Hari itu ...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sydney, 20 September 2000

Hari itu begitu riuh. Sorak para penonton bergaung dari segala penjuru Sydney International Aquatic Center. Berbagai kalangan usia dari seluruh negara menyaksikan perhelatan olahraga internasional yang dilakukan selama empat tahun sekali. Ragam budaya dan ras, duduk pada tempat yang sama. Menunggu para jagoan mereka untuk segera menari di tengah kolam. Ya, yang saat ini mereka tonton adalah olimpiade cabang loncat indah.

Lana, yang sejak pagi merutuk ayahnya, kini duduk terdiam. Topi yang dia kenakan sengaja diposisikan sedikit lebih rendah, supaya matanya tertutup. Adnan melihat tingkah putranya sambil tersenyum.

"Ayolah, ini pertandingan bagus."

Lana tak menggubris hasutan ayahnya. Alasan Lana menolak ke Aquatic Center,  karena ia hanya ingin melihat pertandingan balap sepeda. Namun ayahnya menolak. Adnan berkata kalau ia akan menunjukkan hal menarik. Sebuah entitas yang selalu Adnan ceritakan sebelum Lana terlelap. Putri duyung.

"Coba lihat papan tinggi di tengah sana."

Tangannya menunjuk pada papan setinggi tiga meter di pinggir kolam. Lalu menunjuk lorong tempat para atlet keluar.

"Dari sana para putri duyung itu keluar. Dan di menara itu mereka akan menari sebelum terbang di dasar air."

"Membosankan." Lana hanya berdecak kecil. Kepalanya dia hadapkan mengarah ke atap bangunan, tanda dia tidak tertarik.

"Percaya pada Ayah! Ini lebih menarik dari balap sepeda ... lagipula Ayah mengajakmu terbang ke Sydney bukan untuk menonton sepeda."

Mulut Adnan berhenti sejenak. Bola matanya bergulir ke atas, tanda ia memikirkan sesuatu.

"Mungkin ... ini cerita putri duyung terakhir dari Ayah. Sekaligus hadiah ulang tahunmu yang kelima tahun, sebelum Ayah kembali bekerja jauh. Oke!"

Lana menggoyangkan badan sebagai penolakan ketika Adnan hendak memeluknya. "Pergilah, jika Ayah memang ingin pergi!"

Kembali para pengunjung menyerukan nama-nama dari para atlet ketika mereka keluar untuk melakukan pemanasan. Gemuruh itu sedikit mengusik Lana yang hendak tertidur. Mulutnya terus menggumamkan ketidak-sukaannya. Meracau pedas, mengutuk orang-orang di sekelilingnya.

Di tengah stadium, wasit mulai mengarahkan para atlet untuk menyudahi pemanasan. Satu per satu atlet maju untuk mengambil nomor undian. Setelah mereka mendapat nomor masing-masing. Mereka pun duduk di tempat yang telah disediakan.

Keheningan terjadi sejenak di dalam stadium. Hingga pengeras suara memanggil para atlet sesuai nomor undian untuk segera naik ke atas papan. Penggemar dari masing-masing negara mulai menyanyikan lagu penyemangat.

Sang atlet yang kini berdiri di atas papan, mengepalkan tangannya ke atas kepala. Dia menghisap udara dalam-dalam, menenangkan diri. Pikirannya harus fokus sebelum melakukan lompatan. Begitu dia melangkahkan kaki bersiap melakukan take off, pikirannya sudah jernih, fokusnya hanya satu agar tak melakukan kesalahan. Dia melesat dan melakukan gerakan salto ke depan seraya memegangi lututnya  begitu ada di udara. Dia melakukan putaran sebanyak lima kali, dan memposisikan diri secara tegak lurus dengan kolam di bawahnya. Air yang awalnya tenang kini mengombak. Percikan air sedikit terangkat ke atas. Tanda sang atlet telah menyelesaikan lompatannya.

Topi Lana yang tadinya menutupi mata, kini tersibak dan terlepas dari kepala. Mata kecil Lana terpaku dengan gerakan dari para atlet yang mulai melompat berurutan. Adnan yang merangkul Lana hanya tersenyum puas.

"Menarik bukan? Putri duyung itu."

Lana mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk ke bawah, tak ingin ayahnya melihat ekspresi Lana saat ini. Giginya saling bergemelutuk, jantungnya berdebar dengan kencang. Dia mencoba menyembunyikan senyumannya sebisa mungkin.

"Ini baru permulaan, Lana. Setelah sesi ini berakhir, akan ada akrobatik air. Mereka akan menari di dalam air, LANA."

Adnan tak bisa menghentikan gemuruh yang juga dia rasakan. Dia merasa senang melihat kembali ekspresi anaknya. Ekspresi yang juga Lana tunjukkan empat tahun lalu. Saat Adnan menggendongnya ketika menonton olimpiade tahun 1996 di televisi. Pada waktu itu, Lana yang menangis seharian bisa terdiam ketika volume suara ayahnya menyerukan kekaguman pada sang atlet.

"Lana, lihat! Itu ibumu! Ibumu akhirnya bisa tampil di olimpiade, Lana." Yang dibalas dengan berhentinya tangisan Lana, juga kata pertama yang keluar dari mulut mungilnya.

Momen itu terus terngiang hingga saat ini. Begitu dia mengetahui kalau tempat olimpiade selanjutnya ada di Sydney. Adnan sudah menyiapkan segala kebutuhannya. Juga untuk membawa Lana ke dunia yang baru. Dunia yang membawa Adnan bertemu dengan pendampingnya. Dunia olahraga air.

*****

"Huuuaaaaahhh! Lana suka saat mereka menari, Yah!"

"Ya, ya, Ayah tahu itu."

"Saat mereka swuuussh terus pyaaashh, Lana suka itu!"

"Menarik bukan? Lebih menarik dari balap sepeda."

Lana berhenti sejenak. Dia berdiri mematung memegang dagunya, berpikir.

"Tapi, Lana masih suka dengan balap sepeda. Intinya, belikan aku sepeda sebagai pengganti hadiah ulang tahunku tahun depan."

"Oke! Ayah akan mengirim sepeda kesukaanmu nanti. Jadi, sekarang Lana harus patuh dengan ucapan nenek, oke?"

"B-baiklah, kalau itu janji Ayah."

"Saaaa, sekarang ayo kita pulang!"

Adnan segera mengangkat Lana ke udara dan menaruh pada bahunya. Lana tersenyum riang menunjukkan gigi-giginya yang rapi. Tangan kecilnya terangkat ke udara, lalu berteriak, "berangkaaaaat!"

Adnan segera berlari kecil setelah aba-aba Lana selesai dikumandangkan. Guncangan-guncangan akibat laju ayahnya, membuat Lana terkekeh.

Kegembiraan yang ditampilkan oleh ayah-anak itu, membuat para pejalan kaki di sekitarnya ikut tersenyum. Sebagian anak kecil yang melihat hal tersebut, mulai menarik lengan orang tua mereka untuk melakukan hal yang sama. Ada yang disambut dengan baik, ada pula yang terlihat risih karena rengekan anak mereka.

Kicauan burung-burung saling bersahutan. Tirai magis di langit perlahan pudar. Sang mentari melakukan toss dengan sang rembulan. Sudah waktunya untuk dia beristirahat, lebih tepatnya berotasi. Sang bulan pun tersenyum dengan gagah. Dikelilingi oleh bintang-bintang yang menyanyikan sebuah lagu penenang. Agar para manusia yang telah beraktifitas di bawah sana lekas tertidur. Menutup segala kegiatan mereka hari ini.

"Yah. Janji ya, nanti ketika Ayah pulang ke rumah lagi. Ayah bawa oleh-oleh yang banyak," pinta Lana yang terbaring di sebelah ayahnya.

"Ya, Ayah janji."

"Terus, Ayah juga harus janji ... pulang dengan selamat."

"Ya, Ayah janji."

"Lana tau itu bohong,"

Adnan memposisikan dirinya menghadap Lana. Sorot matanya tajam menatap jauh ke dalam retina Lana.

"Lihat, apa ini mata seorang pembohong?" ucap Adnan serius.

Lana hanya mendenguskan napasnya lalu berbalik membelakangi Adnan. Dia tak ingin ayahnya melihat air yang mulai merembes dari kedua mata kecil itu.

"Ayah janji. Setelah pulang nanti, Ayah akan membawamu ke rumah nenek."

"Bohong!"

"Ayah serius." Adnan menghembuskan napas panjang. Lalu mengarahkan tangannya ke langit-langit kamar hotel. "Lana akan bertemu sosok itu nanti. Lalu belajar berenang dengan Lucia. Ikut perlombaan. Ayah ingin Lana seperti itu."

Keheningan menemani mereka malam ini. Tanpa sepatah kata yang keluar. Mereka berdua terlelap dalam buaian masing-masing.

Hingga Lana terbangun dari mimpi indahnya. Dengan perasaan was-was,  dia pun menyadari ada satu hal yang tidak beres. Kini dia duduk di sebuah bangku dengan beberapa murid yang menatap nanar dirinya.

Begitu tahu Lana terbangunkan secara utuh dari tidur siangnya. Sebuah penghapus papan terlempar, tepat mengenai keningnya dengan keras. Teman sekelasnya tertegun melihat adegan itu, tak ada yang berani membuka mulut atau berkomentar.

"Saya gak suka dengan murid yang seenaknya tidur di jam pelajaran saya. Terutama kau, LANA!"

Guru sejarah segera menuju ke bangku tempat Lana duduk. Memegang telinga Lana dengan kuat, lalu berteriak dengan keras. "Keluar! SEKARANG!"

Para murid saling menegukkan ludahnya. Mereka tahu dengan pasti, mungkin saat ini telinga Lana berdengung kencang. Lirikan sang guru lantas membuat mereka kembali menghadap ke papan tulis. Hening. Yang terdengar selanjutnya hanya bunyi bantingan pintu.

Dasar pembohong.

Hanya itu gumaman yang Lana keluarkan seraya menjalani hukuman. Yaitu berdiri di luar kelas dengan satu kaki terangkat dan tangan memegang kedua telinganya secara menyilang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro