Twins ...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tes sejarah sedari jam pertama usai dengan banyak kerisauan tercetak di antara para murid kelas 2-8. Meski tes berupa 15 soal essai. Otak mereka semua seperti ingin meledak. Sumbunya telah menyala sejak pengumuman tes berlangsung lebih cepat. Hanya karena Lana yang tertidur di kelas Hari Jum'at kemarin.

Setelah Bu Rinjani keluar dari kelas. Semua tatap mata dalam ruangan itu menuju ke arah Lana. Sedang Lana hanya menguap dengan nikmat. Merasa hawa-hawa mencekam menusuk mata batinnya. Lana memasang ekspresi senyum canggung  ke arah teman sekelasnya.

"Hehe."

"Hehe, kepalamu!" bentak ketua kelas mendobrak meja. "Gara-gara KAU! Kita semua kena imbasnya!"

"Santai kawan, santai. Tenangkan diri dulu, oke?" tawar Lana yang merasa tersudut.

"Mana bisa santai!"

Siswa yang lain ikut menyuarakan keresahan mereka. Ada yang memukul-mukul telapak tangannya. Ada yang menangis takut nilainya jelek. Ada yang merapal kutukan pada Lana. Ada pula yang menertawakan nasib Lana, si Hendra.

"Diem kamu Hendra!"

Icus berdiri dari posisi duduknya, lalu memukul kepala Hendra dengan buku tebal. Hendra meringis kesakitan, nyalinya menciut bila berhadapan dengan Icus. Langkah gadis itu segera menuju bangku Lana. Matanya yang sipit membelalak tajam. Tangannya dengan sigap memukul kepala Lana tiga kali dengan buku yang sama.

"Lain kali kamu mengacau lagi di jam Bu Rinjani ... kupatahin lehermu!"

Terakhir sebelum dia kembali ke mejanya. Icus masih sempat menginjak dengan keras kaki kanan Lana.

Suasana kelas kembali kondusif tatkala pintu terbuka dan jam pelajaran sejarah berganti matematika. Lana menunduk, meniup kakinya yang terinjak. Saat ingin kembali menghadap papan tulis, belakang kepalanya terbentur sisi dalam meja. Hendra yang mengamati tingkah laku Lana dari kursi belakang melanjutkan tawanya. Namun sekali lagi buku tebal Icus mendarat dengan sempurna di kepala Hendra.

Dari enam kelas di angkatan 49. Kelas 2-8 memang terkenal dengan siswa-siswanya yang serius dalam hal akademik. Sejumlah 5 dari 25 total murid selalu mendapat posisi sepuluh besar. Salah satunya adalah Lana. Oleh sebab itu, persaingan dalam perolehan nilai di kelas ini terbilang cukup sengit. Ah, atau mungkin dari seluruh angkatan ke-49.

Bukan berarti baik dalam bidang akademik saja. Hampir dua per tiga kelas mendapat nilai di atas rata-rata untuk bidang olahraga yang mereka ambil.

Kepala sekolah selalu menjunjung tinggi semangat sportifitas. Beliau membebaskan para siswanya untuk  memilih antara akademik maupun non-akademik. Beliau sering mengadakan inspeksi keliling guna memberikan semangat bagi para murid. Meski itu dianggap sebagai teror oleh mereka.

Bunyi bel istirahat berdentang. Selama 90 menit mereka mendapat waktu luang sebelum kelas bakat dimulai. Karena memang tujuan sekolah ini berdiri untuk mencetak atlet-atlet nasional. Kelas di sekolah ini terbagi menjadi dua, pagi dan siang. Kelas pagi diperuntukkan pelajaran akademis. Sedangkan kelas siang adalah waktu bagi mereka berlatih mengasah bakatnya.

Lana sendiri belum menentukan kelas manapun. Karena satu alasan yang hanya bisa dimengerti oleh kepala sekolah dan izin direksi. Jadi dia dibebaskan untuk mengikuti kelas apa saja demi menambah nilai. Tentu saja dengan satu syarat absolut.

Tidak sedikit teman-temannya memandang rendah Lana. Mereka selalu beropini, seakan-akan Lana menyepelekan bakat yang ia miliki. Dan membuang-buang waktu dengan menghadiri satu kelas ke kelas lain setiap harinya.

"Lan, makan yuk," ajak Hendra setelah sebelumnya mencoba berdamai dengan Icus.

"Nitip dulu aja, sisihin satu kursi kosong. Ada yang mau kuurus," balas Lana sambil menguap lebar. Dia lantas berdiri dan keluar menuju gym basket. 

"Ke mana?" tanya Hendra yang mengekor di berlakang Lana.

"Si kembar," jawab Lana santai sambil menggigit sepotong biskuit penambah energi.

"Tunggu ... maksud lo si kembar itu, yang mana?"

Hendra mencoba mengingat tiap anak kembar di sekolah ini.

"Pandu-Panji?" tanya Hendra memastikan.

"Bukan. Mana ada aku dekat dengan mereka. Yang ada kau, Hen. Kan mereka berdua tim sepak bola."

Belum sempat Hendra mengajukan kembali pertanyaannya. Para anak kelas satu berteriak histeris ketika sepasang anak kembar berjalan menuju gedung basket.

Dengan tinggi 186 cm dan 174 cm, mereka berdua menjadi idola bagi para junior. Yang sebelah kanan, sang kakak. Pemuda dengan tubuh atletik berparas tampan, tengah asik melakukan pemanasan ringan. Dan yang sebelah kiri, sang adik. Gadis berkarakter dingin yang selalu membuat iri para koleganya.

"Mereka?" tunjuk Hendra ke arah dua orang itu. Lana mengangguk pelan.

"Ngapain?! Dan sejak kapan lo berteman sama mereka!" teriak Hendra memekakkan kuping Lana.

"One on One," balas Lana singkat meninggalkan Hendra yang tertegun dan berbalik arah menuju kantin.

Sesampainya di dalam gedung yang baru berisi tiga orang. Lana mengambil posisi untuk siap melakukan pemanasan. Si kembar yang merasakan ada hawa keberadaan orang lain, segera melempar bola ke arah orang tersebut. Yang tentu saja diterima dengan baik oleh Lana.

"Oi," sapa Lana. Dia memantul-mantulkan bola basket ke lantai sembari berjalan mendekati mereka.

"Yaelah, kirain siapa. Ternyata Lana lagi, Lana lagi," oceh Billy menerima passing dari Lana.

"Ada apa? Mau tanding lagi?" tanya Bella ketus. "Bukannya lo udah kalah lima belas kali dari Billy kemarin?"

"Kan, baru lima belas, hehe," balas Lana cengengesan.

"Tenang Bel, ini akan jadi kekalahannya yang ke-16," ucap Billy melebarkan lengannya di depan sang adik. Sorot matanya menjadi serius seperti elang yang mendapat mangsa.

Bola dilemparkan dari dalam oleh Billy. Dilanjutkan Lana yang memulai gerakan offensif. Setelah tiga langkah dribble, Lana mencoba menembak dari luar garis. Tembakannya meleset dan segera di-rebound oleh Billy.

"Seperti biasa, tembakan pertama selalu ngincar tiga poin. Metode yang lo pakai gak pernah ganti."

Kini beralih Billy yang menyerang. Lana melebarkan kedua tangannya mencoba menjadi penghadang. Namun bukan kapten tim basket, jika Billy tidak bisa menghadapi pertahanan selemah itu. Dengan cepat dia berhasil melewati Lana dan dalam dua langkah ia mencetak angka pertamanya.

Lana mencoba memperbaiki posisi pertahanannya. Billy menyunggingkan senyuman melihat postur itu. Dia pun menembak dari luar garis. Bola melambung tinggi di atas Lana dan menukik ke dalam ring.

Angka demi angka terus diraih oleh Billy. Meski Lana sempat mencuri bola dan menembak. Bola itu terus meleset dari targetnya. Selama tiga kali permainan, Lana tak pernah berhasil mencetak angka. Hasil poin akhir dari setiap permainan adalah 17-0, 20-0, dan 14-0.

Bella berjalan mendekati mereka berdua sambil membawa botol air penambah ion. Dia memberikan yang satu pada kakaknya, sedang sebotol lagi dia lempar tepat di pangkuan Lana.

"Makasih," ujar Lana seraya mengatur napasnya yang memburu. "Tapi kenapa harus dilempar?" protesnya pada Bella.

"Udah minum aja!"

Seperti tersengat listrik 100.000 volt. Diteguknya air dalam botol dalam sekali tarikan. Tentu saja membuat Lana terbatuk-batuk setelahnya.

"Hahaha. Lo masuk kelas apa nanti siang?" tanya Billy yang juga meminum air di botolnya. "Itu kan botol yang tadi lo minum, Bel? Kenapa dikasihin ke dia?"

Mendengar hal itu, mata Lana melotot lebar. Dia memandang Bella meminta pengampunan. Bella hanya menjulurkan lidahnya sebagai jawaban.

"Diem ah, Bil! Gak seru!" gerutu gadis itu menjewer telinga Billy.

"Adudududuh."

"Diem lo, Lan! Jangan banyak tanya!"

Lana yang tidak bertanya apapun tertunduk kisut. Dalam batinnya dia hanya merutuk gadis itu dengan berbagai hujatan.

"Aku mau ambil nilai lompat tinggi nanti siang," ucap Lana mencoba mengabaikan Bella.

"Oh, Track and Field," balas Billy seraya memikirkan sesuatu.

"Nitip salam, ya? Ke Suci, hehe."

"Hah? Aku gak salah denger nih?"

Lana menatap Billy keheranan saat mendengar nama Icus keluar dari mulutnya.

"Iya, Suci. Kenapa emang?" tanya Billy sedikit memprotes.

"Gak, gak, gak. Aku cuma heran. Orang macam kau ini. Yang keren, jago, kapten tim basket, terkenal, dan disukai banyak junior. Nitip salam ke pembunuh berdarah dingin itu?"

Sepersekian detik kemudian bola melayang tepat ke muka Lana. Head shot. Bella tersenyum kecil mencoba tidak tertawa. Darah sedikit keluar dari lubang hidung kanan Lana.

"Suci itu ...," belum sempat Bella melanjutkan kalimatnya. Billy membungkam mulut saudaranya.

"Jangan buat gue malu, Bel."

"Ngomong-ngomong, kapan liga basket SMA selesai?" tanya Lana seraya mengusap hidungnya yang berdarah.

"Bulan depan finalnya. Dan seperti biasa SMA Karya Bakti poinnya di atas sekolah kita," jelas Billy

"Setelah liga selesai, kami berdua akan ikut seleksi tim nasional U-17," tegasnya.

"Baguslah. Semoga kalian beruntung."

Lana melirik sedikit ke Bella yang sedari tadi menatapnya tajam. Bulu kuduknya merinding. Dia pun segera pergi dari tempat itu.

Bella tidak mengalihkan pandangannya dari punggung Lana yang menjauh. Sorot matanya terus memperhatikan tiap langkah yang diambil pemuda itu. Ukiran senyum terlukis di wajahnya.

"Bel, jujur saja," ungkap Billy seraya menepuk bahu adik kembarnya.

"Kamu suka Lana, kan?"

Bella mengepalkan tangannya dan dia jatuhkan di kepala Billy.

"Bodoh! Siapa juga yang suka cecunguk macam dia!"

"Tak mau jujur rupanya," gumam Billy selirih mungkin.

Billy tahu semua hal tentang saudarinya. Karena mereka kembar tentunya. Apa yang dirasakan oleh yang lain, secara otomatis saudaranya juga ikut merasakan.

Jika di luar, adiknya menunjukkan sikap dingin dan keras kepala. Lain hal ketika mereka berdua sendirian. Popularitas mereka sungguh berbanding terbalik dengan kepribadian aslinya. Billy selalu menunjukkan sisi keren agar orang lain tidak menghujat adiknya. Bella pun juga sama, bersikap dingin kepada orang lain agar tak ada yang menginjak harga diri kakaknya.

Sebenarnya Bella mirip dengan gadis-gadis lain yang seumuran. Dia tidak peduli dengan rumor simpang siur tentang dirinya. Bagi Bella, sosok Lana sudah cukup memberinya semangat untuk bekerja keras pada bakat yang ia miliki. Bella masih belum melupakan saat pertama kali mereka berdua dikalahkan oleh amatiran seperti Lana  setahun yang lalu.

Kembali ke awal seleksi pendaftaran siswa baru. Bella dan Billy iseng berkeliling. Menjejalkan setiap inchi dari calon sekolahnya ke dalam ingatan. Mereka berdua beradu komplimen atas apa yang mereka saksikan.

Decit sepatu yang saling melepas rindu dengan lantai. Tetesan peluh jatuh menghujam. Deru napas dari para murid. Hawa panas yang secara berkala semakin menambah gejolak hasrat. Teriakan kemenangan kala bola berhasil memperdaya sang lawan.

Mata mereka berdua terpana kala melihat pemandangan tersebut. Langkahnya tertuntun perlahan memasuki gedung fasilitas olahraga basket.

Kaki mereka terhenti tatkala seorang yang diperkirakan seumuran dengannya, melompat melewati bangku penonton penuh percaya diri. Telunjuk kanan pemuda itu mengacung tinggi. Dengan satu hentakan keras. Pemuda itu berlari mengejar bola yang keluar dari area lapangan. Tak hanya itu, begitu tangan kanannya menangkap bola. Secepat itu pula dia memutar badan, beralih menuju dalam lapangan setengah berlari. Pemuda itu berhenti tepat di tengah lapangan. Tangannya mendekap erat sang bola di depan dada. Meringkuk sedikit maju ke depan, dalam posisi bersiap untuk menembak.

Whoa? Serius dia mau melempar dari jarak itu?

Bola kini berada tepat sejengkal di atas kepala. Tumpuan kakinya semakin berat akibat pusat keseimbangan berpindah ke kaki. Dengan sekali gerakan kuat. Lututnya menekuk mengumpulkan gaya pegas yang besar. Badan pemuda itu bergerak ke atas, dia melompat setinggi 45 cm. Tangannya bak pelontar yang siap menembakkan peluru. Bola pun melayang dengan jalur hiperbolik yang membumbung tinggi. Semua mata terperangkap ke dalam alur yang dia ciptakan. Akibat tak ada bisikan-bisikan lain di ruangan besar itu. Suara khas bola basket yang masuk ke dalam ring terdengar sangat nyaring.

"Sekali lagi," ucap kapten tim bola basket pada si pemuda yang hendak pergi.

Si pemuda hanya mengacungkan telunjuk kanannya ke atas di samping kepala. Sang kapten melempar bola dengan tekanan kuat pada pemuda itu. Yang tentu saja bisa ditangkap dengan mudah.

Dia mengulangi gerakan yang sama beberapa saat lalu. Embusan napas yang panjang, dia hempaskan dalam sekali tarikan. Tanpa basa-basi lagi, dia meluncurkan bola pada jalur yang sama. Bedanya jarak pemuda itu dengan ring di ujung lapangan sedikit lebih jauh dari titik sebelumnya. Bola kembali masuk dalam pelukan gawang. Jatuhnya bola tepat di tengah ring, tanpa ada pantulan. Bella dan Billy yang melihat adegan itu bersumpah untuk mengalahkan dia.

Bella menepuk pundak saudaranya pelan.

"Ayo, berlatih lebih giat untuk mengalahkan dia di awal semester nanti."

Bella berbicara penuh percaya diri, tanpa dia ketahui kalau ternyata pemuda tadi bisa dia kalahkan dengan mudah di masa depan. Benar-benar gerakan seorang amatir dalam permainan basket.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro