Lana ...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gila lo, Lan. Bisa-bisanya lo tidur pas pelajaran Bu Rinjani. Ya, gue tau, peringkat lo nomor lima di seluruh angkatan. Tapi, gak gini juga."

Hendra terus meracau di samping Lana yang tengah sibuk merakit sepeda barunya. Peluh mengalir di sekitar pelipis Lana. Dengan sedikit mendongakkan kepala, ia melirik Hendra yang terus berkicau.

"Ya, aku kan gak ada maksud buat tidur."

"Gak ada maksud gimana? Lo udah tidur dari sebelum Bu Rinjani masuk kelas. Lagipula, udah tau mau ada tes singkat, lo malah gowes pagi-pagi."

Lana menghentikan aktifitasnya. Sekarang ia berbaring di lantai seraya menatap langit-langit rumah dengan seksama. Matanya sesekali mengerjap guna melindungi diri dari debu yang bertebaran.

"Ya, aku kan gak kayak kalian, Hen. Aku cuma murid biasa dibandingkan dengan kalian yang punya beasiswa. Bukan beasiswa biasa lagi."

"Terus? Apa hubungannya?"

Hendra melemparkan buku catatan miliknya. Dia melangkah menuju meja buffet kecil di samping pintu. Toples berisi kue kering yang jarang tersentuh oleh sang pemilik, kini beralih ke tangan Hendra. Dia membawa toples itu ke arah sofa kecil di sampingnya.

"Kenapa lo gak ambil beasiswa itu, Lan?"

"Bukan bidangku," balas Lana singkat.

Hendra yang terus mengunyah kue kering, sesekali menunjuk bingkai foto kepunyaan Lana. Di dalam bingkai itu, terlukis Lana kecil yang tengah berlomba menuju garis akhir.

"Padahal lo ada bakat, kenapa gak diterusin? Siapa tau lo bisa kesampaian jadi atlet lari nanti, saat sudah lulus SMA. Kan, ini kesempatan langka yang diberikan oleh sekolah kita."

"Lari dari kenyataan yang ada?"

Hendra tertawa kecil mendengar balasan dari Lana.

"Lana, Lana. Dengar, ya. Gue udah akrab sama lo sejak kita masih tujuh  tahun. Ketika lo ngerengek minta pulang ke rumah lama lo. Awalnya gue ragu ... bisa berteman dengan anak kecil kayak gitu. Begitu gue tau, ternyata lo punya sikap atletis. Dan ketika lo juara di lomba lari se-provinsi untuk usia anak SMP. Gue udah pasang target buat nyeret lo ke sekolah kita sekarang."

Sekolah Lana memang bukan sekolah biasa. Karena sekolah tersebut adalah salah satu sekolah yang selalu sukses menghasilkan atlet-atlet nasional. Oleh sebab itu, para donatur dan sponsor sering mengucurkan biaya pengadaan untuk meningkatkan fasilitas-fasilitas berbau olahraga.

Namun tidak sedikit pula siswa non-akademik yang juga memiliki prestasi tinggi pada pelajaran verbal, meski mereka terfokus pada bidang non-akademik. Selain itu, kebanyakan siswa di sana adalah pemegang beasiswa jalur olahraga. Salah satunya Hendra, pemegang beasiswa dibidang sepak bola.

Bola basket, bola voli, sepak bola, bulu tangkis, tennis, track and field adalah beberapa bidang olahraga yang menjadi sorotan di sekolah tersebut. Sekolah itu juga membebaskan para siswanya untuk tinggal di asrama sekolah ataupun tinggal di rumah mereka sendiri. Seperti Lana yang enggan untuk tidur di asrama. Menurutnya, jika dia menetap di sana, kebebasannya akan sedikit berkurang.

"Aku cuma bisa bersepeda, Hen. Gak macam kalian yang jago olahraga."

"Ngehindar mulu."

"Terserah apa pendapatmu ... mau kopi gak?" tawar Lana yang beranjak menuju dapur.

"Cappuchino. Tambahin gula aren, ya."

Lana segera menggiling biji robusta yang dia miliki. Tak lupa dia pun menghidupkan teko listrik. Sembari menunggu airnya mendidih. Dia juga memanaskan susu murni hingga menyentuh angka 70 derajat celcius. Alat selanjutnya yang dia ambil adalah french press dan aeropress dari rak di atas meja.

Begitu air mulai mendidih, dia menyiapkan kopi yang telah digiling pada aeropress dan menyeduhnya secara perlahan. Kemudian ia memasang penutup alat itu, ditaruhnya di atas permukaan gelas lalu dia tekan dengan cukup tenaga  hingga tetesan kopi jatuh ke dalam gelas. Susu yang tadi ia diamkan sejenak, kini dikocok melalui french press agar menciptakan busa-busa halus. Setelah memastikan tidak ada busa kasar pada susu, dia lanjut menggambarkan pola pada cangkir berisi esspreso tadi.

"Gula arennya ada di laci sampingmu. Ambil sendiri."

Hendra segera mengambil toples kecil berisi gula aren dari laci meja tempat Lana menyimpan kue kering yang dia makan tadi. Setelah meletakkan secangkir cappuchino di meja samping Hendra, Lana mengambil tape untuk dibalutkan pada stang roadbike miliknya sebagai sentuhan akhir perakitan.

"Lan, gue masih penasaran. Kenapa lo suka banget sama sepeda, terus beli sepeda baru lagi. Bukannya lo udah punya MTB?" tanya Hendra sembari menyesap isi cangkirnya setelah dicampur gula aren.

"Biar ada variasi. Lagian juga beda fungsi. Aku mau gowes ke jalan tol pake roadbike ini," balas Lana simpel hingga membuat Hendra tersedak.

"Gila, lo! Kalo ditangkep dishub gimana?"

Lana memutarkan bola matanya sebelum melirik tajam Hendra.

"Aku ngerti resikonya, santai aja."

"Terserah deh, Lan. Kalo ada apa-apa gue gak bisa bantu ...." Hendra menghentikan kalimatnya untuk menyesap lagi kopinya. "Setidaknya jangan sampai cedera kalo lo jatuh."

"Jadi, sekali lagi gue tanya. Kenapa lo suka banget sama sepeda?"

Lana menghela napas panjang.  Sebenarnya dia malas mengingat lagi kenangan dengan ayahnya. Namun mau tak mau, dia harus bisa berdamai dengan masa lalu itu.

*****

Perth, 20 November 2000

Hari itu, Lana duduk termenung di ayunan halaman belakang perumahan. Sudah sebulan lebih sejak ayahnya pergi bekerja di laut. Wajahnya yang murung tak kunjung cerah. Terik mentari yang bersinar tak mampu menembus gelap di mata Lana. Berulang kali anak-anak di perumahan mengajaknya bermain. Namun hal itu tak diindahkan oleh Lana.

Segala hal berbau olimpiade yang kemarin dia datangi, kini berakhir di tong sampah. Jika ada yang bisa menenangkan dia saat ini, adalah keberadaan ayahnya.

Pagi tadi, pembawa koran memberikan sebuah kabar pada sang nenek. Dua hari lalu, kapal pesiar yang ditumpangi Adnan mengalami kebakaran di laut lepas. Lana yang saat itu tengah memakan sereal paginya, terdiam. Nenek segera memeluk Lana yang mematung. Tangan tuanya bergetar, mencoba menenangkan cucu semata wayangnya.

"Nek, ayah pasti pulang, kan?" tanya Lana. Dia tak ingin menjatuhkan air matanya.

"Ayah gak akan bohongin Lana, kan?"

Nenek masih memeluk Lana dengan erat. Hingga telepon rumah berdering, memaksa nenek untuk mengangkatnya.

Lana tidak mengetahui informasi apa yang neneknya terima. Akan tetapi jika dilihat dari ekspresi sang nenek ketika mendengar si penelepon. Kekhawatiran Lana semakin menjadi.

Begitu gagang telepon dikembalikan pada sangkarnya. Nenek mencoba tersenyum ke arah Lana. Bocah itu mencoba memakan kembali sereal yang dia tinggalkan. Namun, rasanya tak lagi sama. Rasa manis yang dia rasakan menghilang.

"Lana," panggil nenek dengan suara paraunya.

"Ayah kamu akan pulang, Nak."

"B-bohong."

"Kamu jangan bersedih, ya. Lana anak yang kuat, anak yang pintar."

"Nenek bohong!" Lana menampik mangkok di depannya hingga terjatuh ke lantai.

Lana segera berlari ke kamarnya mengurung diri. Tangannya dengan kasar memporak-porandakan isi meja. Bingkai foto, scarf, topi, mainan, semua dia lempar kesana-kemari. Tangisan yang dia tahan sejak tadi pecah segaduh-gaduhnya. Rengekannya pun semakin kencang tatkala dia tak lagi bisa bertemu Adnan.

Lana mencengkram foto berisi ayah dan ibunya yang tersenyum menggendong Lana saat masih bayi. Dibuangnya foto-foto itu ke tong sampah. Nenek yang sedari tadi mengetuk pintu kamar hanya pasrah melihat cucunya bersedih.

Lana segera menerjang kasur dan menenggelamkan wajahnya. Mulutnya mengatup, hidungnya penuh dengan ingus, matanya sembab kehabisan air yang tak lagi mampu membasahi pipi Lana.

Selama hampir dua minggu Lana merasakan kebosanan yang hebat. Perkataan para guru di sekolahnya, seakan lenyap tak berbekas. Dia juga tidak pernah membalas, saat para perundung memukulinya dan menyiram Lana ketika buang air kecil. Empati dari para sahabat juga sering ditampik oleh Lana. Pembohong, hanya kata itu yang terus keluar dari mulut Lana.

Begitu bus sekolah berhenti di pemberhentian ujung jalan menuju rumah. Kaki Lana seakan direkat dengan kuat oleh gravitasi. Satu mobil ambulan dan beberapa mobil sedan hitam terparkir di depan rumahnya. Lana enggan untuk pulang. Langkahnya berbalik dan pergi menuju taman. Bersamaan dengan pecahnya tangisan bocah itu yang telah ditahan sejak lama.

Derit besi ayunan menggema. Burung-burung juga ikut melantunkan melodi sendu. Beterbangan menuju ufuk selatan.

"Lana."

Seorang gadis memanggil. Rambut coklatnya yang lurus sebahu, ia kuncir menyamping. Gadis itu pun ikut duduk di ayunan sebelah Lana.

"Kenapa tidak pulang? Nenek dan keluarga yang lain mencarimu."

Gadis itu menoleh ke arah Lana yang terus-terusan melamun. Tangannya menepuk pelan bahu Lana. Tentu Lana kecil terkejut.

"Lucia, di sini."

"A-ada apa Kak Lucia?"

"Aaahh, akhirnya kamu bicara juga."

Lucia tersenyum, tangannya dengan kasar mengacak rambut Lana.

"Kakak, sungguh merindukanmu, Lana."

"Auh! J-jangan acak rambut Lana."

Lucia mengubah posisi dan berjongkok di depan Lana.

"Lana tahu? Paman Adnan mengirim surat buat Lana, lho." Gadis itu merogoh sakunya dan memberikan pocket book kepada Lana.

"Biar Kakak saja yang meneruskan impian paman. Coba Lana baca."

Lana membuka catatan itu dengan pelan.

'Yooo! Lanaku yang terhebatApa kabar? Apa Lana merindukanku? Ahahaha, maaf ya Lana. Kemarin Ayah tidak bisa mengajakmu ke lintasan balap sepeda. Karena apa? Ayah ingin Lana bisa seperti ibu. Menjadi seorang perenang, tentu saja. Tapi Ayah tahu, itu bukan keinginanmu. Jadi, maafkan keegoisan Ayah selama ini.

Lana tahu, di kampung halaman Ayah ada banyak sepeda yang Lana inginkan. Kalau memang itu bisa dianggap sebagai permintaan maaf dari Ayah. Lana bisa memiliki semuanya. Mungkin, ayah tidak bisa kembali untuk waktu yang lama. Maka dari itu, anakku, teruslah tersenyum. Ayah akan selalu ada di sampingmu.

PS :
Kalau Lana memang tidak bisa jadi perenang. Biarkan Lucia saja. Dia pasti akan jadi putri duyung yang keren seperti ibumu, hehe.'

Lana tersedu membaca tiap baris dari catatan milik ayahnya. Tiap goresan di catatan itu menunjukkan betapa sayangnya Adnan kepada Lana.

"Jadi, Lana mau pulang?"

Lana mengangguk pelan. Lucia dengan senang hati menggandeng Lana supaya tidak kabur lagi. Dalam perjalanannya, Lucia menceritakan sebagaimana rasa kagum dirinya pada ibu Lana. Dan setelah membaca catatan tersebut, Lucia tidak bisa menghentikan ekspresi bahagianya.

"Lana tahu? Bibi Priscilla itu atlet yang anggun. Disetiap gerakannya saat berenang, seakan-akan air ikut tunduk padanya. Tidak ada yang bisa menyamai keanggunan ibumu. Sepertinya itu yang membuat paman jatuh hati, dan mendukungnya sekuat hati."

"Lana tahu itu."

"Oh ya?"

"Ayah memang bodoh dan langsung menjerit tiap kali melihat rekaman ibu."

"Oho! Rupanya Lana sudah kembali ke daratan. Hahaha," canda Lucia dengan mencubit pipi gemul Lana.

"Auh, h-hentikan."

Lana balas menyikut pinggang Lucia. Yang diakhiri dengan gelak tawa mereka berdua. Sebelum mereka memasuki rumah kediaman keluarga Northangle. Lana menghentikan langkahnya. Beribu pertanyaan ada dalam kepalanya. Seakan tahu keresahan Lana, Lucia kembali berjongkok dan memandang lekat bocah itu.

"Ada yang mau Lana katakan padaku?" tanya Lucia dengan mata berbinar.

"U-umm, Lana mau Kak Lucia berjanji satu hal."

"Apa itu?"

"Lana mau lihat kakak ikut olimpiade nanti. Lana mau kakak jadi putri duyung seperti ibu."

Lucia tersenyum lebar. Ia lalu mengaitkan kelingking kanannya ke kelingking tangan Lana.

"Oke, Kak Lucia janji! Tapi aku juga punya permintaan buat Lana. Aku mau ... Lana menggantikan impianku untuk mengumpulkan orang berbakat," balas Lucia penuh semangat.

"Orang berbakat?" Rupanya permintaan itu sedikit membuat Lana kebingungan.

"Iya, karena aku punya harapan untuk membuat sebuah kelompok berisi manusia berbakat dan mengguncangkan dunia."

"Orang yang seperti apa itu, Kak Lucia?"

"Para-athlete."

Lucia segera bangkit dan mengajak Lana masuk ke dalam rumah. Lana yang masih mencerna kalimat Lucia, hanya tersenyum kecil. Entah dia akan paham atau tidak. Tapi baginya impian itu akan terus Lana ingat  hingga dewasa.

***

"Dan sisanya, kau tahu sendiri."

Lana menutup ceritanya dengan santai. Hendra yang mendengar kisah Lana, menitikkan air mata palsu. Lana segera melempar buku tepat ke muka Hendra.

"Basi air matamu, hahaha."

"Eits! Santai kawan, santai. Ngomong-ngomong kenalin sama sepupu lo itu dong! Si Lucia Northangle."

"Materi Bahasa Inggris aja masih remedial mulu. Minta dikenalin ke Lucia. Makan keju dulu sana!" ejek Lana sembari cekikikan.

"Ya, kalo masalah bahasa ... gue emang nol, Lan. Tapi beda sama cewek dan bola."

"Justru itu jadi alasan khusus buatku gak ngenalin Lucia."

Lana tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah sewot Hendra. Entah sudah ke-berapa kali Hendra menunjukkan wajah itu. Namun tetap saja akan terus menciptakan gelak tawa bagi yang melihat.

"Ya sudahlah. Gue ke asrama dulu. Jangan lupa tes senin depan."

"Oke, hati-hati di jalan. Nanti ada cewek kau tabrak lagi saking ngebutnya. Hahaha."

"Berisik lo."

Hendra berpamitan lalu pergi menghidupkan mesin motor. Sesekali kepalanya menoleh dan melihat Lana masih menertawakan dirinya. Mulut Hendra selalu mencibir kelakuan sahabatnya itu ketika sudah stres. Dia pun segera melaju hingga tak lagi dalam jangkauan penglihatan Lana.

Tentu, Lana telah memikirkan hal ini jauh-jauh hari. Tidak ada yang harus ditutupi lagi. Setidaknya masih ada satu rahasia yang belum Lana ceritakan pada Hendra. Tentang bidak yang menari-nari di atas telapak tangannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro