Pertama.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bunyi decit sepatu. Peluh yang menyusur sampai ke lantai. Teriakan para penonton. Juga wajah khawatir para pelatih, terus tergambar dibenak pemuda itu.

Kini dia terbaring di rumah sakit. Tangisannya terus keluar tanpa henti. Dia masih belum bisa menghadapi krisisnya kali ini. Lebih tepatnya, dia tak mau mempercayai fakta bahwa impian terakhirnya hancur. Sebuah impian untuk menjadi atlet basket nasional.

Beribu kata maaf terlontar dari mulut saudari kembar serta kedua orang tuanya. Tetapi, itu hanya sebuah lalu baginya. Kaki kanan milik pemuda itu teramputasi dan tidak mampu lagi 'tuk digerakkan sudah menjadi pukulan telak. Pukulan yang terus menghantam dan menghambat pola pikirnya.

Semua gara-gara dia! Gue gak bakal memaafkan orang semacam itu!

Pikiran kotornya melambung tinggi. Hasutan setan terus mengelu-elukan emosinya.

Ya. Jika gue gak ngikutin permainannya. Gue gak bakal dikondisi ini.

Mata pemuda itu menggelap, kelam. Tangannya mengepal seraya meremas selimut rumah sakit dengan keras.

Belum selesai emosinya tersalurkan. Pintu kamar tempat dia dirawat terbuka. Sosok yang tak ingin dia lihat menampakkan diri dengan wajah stagnannya. Pemuda itu mengumpat. Namun dibalas tamparan oleh saudari kembarnya.

"Ngapain lo ke sini? Puas lo liat gue gak bisa berdiri lagi? PUAS?!!"

Sosok itu terdiam. Sorot matanya menelisik dari ujung rambut sampai ujung kaki pemuda itu. Lalu dia bicara, "Apa kau menyerah sama mimpimu?"

Pemuda itu menggeram. Emosinya meledak.

"Mimpi, mimpi, mimpi. Cuma itu yang lo bahas di saat gue kayak gini?! Lo ngehina gue? Manusia macam lo gak pantes ngomongin tentang mimpi!!! Puas-puasin lo ketawa!"

Sekali lagi tamparan mendarat di pipi kirinya. Saudari kembarnya tampak kecewa dengan perubahan drastis tersebut.

"Apa-apaan sih?" bentak pemuda itu.

"Jadi, kau memang sudah menyerah,  ya? Lemah. Aku kecewa. Kukira kau bisa lebih baik dari ini. Ternyata aku harus membuang pemikiranku. Haha. Padahal aku datang membawa berita baik, tapi kau malah bersikap begitu. Sia-sia aku datang ke sini."

Sosok itu pun melempar sebuah berkas pendaftaran ke lantai lalu menginjaknya. Tanpa banyak basa-basi ia pun pergi. Keberadaannya tak diinginkan di sini. Sosok itu kecewa pada pemuda yang dia anggap punya potensi tinggi dan mampu melampaui ekspektasinya. Nahas. Realita tidak berpihak padanya.

Pemuda itu terus berkabung. Matanya sendu. Dia tidak mampu lagi menahan gejolak yang terasa. Sampai saudari kembarnya meraih berkas yang telah kusut di lantai. Manik-manik miliknya melebar dan segera bergegas menyerahkan berkas tersebut.

"Lihat! Kamu masih punya kesempatan!"

Pemuda itu meraih dengan kasar berkas tersebut. Dia meremas-remasnya dan membuang ke tong sampah di samping ranjang.

"Jangan buatku tertawa. Aku gak akan menerima bantuan dari orang itu lagi. Sampai mati sekalipun."

"Jangan egois, Bil!"

"Dia yang egois, Bel!!"

Pemuda itu menangkupkan kedua telapak tangan ke muka. Dia tak ingin saudari kembarnya melihat lebih dalam kekurangan yang dia miliki saat ini.

"Itu berkas pendaftaran klub basket kursi roda. Kamu harus ikut."

Dia tahu lebih baik dari orang lain. Ketika saudari kembarnya telah terfokus dalam satu hal. Bahkan orang tuanya pun tak bisa menahan gadis itu. Begitu juga dirinya. Dia tahu hal itu.

Gue gak ingin bermimpi lagi. Gak lagi.

Pemuda itu telah membuang mimpinya jauh-jauh. Sebuah impian yang tak akan tercapai untuk saat ini atau mungkin seterusnya. Begitu yang dia pikirkan. Rayuan setan yang telah menstimulus otak terdalamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro