Kasus pertama (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ruangan segi empat dengan penataan yang saling presisi berada di hadapan Lana. Entah sudah berapa kali dia harus mengetuk pintu tersebut. Dan sang pemilik ruangan juga tidak pernah bosan menerima Lana. Perlahan dia mengetuk pintu itu tiga kali dan segera masuk ke dalam.

Lana selalu duduk di sofa kecil setiap kali menunggu Pak Brata datang. Sebagai kepala sekolah yang sibuk. Pak Brata sering meninggalkan ruangannya, dan selalu membuat para murid--Lana khususnya--untuk menunggu beliau jika ingin menyampaikan masalah pribadi.

Lana pun begitu tidak pernah ambil pusing hingga akhirnya terbiasa dengan kebiasaan Pak Brata. Dia sudah hafal bau dari buku-buku yang tertata rapi di sisi ruangan. Mungkinkah itu candu?

Tangannya sibuk meraih tiap halaman dari majalah olahraga yang tergeletak di atas meja. Terkadang Lana tertawa, terkadang dia juga mendadak serius saat membacanya. Lana terus terbawa pada tiap kata yang terbaca, tanpa dia sadari detik jam telah melewati pukul sepuluh.

Engsel pintu tergerak tanda Pak Brata telah menyelesaikan urusannya. Lana segera menutup majalah dan mempersilakan Pak Brata duduk di singgasananya.

"Sudah menunggu lama?" tanya Pak Brata.

"Baru lima menit, Pak." Lana sengaja berbohong. Sejujurnya dia telah menunggu selama satu jam.

"Saya tahu kamu bohong...." Pak Brata menghentikan kalimatnya dan menegak teh hangat di mejanya.

"Sebentar lagi, kan, sekolah mengadakan event tahunannya. Festival olahraga SMA Bakti Luhur. Nah, saya mendengar ada kabar tidak enak. Kata beberapa murid, mulai banyak yang merencanakan memakai dopping nantinya ketika acara berlangsung."

"Jadi, saya harus mengurus hal ini, Pak?"

"Seperti yang kamu perkirakan," balas Pak Brata membenarkan.

"Kamu coba cari informasi dari para siswa, siapa dalang dari penyebaran dopping ini. Saya mau festival ini terselenggara secara fair and square."

Lana hanya menganggukkan kepalanya. Dia tahu posisinya saat ini, jelas dia tidak mungkin untuk bertanya, gak bisa ditolak kan, Pak?

Pak Brata menjelaskan. Lana cukup mencari detil dasarnya saja. Mengumpulkan keping informasi dari setiap kelas. Lalu informasi tersebut akan Pak Brata proses dan menangkap pelakunya dengan bantuan para staff. Jika Lana bisa menangkap pelaku tersebut sebelum pergerakan dari Pak Brata, itu akan menjadi poin tambahan.

Memang semenjak Lana melakukan seleksi pendaftaran dulu. Saat proses wawancara berlangsung. Lana mengatakan dengan penuh keyakinan kalau tidak berminat untuk memfokuskan diri pada satu bidang olahraga . Melalui tahap perdebatan serius dengan dewan direksi yang memakan waktu lama. Lana akhirnya diperbolehkan untuk memasuki kelas olahraga apa saja. Tentu dengan catatan khusus, menjadi mata-mata dan menyusup guna mencari siswa yang melakukan kecurangan. Tak hanya kecurangan saja, masih ada faktor tertentu yang harus dia kumpulkan di akhir masa sekolahnya. Mendengar hal itu, Lana menyanggupi dengan sungguh. Tanpa dia ketahui, dibalik nama sekolahnya yang besar, banyak sekali bayangan-bayangan mengintai dari para murid hanya untuk mendapat nilai.

Seperti hari itu, ketika kenaikan kelas. Berkat informasi yang telah dikumpulkan Lana. Seorang pelajar kelas 3 yang hendak lulus, terpaksa drop out akibat penyalah gunaan obat terlarang. Tentu dengan terbongkarnya kasus ini, karir atlet pelajar itu sirna. Bagi Lana pun, dia terpaksa melakukannya karena janji dengan dewan direksi sekolah.

Lana mengangguk, mendengarkan penjelasan dari Pak Brata dengan sungguh. Ketika beliau menutup kalimat. Giliran Lana untuk menyampaikan perihal Hendra dan Icus semalam.

"Pak, bisa minta tolong berikan status izin untuk Hendra dan Suci? Semalam Suci masuk rumah sakit, keracunan katanya," pinta Lana.

"Keracunan? Bu Rinjani hanya menjelaskan kalau mereka berdua melakukan riset untuk tugas sejarah," sanggah Pak Brata.

"Itu saya yang menyarankan, Pak. Kalau dilihat dari penjelasan yang Hendra berikan, ada sesuatu yang kurang detil di dalamnya."

"Apa itu?"

"Hendra jelas tidak mungkin asal-asalan membeli minuman. Dia paham betul masalah kesehatan, Pak. Namun anehnya kenapa dia bisa memberikan minuman tersebut kepada Suci. Terlebih lagi kami berlima, penghuni awal kelas 8, telah mengetahui rahasia dan kelemahan masing-masing. Jadi, kami bisa bersaing secara sehat tanpa mengusik kelemahan sendiri."

Lana merubah posisi duduknya untuk lebih tegap.

"Sepertinya Hendra terbujuk oleh seseorang. Yang pasti itu kelemahan dia, perempuan cantik dan simpatik berlebih. Atau mungkin, mereka berdua memang sengaja diincar oleh seseorang. Dan orang itu tahu betul, apa kekurangan mereka berdua."

Lana menerka-nerka membuat spekulasi dasar dari jalan cerita yang Hendra keluhkan lewat telepon. Hendra mengatakan kalau orang yang menjual minuman itu, bukan dari tangan pertama. Karena merasa kasihan akhirnya dia membeli minuman tersebut. Namun rasa kasihan ini, selalu membuat sial Hendra dalam satu kali fase.

Ketika Lana mempertanyakan apakah itu orang asing atau bukan. Hendra hanya membalas, kalau itu orang asing. Lana hanya mendecakkan lidah dan menutup panggilan dari Hendra kemarin malam.

"Kalau dugaan saya benar. Mungkin festival olahraga tahun ini akan sedikit ricuh dan tidak kondusif, jika kasus ini tidak segera diatasi."

"Maka dari itu, Lana. Saya berharap kamu mendapatkan informasi sesegera mungkin."

Pak Brata kembali menenggak teh yang tersisa hingga kosong. Begitu cangkir teh telah kehilangan seluruh isinya, Pak Brata berdiri dan melanjutkan inspeksi hariannya. Sebelum membuka pintu, Pak Brata meregangkan badannya yang sedikit kaku dengan cepat.

Lana ikut menyudahi kunjungannya. Lana berjalan mengekor di belakang Pak Brata sampai ke ujung koridor. Lana pun memutuskan untuk berbelok arah menuju kantin.

****

Dalam ruangan yang cukup remang-remang meski di siang hari. Empat orang berkerumun memutari meja ditengah ruangan sedang mengadakan rapat. Di antara mereka, pemuda paling beringas tampangnya, menaikkan kaki ke atas meja. Dia mencerca keterlambatan si anggota terakhir. Meski usaha gadis yang duduk di sisi kanannya sia-sia. Gadis itu tetap mencoba menenangkan pemuda tersebut.

"Sudah-sudah. Kita tunggu saja lima menit lagi."

"Dia benar. Kalau dalam lima menit, orang itu tak muncul juga. Kita mulai saja rencana ini." Pemuda berkaca mata yang duduk berseberangan dengan si beringas, sedikit membuka mulut.

"Brengsek."

"Sabar. Kita semua memang memiliki kebencian yang sama pada kelas itu. Makanya kita mulai membentuk kelompok kecil ini."

"Ya, untuk menyingkirkan pion penting dari kelas 2-8," sahut orang keempat yang baru saja terbangun dari lamunannya.

"Dua sudah tumbang. Tersisa tiga orang lagi. Si ketua kelas, Bryan. Hendra yang selalu lolos dari jebakan. Dan yang terakhir, L--"

Si beringas menggebrakkan meja dengan kakinya. Mereka terkejut. Mereka lupa bahwa nama terakhir adalah hal sakral bila diucapkan di depan si beringas.

"Jangan pernah sekali-kali kalian sebutkan nama si brengsek itu! Atau gue buat kalian babak belur dan gak bisa ikutan festival olahraga!"

"Sorry, Han."

Barhan mendelik tajam. Tangannya menunjuk satu-satu dari mereka dengan telunjuk kiri.

"Kalian gak tau gimana rasanya, ketika kalian mencapai rekor terbaik dengan usaha maksimal, lalu dikalahkan begitu saja oleh si brengsek pemalas itu."

Barhan menutup kalimatnya dengan umpatan. Pemuda berkaca mata mengerti perasaan Barhan. Dia juga mengalami hal yang sama. Saat pelajaran lari sprint 100m, dengan catatan waktu 56 detik miliknya yang belum bisa dia capai meski telah berusaha keras. Lalu anak itu datang ke kelasnya, memperbarui rekor dengan waktu 50 detik.

Derit kasar terdengar nyaring ketika pintu gudang terbuka, cukup untuk membuat mereka berempat memalingkan wajah. Sosok yang mereka tunggu akhirnya tiba.

"Wah, udah pada ngumpul. Sorry, gue telat."

Billy memasuki ruangan itu dan langsung bergabung di salah satu kursi kosong. Rapat penyerangan kelas 2-8 dimulai dengan datangnya Billy sebagai anggota terakhir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro