05. Enterance

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🌷행복한 독서🌷

📍Seoul Convention Center, Gangnam-gu

Limosin yang mengantar Hana berhenti di sebuah gedung konvensi di kawasan elit Gangnam. Baru sebelah kakinya turun dan mobil, Hana sudah dibuat terhipnotis dengan desain konstruksi bergaya futuristik di hadapannya. Stuktur bangunan yang didominasi oleh bidang vertikal yang saling bersinggungan mengingatkan Hana pada arsitektur Aqua Tower di USA.

"Ini sungguh menakjubkan!" Hana berdecak kagum. Putra walikota Seoul itu rupanya tidak salah memilih tempat kencan. Hana suka dengan sesuatu yang manis-kecuali kata-kata Siwoo, tetapi ia tidak senang dengan hal-hal dramatis. Bagi Hana, gedung dengan tata ruang yang simpel dan unik itu berhasil melampaui standar penilaiannya.

Jankkamman. Apa tadi? Kencan? Hana menepuk dahi. Sepertinya ia terlalu takjub sampai pikirannya melantur.

Setelah merapikan gaun, Hana kemudian melangkah masuk dengan anggun. Ketukan stiletto open toe yang tampak ketika gaunnya tersibak beradu dengan lantai granit mengilap akibat bias cahaya lampu. Interior gedung yang didominasi oleh warna perak dengan washer lamp tertanam di celah dinding dan langit-langit membuat Hana sesaat melupakan acara makan malam dengan sang putra walikota.

Tidak butuh waktu lama bagi Hana untuk menyita atensi dari orang-orang yang ada di sana, termasuk dua orang front liner yang bergegas menghampiri.

"Selamat malam. Ada yang bisa kami bantu, Nona?"

"Ya." Hana mengusahakan senyum, meski jantungnya mulai berdebar tak keruan. Ia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan undangan yang dikirimkan Siwoo.

Dua orang penyambut tamu di depan Hana sama-sama terbeliak sebelum membungkukkan badan dengan santun. Satu di antara mereka kembali ke meja resepsionis, sementara satu orang yang lain mengarahkan Hana pada lift.

"Omo! Apakah dia calon istri putra walikota?" Seorang pelayan berbisik pada resepsionis yang baru saja mengabarkan kedatangan Hana pada rekannya di lantai atas melalui sambungan telepon.

Sang resepsionis mengamini. "Katanya dia seorang bekerja di rumah sakit besar."

"Jinja? Apakah dia seorang dokter?"

"Sepertinya begitu. Putra walikota sangat beruntung."

Sangat beruntung? Hana yang mendengar suara saling berbisik di belakang punggungnya terkesiap sendiri. Ia jelas tidak setuju dengan asumsi orang-orang yang menganggapnya berprofesi sebagai seorang dokter hanya karena bekerja di rumah sakit. Memangnya orang yang bekerja di rumah sakit hanya dokter? Ada puluhan profesi lain yang memiliki peran esensial untuk menggerakkan roda pelayanan rumah sakit. Akan tetapi, dibanding memberi klarifikasi atas profesinya, Hana lebih terusik lagi dengan ungkapan "sangat beruntung" yang dikatakan sang resepsionis.

Apa putra walikota Seoul itu sangat-sangat mengerikan? Hana bergidik dalam hati. Ia tidak bermaksud menilai orang hanya dari penampilan luarnya saja, tetapi pikiran rasional Hana menolak mentah-mentah anggapan bila cinta itu buta.

"Anda bisa terus ke lantai 9, Nona." Resepsionis di sebelah Hana berujar ramah kemudian menunjuk elevator di sisi kanan yang terhubung dengan hall depan di setiap lantai. "Lantai 9 sudah direservasi."

"Reservasi satu lantai?" Hana berbalik cepat. Belum sempat mengkonfirmasi, pesan dari Siwoo sudah lebih dulu muncul di ruang obrolan ponselnya.

"Siwoo oppa keterlaluan! Kejutan, katanya?!"

Hana menahan diri untuk tidak mengumpat layar ponselnya yang menampilkan stiker wajah Siwoo. Ya, Hana memang terkejut. Sangat terkejut sampai nyaris terkena serangan jantung. Bagaimana mungkin mereka-dirinya dan putra walikota Seoul-hanya berdua saja dalam satu lantai? Hana tidak bisa membayangkan seperti apa kecanggungan yang akan terjadi. Sayang, ia tidak bisa lagi menarik kakinya mundur dan pergi dari sana.

"Tahu begini, aku bisa beralasan ada pasien urgent di rumah sakit! Siwoo oppa benar-benar menjebakku! Lihat saja, aku akan membalasnya!"

Hana menarik napas dalam-dalam kemudian melangkah menuju lift. Namun, beberapa langkah sebelum melintasi pintu kabin, mendadak bulu romanya meremang. Hana merasakan sebuah tatapan menusuk menghujam punggungnya.

"Nugu?" Hana berbalik dan mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Beberapa orang sempat menoleh ke arahnya, tetapi ia merasa tatapan barusan tidak berasal dari salah-satu di antara mereka. Hana terbiasa mendapat perhatian dari orang-orang, tetapi ada hal dari kerumunan orang tersebut yang memantik pusat kewaspadaan di otaknya. Hana merasa seperti sedang diperhatikan diam-diam.

"Ada apa, Nona?"

Pertanyaan sang resepsionis menyentakkan lamunan Hana. Ia menggeleng pelan kemudian memutuskan masuk ke dalam lift. Hana menekan nomor lantai tujuannya dengan jantung berdebar, entah karena gugup sebab akan bertemu mata dengan putra walikota Seoul beberapa detik lagi, atau karena firasat buruk yang tiba-tiba menyelimuti pikirannya.

Sementara itu, barisan front liner sedang dikejutkan oleh telepon dari pihak keamanan hotel. Resepsionis yang baru kembali selepas mengantar Hana menyeruak, berusaha mencari tahu apa yang terjadi.

"Di mana tamu VIP tadi! Di mana calon istri putra walikota Seoul!"

"Di-dia ... dia barusan masuk ke dalam lift. Ada apa?"

"Tidak mungkin! Elevator itu sudah dibajak!"

Sang resepsionis refleks menutup mulut dengan kedua tangan. Baru beberapa saat yang lalui ia mengagumi Hana setengah mati, rupanya perempuan tersebut sedang dalam bahaya.

"Kim Hana! Jangan masuk ke sana!"
Dari elevator di sisi kiri gedung, putra walikota Seoul menghambur keluar dengan wajah panik.

Hana yang sedang mengirim pesan pada Siwoo untuk membatalkan acara malam itu sempat menengok keluar begitu mendengar seseorang menyerukan namanya. Akan tetapi, sebelum sosok itu menampakkan diri, pintu telah tertutup.

"Andwae! Buka pintunya!" Putra walikota Seoul menggedor pintu dari luar sambil menekan open button, tetapi upayanya tidak berhasil.

Adapun di dalam kabin yang mulai bergerak, Hana berjengit kaget ketika bunyi melengking terdengar sesaat setelah lampu indikator di atas pintu menyala.

"Ada apa ini?" seru Hana panik. Ia menekan tombol di panel ketika kabin terasa berguncang, berharap hal tersebut akan menahan lift agar tidak naik dan berhenti di lantai terdekat. Namun, listrik di dalam kabin tiba-tiba padam. Lift berhenti di pertengahan jalan. Lampu darurat yang berpendar menyilaukan mata menjadi satu-satunya sumber penerangan bagi Hana untuk mencapai interkom dan meminta bantuan.

Di tengah suasana yang panas dan pegap, Hana terduduk kepayahan. Udara yang mulai jenuh dengan karbon dioksida terasa mencekik. Dalam keadaan setengah sadar, Hana masih sempat memperhitungkan bobot badan dan ketinggian kabin untuk menaksir tegangan pada katrol penggerak. Akan tetapi, tali baja yang telah disabotase semakin lama semakin merenggang hingga pada titik tertentu saat Hana sudah mulai kehabisan napas, lift meluncur turun dengan kecepatan hinggi. Hana merasakan tubuhnya seperti melayang di udara bebas, sesaat sebelum semuanya diliputi kegelapan.

"Tidaaak! Kim Hanaaa!"

🌷🌷🌷

📍Hanyang-1719

Hoo Yeon duduk di pinggir sungai sambil menghitung pola gelombang yang tercipta dari riak air saat batu kecil dalam genggamannya lepas landas. Sebuah lencana yang dibiarkan tergeletak di atas rerumputan terlihat mengilap tertimpa cahaya bulan. Malam itu adalah purnama ketiga setelah peristiwa yang menjungkirbalikkan kehidupannya. Malam di mana seseorang harusnya sudah bangun dari tidur panjang. Sayang, dia yang dimaksud tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan membuka mata.

Semakin mendekati pertengahan malam, tarikan napas Hoo Yeon terasa semakin sesak. Pilu dan nestapa seakan memeluk erat batinnya hingga tidak ada lagi kebahagiaan yang tersisa. Hoo Yeon merasa sedih, marah, tetapi juga tak berdaya.

"Hoo Yeon, lihat mataku! Angkat pedangmu!"

"Tapi, Tuan muda ...."

"Gwaenchanayo, kau tidak bisa menjadi prajurit hebat bila tidak berani menatap musuhmu!"

Hoo Yeon tersenyum getir begitu kilas balik masa lalu terbayang di benaknya. Hoo yeon tidak akan pernah melupakan kenangan tersebut.

"Hoo Yeon, kau dengar itu? Seperti suara ranting yang patah!

"Tuan muda, bagaimana bila rumor itu benar?"

"Rumor apa?"

"Ha-harimau gunung!"

"Harimau? Ah, itu bukan apa-apa! Kita ini calon prajurit istana! Tapi bila dipikir-pikir, sebaiknya kita ... LARI!"

Hoo Yeon mengadah. Tidak ada harimau gunung di waktu itu. Mereka hanya kejar-kejaran dengan bayangan masing-masing sampai terjungkal di lereng yang landai.

"Orabeoni! Hoo Yeon-ah! Apa yang sedang kalian lakukan?"

"Danui! Kenapa kau di sini! Bahaya, ada harimau!"

"Itu tidak mungkin. Aku mencari tanaman obat di tengah gunung sejak tadi. Aku keluar dari hutan setelah mendengar suara berisik dan melihat kalian berdua kejar-kejaran."

"Ya! Shim Danui! Rupanya kaulah harimau gunung itu!"

Bahu Hoo Yeon berguncang menahan geli, tetapi butiran bening di pelupuk matanya jatuh tanpa dapat dicegah. Hoo Yeon pun mengasihani diri. Entah ia sedang tertawa dalam tangis, atau menangis dalam tawa.

"Kau masih di sini rupanya."

Shaman Min yang baru kembali dari kuil menghampiri Hoo Yeon dan duduk di sebelah anak asuhnya. Wanita tersebut menatap sendu ketika mendapati Hoo Yeon diam-diam mengusap matanya dengan lengan baju. Meski memiliki kecakapan bela diri yang mumpuni, shaman Min tahu bila Hoo Yeon memiliki hati yang sangat sensitif akibat trauma masa kecilnya sebagai budak yang sering disiksa.

"Besok akan ada pengawal kerajaan yang berpatroli." Shaman Min menyentuh pundak Hoo Yeon. "Berhati-hatilah."

"Prajurit istana?" Hoo Yeon terkesiap. Tidak biasanya orang-orang istana berpatroli sampai ke daerah pinggiran. Biasanya hanya tentara penjaga perbatasan atau prajurit di Ogunyeong yang menyisir daerah-daerah terpencil untuk mengamankan negara. "Seperti apa pakaian mereka?"

Shaman Min terdiam beberapa lama. Sulit untuk menjelaskan visiun yang diterimanya lewat kata-kata. Pada akhirnya, ia menjawab dengan gelengan pelan. "Aku tidak bisa melihatnya secara jelas, tetapi mereka datang dari istana."

"Geuraeyo," gumam Hoo Yeon. Ia melirik shaman Min yang menatap bulan. "Bagaimana keadaannya? Bukankah kau bilang setelah tiga purnama terlewati dia akan sadar?"

"Setiap jiwa butuh waktu yang berbeda-beda untuk pulih." Shaman Min menengadahkan kedua tangannya. Ritual untuk meminta kesejahteraan kepada semesta telah dilakukan. "Sekarang kita hanya bisa berharap pada kekuasaan langit."

"Aku selalu tidak mengerti ini." Hoo Yeon menunduk, mengamati lencananya yang berkilauan sebelum memasukkan kepingan logam berlapis emas tersebut ke dalam saku. "Kenapa langit begitu kikir?"

"Hoo Yeon," tegur Shaman Min mengelus punggung tegap Hoo Yeon yang kali ini terasa begitu rapuh.

"Kau bisa mengetahui pengawal istana akan datang besok. Kau tahu kapan badai dan hujan akan turun. Tidak bisakah ...." Hoo Yeon menarik napas dalam-dalam. Hidungnya mendadak perih. "Tidak bisakah kau melihat peristiwa itu sebelumnya? Tidak bisakah kau mencegahnya agar tidak terjadi?"

"Kekuatan takdir tidak bisa dilawan." Shaman Min mengeraskan rahang. "Di suatu malam saat aku terjaga, mungkin aku tahu bila akan ada jiwa yang pergi saat matahari terbit esok hari. Namun, aku tidak tahu dan tidak bia mencegah itu agar tidak terjadi."

"Lalu untuk apa kau memperingatiku akan para pengawal istana itu?" Hoo Yeon berdiri. "Bila aku ditakdirkan mati, aku akan mati bagaimana pun caranya. Bukankah seperti itu maksud dari kata-katamu barusan?"

"Kendalikan dirimu, Hoo Yeon." Shaman Min menarik chima-nya sebelum berdiri. Ditatapnya Hoo Yeon lekat-lekat. Kobaran api yang terlihat di mata pemuda tersebut menggambarkan dendam yang membara. Shaman Min tidak ingin Hoo Yeon mengambil langkah yang salah karena dikuasai amarah. "Kau ingin menyalahkan takdir atau sedang menyesali keputusanmu?"

"Menyesali keputusanku?" Hoo Yeon mendengkus lalu mengeluarkan lencananya dari dalam saku. Medali yang dulu sangat dibanggakan olehnya itu sekarang tidak berarti apa-apa lagi. Hoo Yeon menggenggam lencana tersebut kuat-kuat sebelum melemparkannya ke sungai.

"Hoo Yeon-ah." Shaman Min tercekat, tetapi ia mengusahakan air mukanya tetap tenang ketika Hoo Yeon memutar badan.

"Shaman Min, satu-satunya yang kusesali dalam hidupku adalah karena aku tidak bisa mencegah peristiwa itu! Bila seandainya bukan karena janjiku, aku mungkin tidak akan berdiri di hadapanmu sekarang! Aku lebih memilih menebas diriku sendiri agar tidak terus menanggung perasaan ini!"" Hoo Yeon berujar getir dan berbalik meninggalkan shaman Min.

Shaman Min pun bungkam, membiarkan semilir angin meredakan ketengan di antara mereka. Baru setelah Hoo Yeon berada jauh beberapa langkah di depannya, ia pun berujar. "Suatu saat kau akan mengerti."

Hoo Yeon menahan langkah. Bahunya yang semula terangkat, turun perlahan-lahan. Ia meneruskan langkah menuju rumah sederhana yang mereka tinggali 3 bulan belakangan.

Shaman Min mengikuti dari belakang. Meski Hoo Yeon sedang tidak enak hati, shaman Min tahu pemuda tersebut sengaja berjalan pelan untuk memastikannya tidak tertinggal. Hoo Yeon memiliki perawakan yang tinggi dan tegap. Dengan postur tubuh demikian, pemuda tersebut tiba di rumah hanya dalam beberapa menit.

Ketika memasuki gerbang, Hoo Yeon sengaja berlama-lama melepas sepatunya di teras, hanya agar shaman Min masuk lebih dulu. Namun, belum sempat shaman Min menginjakkan kaki di tangga, pintu tiba-tiba bergeser dan terbuka.

"Seol Hee, ada apa?" Hoo Yeon memasang posisi siaga ketika adiknya keluar dengan ekspresi kaget bercampur senang.

"Seseummu-nim!" Seoul Hee berseru pada shaman Min kemudian berpaling pada Hoo Yeon. "Orabeoni!"

Shaman Min dan Hoo Yeon saling bertukar pandang.

"Agassi ... agassi sudah sadar!"

다음에

Minggu depan RL-ku pada jadi update hari ini. Penasaran bagaimana kehidupan Hana di zaman Joseon? Ikuti terus Joseon Witchdoctor. Love, Kirey ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro