Kasus pertama (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana kantin saat itu sangat ramai. Lana membawa nampan berisi makanan menuju bangku dengan cakupan pandangan yang lebar, tepat di pojok kantin. Bukan berarti ia tak punya teman, hanya saja ia tidak begitu suka kebisingan. Menurut Lana, bangku pojok sudah cukup demi menuntaskan pekerjaannya.

Selagi tangannya mengaduk soto ayam dengan kecap asin. Lana memperhatikan tiap murid yang berlalu lalang. Telinganya dibuka lebar-lebar. Teknik menguping elit tanpa mereka semua sadari. Rahasia-rahasia kecil sampai berita tak penting masuk ke pendengarannya. Dimulai dari obrolan kecil mereka tentang sebuah baso aci, hingga rahasia besar menyontek untuk ujian berikutnya.

Sesendok demi sesendok soto masuk ke dalam sistem pencernaannya. Tanpa terasa mangkuk soto yang tadinya penuh, kini kosong melompong. Lana tetap asik duduk di sana dengan senyum-senyum aneh. Pantas saja bangku di sekitar Lana sepi. Atau mungkin, mereka takut tertular oleh virus tak teridentifikasi milik Lana.

Di saat Lana masih asik mengenang perempuan di halte kemarin. Sebuah tepukan pelan pada bahu kiri membuat dirinya terjengkang hampir jatuh dari kursi. Orang yang menepuk bahunya mencoba menahan tawa. Setelah beberapa saat proses menyadarkan diri. Lana kembali ke posisi semula.

"Sendiri?"

Gadis itu duduk di depan Lana. Rambut panjangnya yang terurai beterbangan dibawa belaian sang angin.

"Sama kamu." Lana membalasnya cuek.

"Gue peringatin satu hal ya. Hati-hati, kemarin itu hanya permulaan."

Kalimat serius gadis itu segera masuk ke dalam benak Lana. Kaget tentu saja ekspresi Lana saat mendengarkan dengan baik. Pasalnya dia tidak menceritakan hal apapun mengenai insiden Icus selain kepada Pak Brata.

"Maksudmu?"

"Ada yang gak suka sama kelas lo. Dan mereka mencoba buat bikin kelas lo mundur dari festival olahraga."

Padat, singkat, jelas. Gadis itu pun pergi membiarkan Lana berangan-angan di bangku pojok kantin.

Lana kembali mengingat. Hal apa yang membuat kelasnya sampai tidak disukai oleh kelas lain. Namun tak ada kejelekan yang terlintas. Hanya ada satu, jika benar seperti yang ia duga. Kenyataan bahwa kelas 2-8 memenangkan festival olahraga tahun lalu. Tapi baginya, itu hanya penghargaan sepele. Apa bisa dijadikan motif balas dendam?

Kemenangan kelas 2-8 pada festival olahraga tahun lalu, hanyalah segelintir penghargaan yang dia anggap bonus semata. Saat itu setiap babak pertandingan didominasi oleh pasangan Hendra-Bryan-Suci. Mereka bertiga mampu menyingkirkan lawan-lawannya dengan mudah. Memang talenta paling jelas dan besar menurut Lana di kelasnya adalah milik mereka bertiga. Sebagai seorang scout, tentu saja penilaian Lana tak akan salah.

Dari pertandingan lari estafet tiga kaki, scavenger hunt, knight and horse, kegigihan kelas 2-8 berada dalam puncak tertinggi. Selain mereka bertiga, masih ada Ovin--sang kuda hitam. Kemampuan atletiknya tak bisa dianggap remeh. Sampai sekarang, Lana belum bisa mendekati pencapaian Ovin.

Bel tanda kelas siang berdentang lima kali. Lana bergegas merapikan meja dan membawa nampan kotornya ke tempat yang telah disediakan.

Langkahnya sedikit cepat menuju ruang ganti di gedung B. Tanpa membuang waktu, setelah mencapai loker. Segera ia tanggalkan seragam formalnya dengan baju olahraga. Ruangan itu sepi, tidak seperti biasanya. Hanya ada Lana di sana. Tanpa pikir panjang, Lana segera berlari menuju lapangan basket.

Begitu sampai di koridor selatan lapangan yang cukup sepi. Ketika  Lana hendak berbelok memasuki gym. Pukulan dari bat baseball tepat mengarah ke kepalanya. Lana yang terkejut tak sempat menghindar dan harus menerima pukulan itu dengan nikmat. Lana jatuh terjengkal ke belakang. Pikirannya melayang jauh, matanya mengabur. Dan sebuah pukulan keras kembali menghempas kepalanya hingga Lana tak sadarkan diri.

Pemuda itu segera mengikat tangan dan kaki Lana. Rupanya dia sudah menunggu saat-saat tersebut. Setelah mendapatkan info rute yang selalu dilewati Lana dan tentu saja bebas dari kamera pengawas. Dengan senyuman lebar dan sedikit waspada. Dia memanggil temannya yang berkacamata untuk ikut menyekap Lana di gudang tak terpakai, tempat kelompok mereka mengadakan rapat.

Dengan langkah yang berhati-hati. Mereka sampai pada ruangan gelap tersebut. Menurunkan Lana dan memposisikannya duduk terikat pada sebuah kursi. Tak hanya Lana, di ruangan itu juga ada Bryan yang terus meronta kasar. Namun sayang, mulutnya yang tersumpal kain tak akan bisa menyampaikan teriakannya.

Melihat teman satu kelasnya terkapar. Jelas Bryan semakin meronta dengan keras. Mata tajamnya melotot, dan hanya dibalas suara tertawa dari dua orang tadi. Tanpa welas asih, mereka berdua menutup pintu gudang rapat-rapat. Meninggalkan Bryan dan Lana terjebak dalam ruangan senyap tersebut.

***

Di mana?

Lana kembali mendapatkan kesadarannya setelah tertidur hampir seharian penuh. Lana menguap lebar-lebar, perutnya merasakan rasa lapar tiada tara.

Aneh.

Bau, suasana, hawa, suara dari ruangan itu begitu asing untuknya. Akan tetapi sepertiga dari ingatannya pernah mengalami kejadian ini. Apa mungkin ini yang dinamakan deja vu?

Suara erangan Bryan tertangkap indra pendengaran Lana. Mulutnya yang terbekap oleh kain tak bisa mengeluarkan kata-kata, hanya erangan. Lana memutar kepalanya menghadap Brian.

Jadi, kau tertangkap juga ya?

Lana mendesah panjang. Dia berada pada posisi terikat kuat. Tangan, kaki serta badannya diikat sedemikian rupa pada sebuah kursi. Semakin ia berusaha untuk melepaskan diri, tali itu akan semakin erat simpulnya.

Sorry, Bryan.

Dalam benak Lana hanya ada satu yang terlintas. Keberuntungan Hendra yang menipis. Dia tak begitu berharap pada keberuntungan. Baginya intuisi Hendra yang menumpul cukup untuk jadi harapannya keluar dari situasi jelek ini. Atau bagaimana jika gadis itu yang datang?

Derit pintu usang terbuka. Satu per satu wajah dari penyekap menampakkan diri. Seringaian mereka tak cukup untuk menakuti Lana. Bryan terus memberontak keras yang diikuti suara tawa puas oleh Barhan.

Barhan, sang kaisar lintasan 100m. Di masa-masa juniornya, Barhan selalu mencatat rekor terbaik dari bidang lari. Kecepatan berlarinya tak diragukan lagi. Bahkan dia pernah meraih beberapa medal emas dalam satu cabang lari.

Namanya dielu-elukan. Popularitas menjunjung tinggi harga dirinya. Selama satu tahun penuh, Barhan berada pada puncak tertinggi dari seluruh siswa nasional.

Hingga masa peneriman siswa baru. Seorang amatiran yang kelelahan setelah bermain basket menantangnya untuk sprint 100m. Keberadaan Barhan terusik oleh debu kecil jalanan. Dengan perasaan gusar dia menerima tantangan tersebut. Hasilnya? Dia tertinggal dua detik lebih lambat.

Gelegar tawa Barhan memecahkan keheningan. Sebelah kakinya terangkat setinggi-tingginya. Dia bersiap dalam posisi menendang.

Sbak!

Kepala Lana terbuang cukup jauh akibat tendangan Barhan. Alhasil posisi kursinya terjatuh kesamping. Kepalanya membentur lantai dengan keras.

"Han, cukup."

Seorang gadis dengan tahi lalat di bawah kiri bibirnya, mencoba menghentikan aksi brutal Barhan.

"Bukan sekarang."

Barhan yang mendelikkan matanya berangsur-angsur menjauh dari Lana. Kini gadis itu berjongkok di hadapan Lana. Tangan halusnya menyentuh pipi Lana yang memerah. Dalam satu sentakan, tangan itu menampar Lana.

"Hahaha."

Lana tertawa tanpa sebab. Dia bahkan tidak mengenali keempat orang yang menyekapnya. Sedang mereka memuaskan hasrat balas dendam padanya.

"Puas?" Lana memprovokasi.

"Aku bahkan tak kenal kalian. Tapi kalian menyekapku? Menendangku? Menamparku? Hahaha. Pengecut."

Barhan yang tempramental tentu saja dengan mudah tersulut oleh pernyataan Lana. Langkah kakinya bergerak cepat lalu menginjak kepala Lana.

"Pengecut?" Barhan merasa frustasi.

"Lo! Gak tau apa yang gue rasain. Dan lo seenaknya bilang gue pengecut?"

"Hanya pengecut yang memakai jalan belakang untuk memuaskan hasrat." Lana kembali memprovokasi.

Sekali lagi tendangan keras bersarang di kepala Lana. Hidungnya yang terus-terusan menerima tendangan keras, patah. Darah keluar dari hidung Lana yang bergetar akibat Lana mencoba tertawa.

"Ah! Aku ingat sekarang. Kau, orang yang terlambat dariku dua detik. Hahaha!"

Barhan yang mencoba menendang Lana kembali ditahan oleh gadis tersebut dengan bantuan Novan, si kacamata.

"Please, Han. Cukup. Jangan mau terprovokasi."

"Ingat tujuan kita, Han. Festival olahraga! Bukan mereka!"

"Risa benar."

Dino yang sejak tadi diam berjalan mendekati Bryan. Dia melepaskan kain yang menyumpal mulutnya. Dino menatap tajam Bryan dari jarak yang cukup dekat. Bryan meludah dan membuat Dino mengikuti jejak Barhan. Tiga tinjuan dia arahkan pada ulu hati Bryan.

"Gue gak ada urusan sama lo. Urusan gue cuma sama Ovin. Yah, sayangnya dia ada di rumah sakit sekarang." Dino menjelaskan.

"Si brengsek itu terlambat lagi. Apa sih yang dia lakuin?" Barhan melampiaskan amarahnya dengan menendang meja.

"Sorry, gue telat."

Secara kebetulan, tiba-tiba Billy datang dengan wajah tak bersalah. Wajahnya yang tampak tenang tak bisa dibaca dengan mudah. Namun hanya dua orang yang bisa membaca ekspresinya dengan mudah. Adik kembarnya, Bella, dan yang satu lagi adalah Lana.

"Kalian semua ditangkap."

Tanpa disangka-sangka. Kalimat itu cukup membuat keempat orang yang menyekap Lana, menjadi iritasi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro