berjalan menyusuri sudut kota. Bus pun memasuki kawasan sekolah yang terpaut cukup jauh di tepian kota metropolitan. Sepanjang mata memandang, terbentang gedung-gedung berlantai empat yang akan menjadi tempat mereka tinggal nantinya.

Jarak antara asrama dan gedung utama sekolah terpaut sekitar lima belas menit dengan jalan kaki. Beberapa lapangan sepak bola, tenis, juga lapangan khusus track and field saling berjajar satu sama lain. Pemandangan tersebut akan menemani mereka nantinya setiap berangkat dan pulang sekolah.

Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Setelah merapikan perbekalan mereka di asrama. Para murid kelas satu bergegas menuju aula sekolah. Mereka tak sabar untuk bertemu wajah-wajah baru yang akan menemani selama tiga tahun ajaran. Begitu pun dengan Billy dan Bella. Dengan suka cita mereka mengambil posisi berbaris di depan podium setelah mendapat arahan dari para guru dan senior.

Sejumlah lima barisan berdiri di depan podium. Namun ada satu barisan tambahan yang berjumlah lima orang berdiri sedikit lebih jauh dari mereka. Bisikan-bisikan pun tak terelakkan. Mereka menatap dengan penasaran satu barisan aneh yang hanya berisi lima orang. Terlebih lagi Billy yang tercengang melihat salah satu murid yang berdiri di sana adalah murid misterius yang ingin dia temui. Juga alasan yang membuat Bella semakin berpacu secara intens dalam pelatihan basket mereka.

Dengung mikrofon segera menggantikan fokus mereka. Di sana, di atas podium, berdiri seorang pria dengan rentan umur sekitar pertengahan tiga puluhan berdiri dengan tegap. Jemari kanannya sesekali mengetuk mikrofon. Lalu ia mengacungkan jempolnya ke arah para guru yang menyetel bunyi mikrofon tersebut.

"Selamat untuk kalian dan selamat datang di SMA Bakti Luhur." Pak Brata segera menyampaikan pidatonya di atas podium. Dia tersenyum lebar manakala melihat talenta-talenta muda kembali mengisi sekolah yang dia kepalai.

"Perkenalkan. Nama saya Brata Drupada. Saya selaku Kepala Sekolah SMA Bakti Luhur sekali lagi mengucapkan selamat pada kalian semua. Sebanyak 125 murid terdaftar dan lolos seleksi tahun ini. Sebuah apresiasi yang cukup besar jika dibandingkan dengan tahun kemarin. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa ada lima orang terpisah dari barisan utama. Benar, kan?"

Layaknya anak kecil mereka mengangguk bersamaan. Saking penasarannya mereka tak tahu harus bertanya apa lagi.

"Apa kalian suka tantangan? Apa kalian mampu melewati batasan yang kalian miliki? Jika iya, maka dalam waktu tiga bulan ke depan ... buktikan! Buktikan bahwa kalian mampu melewati ekspektasi yang kalian buat. Buktikan bahwa kalian pantas untuk bersanding dan berkompetisi dengan lima orang tersebut. Di kelas dengan atmosfer paling panas dan kejam yaitu kelas 1-8. Mereka berlima adalah murid-murid teratas yang berhasil melampaui ekspektasi kami. Juga barisan teratas dalam bidang mereka masing-masing. Tapi jangan salah. Tak hanya olahraga saja yang mereka kuasai. Bidang akademik pun mereka berdiri di garis terdepan. Dalam waktu tiga bulan, empat murid dari masing-masing kelas akan naik ke kelas 1-8. Jadi jangan lewatkan kesempatan ini."

Tepukan tangan juga teriakan semangat menyeruak ke segala penjuru aula. Mata mereka bersinar terang mendapati bahwa barisan aneh tadi berisi para top score di angkatan mereka. Beberapa ada yang menganggapnya sepele dan berpikir negatif. Ada pula yang berpikir positif dengan segera menaikkan nilai mereka agar mampu memasuki kelas 1-8.

Mereka kembali terdiam begitu para senior menyebutkan nama mereka untuk bergabung di kelas yang baru. Kelas 1-1 sampai kelas 1-5 yang berjumlahkan 24 murid. Billy melangkah begitu namanya dipanggil. Dalam benaknya ia terus berpikir bagaimana caranya agar dapat berada di kelas 1-8.

***

"Terima kasih dan mohon kerja samanya."

Bel istirahat berdentang. Meski hari pertama hanya diisi perkenalan saja. Yang namanya jam istirahat tetaplah satu hal menyenangkan yang mereka tunggu-tunggu sedari pagi.

Billy turun menyusuri tangga. Kelasnya berada di lantai tiga yang posisinya cukup jauh dari kantin. Dia harus melewati koridor kelas dua dan tiga sebelum mencapai kantin.

Berbagai rasa kekaguman tak henti-hentinya ia gumamkan. Gedung yang rapi dalam penataan, halaman yang asri, taman bunga yang terawat baik, juga fasilitas-fasilitas olahraga yang terbilang cukup banyak mampu membuat setiap murid berdecak kagum. Dan yang paling dia senangi adalah posisi gym basket yang relatif dekat dengan kelasnya dibandingkan yang lain.

Billy ambil jalan memutar. Dia sengaja berkeliling dengan harap bisa bertemu cewek idamannya. Hasrat lelaki yang tak bisa dibendung.

Akan tetapi setiap langkah yang dia ambil. Tak ada tanda-tanda murid melewati koridor tersebut. Pandangannya teralihkan oleh suara gerutuan seseorang setelah menutup pintu ruang kepala sekolah. Dia mengacak-acak rambutnya dan menendang udara.

"Sial! Baru hari pertama sudah kena tekanan seperti ini?" Dia terus menggerutu hingga tanpa sadar Billy mengetuk pundaknya.

Pemuda itu terlonjak kaget. Matanya awas meneliti sosok di belakangnya.

"Astaga, jangan bikin kaget dong!" protes pemuda itu.

"Hehe, maaf-maaf. Lo anak yang waktu itu di gedung basket kan? Pas hari pendaftaran?"

Pemuda itu memicingkan matanya, "Kalau iya, kenapa?"

"Kesempatan. Mau tanding basket sama gue? Satu lawan satu."

"Tunggu-tunggu-tunggu. Jangan salah persepsi dulu. Aku tak sehebat yang kau pikirkan. Tepis pemikiran itu, aku cuma seorang amatir." Pemuda itu menolak tantangan Billy. Dia terus menggelengkan kepalanya dan hendak pergi meninggalkan Billy.

Billy yang berpendirian teguh merasa terancam. Dia lekas menarik bahu kiri pemuda itu agar tak melangkah lebih jauh.

"Anggap aja ini latihan. Kita sparring. Lo ambil kelas basket juga kan, kelas siangnya?"

"Dengar ya, tuan tanpa nama. Bukan berarti hanya karena kemarin pas pendaftaran aku pergi ke gedung basket, lantas aku memutuskan masuk kelas basket. Jawabannya enggak."

"Terus lo ambil kelas apaan?"

"Gak ada yang kuambil."

Harga diri Billy sebagai pebasket terusik. Bagaimana mungkin orang bertalenta seperti dia tak mau menyelami bakatnya. Keputusan Billy telah bulat. Dia ingin mengalahkan orang ini.

"Nama gue Billy. Nama yang akan terus lo ingat! Nama orang yang akan ngehancurin harga diri lo yang cetek itu."

"Haaahh."

Pemuda itu mengembuskan napas panjangnya. Dia terus mengacak-acak rambutnya sendiri dengan ekspresi aneh. Dia pun berhenti lalu menatap lekat mata Billy.

"Baiklah. Tapi ada satu syarat yang harus kau tau. Jika aku menang, kau boleh sepuas-puasnya anggap aku siapa. Dan kalau aku kalah, kau harus ikutin apa mauku karena kau sudah memaksaku bermain."

"Hah? Apa-apaan syarat itu? Benefit gue apaan coba?" Billy memasang tampang tak percaya. Dengan cepat pemuda itu membalas.

"Kau sendiri yang minta. Dan kau sendiri yang maksa. Aku sudah jelasin kalau aku cuma amatir. Tapi kau ... tetap memaksaku buat main. Jadi, itu persyaratannya. Kalau gak ingin, lupakan saja usahamu melawanku. Aku bukan lawan yang pas buat latihanmu."

Billy berpikir sejenak, mempertimbangkan pilihan. Benar, dia yang memaksa orang ini. Tetapi harga dirinya tetap ingin mengalahkan pemuda itu. Billy berpikir pendek dan mengiyakan persyaratan orang itu. Tanpa dia sadari, itu adalah sebuah pilihan yang akan dia sesali nantinya di masa depan.

"Oke." Emosi Billy sudah mencapai puncak. Billy berjalan mendahului orang itu. Sebelum dia menghentikan langkahnya.

"Siapa nama lo?"

"Aku? Namaku Lana. Nama dari orang yang akan terus kau ingat sampai dewasa nanti." Lana meniru ucapan Billy. Tentu mendengar hal itu membuat telinga Billy memerah.

Akan gue injak orang ini yang berani-beraninya memainkan bakat seseorang.

***

Pantulan bola basket begitu nyaring di ruangan gym yang begitu besar ini. Mereka berdua memakai setengah dari salah satu lapangan di ruangan tersebut.

Tidak seperti yang Billy duga. Stamina Lana terkuras banyak di permainan pertamanya. Dia berulang kali sedikit membungkuk seraya membuang napas yang tersengal-sengal. Mata Lana memutih seraya melambaikan tangannya.

"Stop! Capek aku. Time out," pinta Lana tiba-tiba.

"Baru juga sepuluh menit," ejek Billy.

"Aku tadi gak bisa tidur di kelas. Sial!"

Billy menghentikan pantulan bola basket. Dia meletakkan bola tersebut di lantai dan mendudukinya. Lengan kirinya menghapus jalur peluh di dahinya.

"Gara-gara kau, tenaga yang kusimpan buat siang nanti terkuras."

"Bukannya sekarang hari pertama? Kan gak ada materi atau pelatihan, cuma perkenalan doang."

"Itu berlaku buat kelasmu, bukan kelasku." Lana mencoba protes dan mengeluarkan segala keresahannya di hari pertama.

"Di kelasku isinya monster semua. Kecuali Hendra yang bego itu."

Wajah Billy tercerahkan. Dia bagai disirami oleh cahaya setiap kali Lana menguak informasi tentang kelas 1-8. Dia tersenyum sedikit sebelum memasang telinga lagi mendengarkan keluhan Lana.

"Terus?"

"Bayangkan saja. Tepat setelah sambutan tadi pagi. Kami mendapat materi matematika dan fisika! Gila! Hitungan di hari pertama! Belum lagi nanti kelas siang aku diminta masuk ke kelas voli. Tenaga yang kuhemat sedari pagi, hilang sekarang. Itu semua gara-gara kau memaksakan kehendakmu."

"Oke. Mari cepat selesaikan permainan ini."

Billy berdiri dan segera melempar bola tersebut ke titik buta Lana. Setelah dia melempar bola, Billy melangkah dan memasuki posisi bertahan.

Lana yang gagal menangkap bola harus merasakan indahnya dicium bola basket. Kepala lana menggeleng cepat, membuyarkan bintang-bintang yang berkeliling di sekitarnya.

Dia kembali fokus dengan pergerakan Billy. Tubuhnya mewujudkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Sedikit pergerakan dari Billy akan dia refleksikan. Teknik mirror coating yang ia asah dari kecil nampak membuat Billy kepayahan untuk yang pertama kali.

Billy melompat berbasis kaki kiri sebagai tumpuan. Karena sudah terbiasa, lintasan bola tak terpengaruh oleh sentuhan ujung jari Lana. Atau bisa dibilang kecepatan lemparannya lebih laju dibandingkan lompatan Lana.

Bunyi bola memasuki ring lagi-lagi terdengar di telinga mereka. Senyuman Billy mengembang. Namun senyuman itu cepat menghilang begitu Lana mengungkapkan isi kepalanya.

"Kaki kananmu pernah terluka berat ya?"

Billy menggigit lidahnya. Dia tak menyangka kelemahannya terungkap oleh pemuda itu.

"Kenapa tetap nerusin basket? Bukannya itu malah memperburuk kondisi kakimu?"

"Lo tau apa!" Billy mendelik. Dia tak percaya pertanyaan Lana mengusik emosi terdalamnya.

Lana mengembuskan napas berat, "Aku kalah. Sudahi saja permainan ini."

"Kenapa nyerah? Kenapa lo nyerah? Apa lo kasihan sama kondisi kaki gue? Oi! Jawab!"

Bukannya menjawab pertanyaan tersebut. Lana melambaikan tangannya saat dia hampir di pintu keluar.

"Janji adalah janji. Kau udah janji dan setuju dengan persyaratanku. Tunggu saja nanti. Perintah pertamamu."

"Oi! Emang lo anggep gue apaan? Oi! Jangan pergi lo!! Sialan!"

Billy meninju lantai. Dia tak menyangka bahwa keputusannya membawa ke arah yang tak menguntungkan baginya. Emosinya meledak-ledak kala punggung Lana tak terlihat lagi dari sudut matanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro