Bab 8. Pilihan Terbaik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Secepatnya, Om. Kalau Om mengizinkan mungkin tahun depan." Evans menjawab dengan lancar, seolah-olah semua jawaban untuk pertanyaan yang akan ayah Adistia lontarkan sudah siap di kepalanya. 

Adistia yang mendengar itu sampai tertegun. Sekali lagi merasa sikap Evans ini terlihat nyata sekali.

"Kenapa harus tahun depan?" tanya Gunardi lagi sembari memerhatikan gesture Evans saat menjawab pertanyaannya. 

"Saat ini saya masih tinggal dengan ibu saya. Sudah ada rumah sendiri, tapi masih dalam tahap renovasi. Dan perkiraan jadinya adalah awal tahun depan." Evans menoleh sejenak untuk melempar senyum pada Adistia. Hal yang membuat orang tua di depannya merasakan kasih sayang yang begitu besar laki-laki itu tunjukkan untuk putrinya. 

"Rencana saya adalah langsung memboyong Adis ke rumah baru nanti selepas menikah, biar lebih leluasa untuk mengurus rumah tangga kami nantinya. Saya juga sudah menyiapkan tempat untuk Adistia menjalankan bisnis kuenya."

Adistia nyaris menangis karena terharu oleh jawaban itu. Andaikan ini adalah kenyataan, sungguh sangat membahagiakan untuknya.

Gunardi tampak mengangguk, wajah kakunya kini benar-benar melunak. Sepertinya hati laki-laki itu mulai luluh dan menyukai sosok Evans. 

"Udah, ini kok jadi kayak ajang interogasi. Mending kita makan saja, yuk! Tante tadi sudah masak sedikit untuk nyambut Nak Evans." Arumi lebih dulu bangkit.

"Jadi ngerepotin, Tante," ujar Evans basa-basi. 

"Nggak sama sekali, cuman masakan sederhana."

Evans tersenyum,  lalu ikut bangkit dari sofa ruang tamu setelah ayah Adistia beranjak dari tempatnya duduk.

"Mas Evans kenapa bisa lancar banget tadi jawabnya?" bisik Adisitia penasaran. Bahkan gadis itu sampai menahan lengan Evans agar menjawab pertanyaannya lebih dulu. Jangan sampai kedua orangtuanya mendengar.

"Pertanyaan seperti itu sangat umum. Aku, kan, juga pernah nemuin calon mertua dulu."

Jawaban yang sempat membuat Adistis kecewa, tetapi gadis itu tutupi dengan senyuman tipis. "Jadi yang rumah segala itu ngarang?"

"Tentu saja," jawab Evans singkat sembari tertawa kecil. Dan kekecewaan yang Adistia rasakan semakin bertambah saat sadar semua ini hanyalah sebatas sandiwara. Evans sepertinya lebih cocok menjadi aktor sinetron dibandingkan seorang pemilik kedai kopi. 

*

Selepas makan malam santai yang dibumbui obrolan ringan, Evans segera pamit undur diri karena hari memang sudah semakin larut.

"Aku pulang dulu," ujar Evans sebelum naik ke mobil, tidak lupa mengusap lembut kepala Adistia agar aktingnya lebih meyakinkan. Lalu kendaraan dengan roda empat itu pun menghilang membelah kegelapan malam. 

Adistia yang mendapat kelembutan Evans secara bertubi-tubi terus meyakinkan diri jika semua ini hanyalah sandiwara dan dia tidak boleh terlalu terlena. Meski berniat berjuang untuk menaklukkah hati Evans, tetapi kesadaran penuh jika hati laki-laki itu masih terkunci rapat harus tetap ditanamkan ke dalam kepalanya. 

"Udah ayo masuk! Ngapain bengong di situ?" Gunardi yang sejak tadi diam-diam mengintai interaksi antara anaknya juga Evans lalu melangkah masuk lebih dulu. 

Adistia yang sadar jika mobil Evans sudah tidak terlihat, seketika menggerakkan kakinya, menjajari langkah sang ayah. "Menurut Ayah gimana?" tanyanya penasaran. Ayahnya ini paling pintar menyembunyikan perasaan, jadi Adistia tidak bisa menebak apa yang ada di pikiran laki-laki ini 

"Gimana apanya?" Gunardi tentu saja hanya berpura-pura tidak paham. Tidak akan langsung mengakui jika hatinya telah melunak. Evans di matanya adalah pribadi yang baik, dan sikap yang ditunjukkan tadi tidak terkesan dibuat-buat. Akting Evans hari ini sungguh patut diacungi banyak jempol.

"Ya Mas Evans, dong, Yah. Ayah setuju nggak?" 

"Kalau nggak setuju?" Gunardi menyembunyikan senyum yang muncul saat melihat wajah panik putri bungsunya. 

"Ih Ayah, serius."

"Jadi dia itu beneran temennya Namira?" Pengalihan topik, laki-laki yang sudah penuh dengan uban di rambutnya itu juga ingin memastikan sekali lagi. Kalau perlu akan mengkonfirmasinya ke Namira langsung.

"Bukan temannya Namira, tapi temen tunangannya, Mas Arman."

"Apa yang kamu sukai dari Evans?" Gunardi duduk di ruang tengah, tempat biasa berkumpul dengan keluarga.

Adistia ikut duduk di samping ayahnya, lalu membayangkan wajah Evans saat mendapat pertanyaan seperti itu. "Karena dia ganteng," jawabnya sambil mengikik geli saat didengar ayahnya berdecak gemas. 

"Iya, iya, serius," katanya lagi. "Walaupun yang ganteng itu serius juga." 

"Bukan dari wajah yang Ayah maksud."

"Yang jelas karena dia baik, Yah. Udah gitu sabar, dan penyayang juga."

Diam-diam Gunardi mengulum senyum saat aura bahagia begitu tampak di wajah putrinya. Berbeda dari saat mendapat kabar perjodohannya dengan Bisma. Jadi sepertinya Evans ini memanglah pilihan terbaik untuk saat ini. 

"Sebenarnya Ayah masih ingin tahu lebih jauh tentang dia. Tapi sejauh ini yang Ayah lihat dia sepertinya memang laki-laki baik." 

"Jadi Ayah setuju?" tanya Adistia penuh semangat.

"Untuk sementara waktu, ya."

"Jadi perjodohanku sama Bisma?"

"Nanti Ayah bakalan ngomong sama Bisma soal ini. Mungkin kalian memang tidak berjodoh."

*

Adistia yang merasa senang karena pembatalan perjodohannya dengan Bisma akhirnya terlaksana segera menghubungi Evans. Di panggilan ketiga sambungan teleponnya diangkat. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. 

"Maaf Mas ganggu," ujar gadis itu saat sadar jika mungkin saja Evans sudah beristirahat. 

"Santai saja, kedai tutup jam 12 lewat kalau akhir pekan." Terdengar suara senyum saat Evans mengatakan itu. Adistia bahkan bisa membayangkan bagaimana wajah Evans saat ini. 

"Ada apa? Kayaknya seneng banget." Pertanyaan itu menghilangkan bayangan Evans yang tengah tersenyum di langit-langit kamar. Adistia mengubah posisi telentangnya menjadi duduk di atas kasur.

"Ayah setuju sama Mas Evans  terus bakalan batalin perjodohanku dengan Bisma."

"Oh, ya?" 

Adistia mengangguk, lalu saat sadar Evans tidak melihat gerakan kepalanya lantas gadis itu berujar, "Beneran. Mas Evans pinter banget ngambil hati ayahku."

Terdengar tawa lembut, di ujung mata Evans pasti terlihat kerutan saat ini. "Aku cuman berperilaku ala kadarnya. Nggak berlebihan yang penting."

"Terima kasih, ya, Mas. Berkat Mas Evans akhirnya aku terlepas dari perjodohan itu " ujar Adistia tulus. Dalam hati berharap jodoh yang Tuhan catat di atas sana adalah nama Evans. 

"Sama-sama, berarti tinggal dari pihakku yang perlu diyakinkan."

"Oke, Mas atur aja kapan waktunya."

"Oke, aku tutup dulu, ya, Dis. Kamu istirahat. Semoga mimpi indah karena yang membuat pusing sudah selesai," ujar Evans membuat hati Adistia langsung meleleh. Padahal kalimat yang diucapkan dibarengi dengan kekeh kecil, pertanda ada nada bercanda di sana.

"Iya, Mas Evans juga." Sambungan terputus, tetapi senyum masih terpatri jelas di bibir Adistia yang langsung menyembunyikan wajah memerahnya ke bantal. 

"Ya Tuhan, andai ini nyata!" Teriaknya tertahan karena suaranya teredam bantal. Tidak masalah jika memang ini hanya kebahagiaan semu. Siapa tahu apa yang berawal dari pura-pura ini nantinya akan menjadi nyata. Namun kebahagiaan yang Adistia rasakan hingga pagi menjelang harus sirna sejenak oleh kedatangan tamu tak diundang keesokan harinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro