Kasus pertama (3)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bercanda, hehe."

Alih-alih membuat suasana tegang. Barhan yang naik pitam segera menghampiri Billy dan memukulnya. Novan, Risa, dan Dino hanya mampu melepas napas yang berhenti sejenak. Mereka dengan cepat membuang kadar karbon dioksida untuk digantikan oksigen.

"Jangan buat jantungan, bego." Risa mendesah sekali lagi. Dia membuat pinggiran rak yang berdebu sebagai tumpuan.

"Gue kira beneran, Bil! Astaga!" Novan mengacungkan telunjuknya pada Billy yang tertawa lepas.

"Tegang amat sih? Santai kawan, santai."

Billy segera memasuki gudang dan meninggalkan Barhan yang berdiri khawatir. Kepalanya mengecek keadaan sekitar. Selepas hawa penasarannya hilang. Dia menutup pintu rapat-rapat.

Pandangan Billy tertuju pada Bryan. Iris kalemnya menatap dalam-dalam pemuda yang ada di seberangnya. Billy tak memperdulikan Lana yang tergeletak. Justru dia berusaha menghindari sorot tajam mata Lana. Dia tahu, jika pandangan mereka bertemu maka yang terjadi hanya kegaduhan.

"Dari mana aja lo?" tanya Risa mengurut dadanya yang sesak karena salah memilih dalaman.

"Resiko orang terkenal."

"Jangan bercanda!" Barhan sekali lagi membentak. Diikuti gerakan Novan yang menghadang tangan Barhan.

"Jadi, gimana? Udah berapa yang lo jual?"

"Gak ada. Belum waktunya."

"Festival olahraga makin deket, bego! Kalo gak cepet dijual, mana laku!" Risa mendecakkan lidahnya mendengar jawaban Billy. "Atau jangan-jangan ... lo pake sendiri?" lanjutnya menyelidik.

"Gak mungkin. Barangnya aja masih di kardus itu."

Billy menunjuk salah satu kardus yang di atasnya sengaja diberi beberapa tumpuk buku fisika.

"Lo pikir aja. Profit yang akan didapet lebih gede kalo dijual mendekati harinya. Ketika mereka putus asa dan menghalalkan segala cara. Termasuk make barang itu."

Billy menjelaskan strateginya yang simpel. Tak ada keraguan di setiap kalimat yang Billy utarakan.

"Terlebih lagi--" Billy membalikkan badan menghadap Risa. "Berapa cowok yang udah lo tipu? Make tubuh lo?"

Napas Risa tercekat. Dia segera menghampiri Billy dan menamparnya. Kelima orang yang lain hanya menegukkan ludah manakala melihat kesempatan itu.

"Jaga mulut kotor lo itu!" Risa membuang muka jauh-jauh, tak nyaman. "Tata krama punya kan?"

Dino yang tak tahan ingin tertawa mendapat tendangan kasih sayang. Tak hanya tendangan, Risa juga melayangkan pukulan ke perut Dino.

Cewek kayak gini punya tata krama emang?

Kelima orang yang lain berpikir bersamaan. Sedangkan Lana menaikkan salah satu sudut bibirnya.

"Apa lo senyam-senyum?!"

Lana menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia tak ingin mendapatkan perlakuan menyebalkan layaknya Billy. Dia juga tak ingin menambah daftar buronan lagi selain Icus.

Tapi, kayaknya ini situasi yang menyenangkan.

Lana memang memiliki selera yang aneh. Meski dia dikepung oleh penjahat atau dihajar perundung saat masa kecilnya. Dia tak memiliki yang namanya rasa takut. Terlebih lagi, jika  Lana berada di posisi yang terpojok. Kinerja otaknya menanjak.

Dari keenam orang yang berada di sekelilingnya saat ini. Pusat perhatiannya bukanlah pada Billy dan geng Barhan. Lana semakin penasaran dengan ketua kelasnya sendiri.

Lana kembali tersenyum. Darah di hidungnya yang mulai mengering membuat senyumnya semakin aneh. Risa yang sesekali memergoki Lana bergidik ngeri. Risa menjauh. Dia menjangkau kursi tak terpakai di sebelah Bryan. Sejuta jurus maut keluar dari mulutnya.

"Oh, Bryanku. Di mana posisi Hendra sekarang?"

"Lebih baik diam daripada meladenimu."

"Ah, aku tersanjung."

"Itu bukan pujian."

"Tetap saja aku tersanjung, Bryanku."

Risa menjambak rambut Bryan. Menariknya dengan kuat hingga beberapa helai tercabut. Bryan berteriak kencang. Namun segera dibekap oleh Risa.

"Jadi dia masih di rumah sakit, ya?" Risa menggigit lidahnya kesal.

"Apa kita seret dia dari rumah sakit?" tawar Dino dengan semangat membara.

"Lo bego! Di sana ada serigala. Lo mau jadi santapan serigala?" balas Novan bergidik ngeri.

"Serigala?"

"Rinjani." Barhan memendam emosinya. Lalu dia menendang sekali lagi kepala Lana.

"Gue gak akan biarin lo berbuat sesuka hati."

Barhan segera meninggalkan teman-temannya.

Suasana menjadi hening. Tak ada yang membuka suara sedikitpun. Hanya ada Lana yang terus mengerang.

"Berdiriin dong kursinya. Pegel nih."

Billy yang mendengar itu segera menghampiri Lana. Dia memposisikan kursi kembali ke sedia kala. Tak lupa tangannya merogoh saku Lana. Billy berbisik selirih mungkin. Lana mengangguk pelan.

Billy kembali ke bangku yang dia duduki tadi. Pekerjaannya telah selesai kali ini. Setidaknya dia tak ingin Barhan meledak-ledakkan emosinya.

Risa yang benci keheningan memecahkan suasana. Sekali lagi dia mencoba merayu Bryan agar memberitahukan posisi Hendra. Risa dengan sengaja duduk di pangkuan Bryan.

"Hendra di mana? Cepat katakan, Bryanku."

Bryan tetap tak bergeming meski Risa berusaha menggodanya. Namun gejolak dalam hatinya berkata lain. Pesona Risa semakin di luar nalar. Dia menelan ludahnya untuk kesekian kali.

"Rumah Sakit Mangunkarsa."

Saat kalimat itu terucap dari mulut Bryan. Senyuman Lana semakin mengembang. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan ketua kelasnya. Dan terbukti setelah lokasi Hendra terkuak.

Kenyataan bahwa insiden Hendra dan Icus masihlah rahasia. Hanya Pak Brata dan Bu Rinjani saja yang mengetahui insiden ini. Hendra pun sudah dibungkam oleh Lana untuk tak mengatakan hal yang tak perlu. Dalam benak Lana tergambar sebuah pertanyaan. Bagaimana Bryan bisa mengetahui posisi Hendra? Jawabannya hanya ada satu. Bryan pasti ikut terlibat dalam insiden ini.

Lana terkekeh. Dino yang mendapati kelakuan aneh Lana melotot tajam. Mata mereka saling bertemu hingga menimbulkan sebuah bentrok dari spektrum cahaya.

"Rumah Sakit Mangunkarsa? Wow, jauh juga. Aku akan ke sana nanti malam. Terima kasih Bryanku."

Risa membelai dagu Bryan dengan lembut lantas dia berdiri dan melepaskan ikatan Bryan. Kejadian tak terduga ini membuat Dino dan Novan terkejut.

"Apa yang lo lakuin Ris?"

"Wah gila! Kalo Barhan tau bisa gawat!"

Namun Risa tak menanggapi mereka. Dia tetap bersikeras melepaskan tali yang mengikat Bryan pada kursi.

Setelah ikatan lepas, Bryan yang terbebas tertawa gahar. Ia melemaskan otot-ototnya yang tegang. Sembari meregangkan badan, fokus Brian terpaku pada Dino. Agenda balas dendam terlukis jelas di matanya.

"Rasakan in--"

Belum sempat Bryan melepaskan tinjunya. Risa yang berada di belakangnya, menendang dengan keras alat vital Bryan. Bryan jatuh tersungkur kesakitan. Tanpa basa-basi lagi, Risa menendang untuk kedua dan ketiga kalinya. Sampai dia puas ditendangan kesepuluh.

Risa terjatuh di bantalan kursi. Wajahnya menyiratkan kepuasan. Mukanya yang bersemu merah memancarkan hawa nafsu paling kuat. Bryan tak lagi bergeming. Jelas pandangannya akan mengabur akibat alat vitalnya yang ditendang sepuluh kali.

Lana tak lagi tersenyum. Keringatnya mengucur deras. Instingnya mengatakan kalau dia akan jadi korban selanjutnya. Benar saja, selepas pundak Risa melemas. Risa berjalan menghampiri Lana.

Billy mencegah. Dia merentangkan kedua tangannya lebar. Risa memicingkan kedua matanya. Tangannya mengepal hendak memukul. Jelas pukulan itu bisa ditangkap dengan tangan kanan Billy.

"Cukup." Billy mencoba bernegosiasi. "Cukup, Ris."

Risa mendecakkan lidahnya dan pergi bersama Dino dan Novan. Billy memalingkan mukanya. Dia pun akhirnya mengekor di belakang mereka bertiga. Dan sekali lagi mengunci gudang itu dari luar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro