Bab 9. Sedikit Debar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mau ngapain?" tanya Adistia sinis pada laki-laki di depannya. Kemunculan sosok Bisma hanya merusak mood baik yang tengah dirasakannya. 

"Boleh ngobrol sebentar?" Bisma tersenyum tipis, sudah mulai terbiasa dengan sikap ketus yang Adistia berikan. 

"Di luar aja." Adistia melangkah ke luar sembari menutup pintu. Ayah dan bundanya sudah berangkat ke sekolah juga kampus tempat masing-masing mengajar. Heran juga kenapa laki-laki yang  sudah duduk di salah satu bangku teras ini masih terlihat santai. 

"Jangan lama-lama, aku udah buka tepung buat bikin adonan," ujar Adistia lagi setelah duduk di kursi seberang Bisma. Ada meja yang kini menjadi pembatas bagi keduanya. 

"Tadi pagi Ayah kamu telpon." Adistia diam mendengar sembari memainkan ujung apron yang dikenakannya. Dalam hati menebak-nebak pembahasan yang akan Bisma bangun. 

"Beliau bilang kalau nggak bisa maksa kamu dan nyerah sama perjodohan kita. Juga minta aku buat mundur karena kamu terlihat sudah menemukan orang yang tepat." Bisma mengatakan kalimat itu sembari menatap wajah gadis di sampingnya, Adistia sama sekali tidak mau menatapnya saat ini.

Adistia diam-diam mengulum senyum, tidak menyangka ayahnya akan berbicara secepat ini dengan Bisma. Dan juga meminta langsung laki-laki ini untuk mundur karena sudah mengakui perasaan Evans. 

"Tapi aku belum bisa mundur, Dis." Adistia menoleh untuk menatap wajah Bisma saat kalimat itu meluncur. 

"Tolong kasih aku kesempatan satu kali lagi buat bisa buktiin kalau aku bukan lagi orang yang sama seperti dulu." Bisma terlihat tulus saat mengatakan itu, tetapi sayang hati Adistia sama sekali tidak bergetar. 

"Sekali lagi maaf, Kak. Aku nggak bisa," ujar Adistia pelan, tetapi penuh dengan ketegasan. "Kakak sudah berubah, hati aku pun sudah berubah. Nggak ada lagi tempat buat Kakak, jadi aku nggak mau Kakak kecewa semakin dalam dengan kesempatan semu yang akhirnya nggak akan berujung ke mana pun."

"Tapi, Dis—"

"Please, Kak. Hargain keputusan aku," potong Adistia cepat. "Bahkan ayah pun sudah setuju dengan pilihan aku yang baru. Jadi aku harap Kakak juga bisa cari yang lain, masih banyak diluaran sana yang lebih baik dari aku. Kenapa Kakak nggak coba sama Adel?"

"Kamu cemburu sama Adel?"

Adistia yang sudah berniat bangkit urung, matanya kembali bergerak untuk menatap Bisma. Senyum hambar serta dengkusan sinis gadis itu tunjukkan untuk mengisyaratkan pada Bisma jika pertanyaan yang diajukan itu sangatlah konyol. 

"Aku beneran nggak peduli Kakak mau berhubungan dengan gadis mana pun, termasuk juga Adel. Jadi aku mohon Kakak berhenti, dan jangan pernah gangguin hidup aku lagi." Kali ini Adistia benar-benar bangkit dari kursinya, masuk ke rumah, dan cepat-cepat menguncinya. Benar-benar tidak lagi memberi kesempatan Bisma untuk berbicara. Hanya bisa berharap laki-laki itu akan mengerti dan segera menjauh darinya.

Melangkah ke dapur, Adistia bergegas untuk mengolah adonan kue yang sudah disiapkannya. Bukan hanya untuk pelanggan, tetapi dia juga akan membuat kue untuk mama Evans. Semoga saja ini bisa menjadi nilai plus dirinya di hadapan calon mertua. Adistia mengikik geli dalam hati saat kata ibu mertua melintas di kepalanya. Sekali lagi berandai-andai jika semua ini adalah kenyataan. 

*

Malam harinya Evans membawa Adistia untuk bertemu dengan sang mama seperti yang sudah mereka sepakati. Malam itu tanpa direncana keduanya mengenakan pakaian dengan warna sama yang cukup serasi saat dilihat. Evans mengenakan kemeja biru polos dengan lengan pendek. Sementara Adistia mengenakan dress biru dengan motif kotak kecil sepanjang lutut. Hal yang terus membuat senyum gadis itu merekah karena mereka terlihat begitu serasi di matanya. Semoga di mata mama Evans mereka juga merupakan pasangan yang serasi. 

"Gugup?" tanya Evans saat keduanya sampai di pelataran rumahnya, dan melihat Adistia terus menarik dan mengembuskan napas. 

Adistia mendongak untuk menatap wajah Evans yang terasa menjulang di sampingnya, lalu gadis itu mengangguk dengan ringisan tipis sebagai jawaban. Ini adalah pertama kalinya dia dibawa pulang oleh laki-laki ke rumah, dan langsung diperkenalkan pada orang tuanya. Yah, meski dalam status pura-pura, tetapi rasanya tetap saja mendebarkan. Evans sempat memberi informasi jika yang akan menemuinya nanti hanya sang mama karena papanya sudah meninggal dari 12 tahun yang lalu. Harusnya hal itu mampu mengurangi rasa gugup yang Adistia rasakan karena yang ditemuinya hanya satu orang.

"Santai saja, mamaku orangnya mirip-mirip sama bunda kamu." Evans lalu mengulurkan tangan untuk menggandeng jemari Adistia yang terasa dingin, gadis itu terlihat cantik dengan penampilan femininnya. Penampilan Adistia malam ini sedikit banyak mengingatkannya pada Mutia yang senang sekali mengenakan dress simple seperti yang kini Adistia kenakan. 

"Beneran, kan, nggak galak?" tanya Adistia melupakan debar saat tangannya digandeng oleh Evans. Kegugupan untuk menghadapi calon ibu mertua palsunya lebih mendebarkan, atau karena gandengan tangan ini sudah dirasakannya untuk kedua kali jadi dia mulai terbiasa? Entahlah. 

Evans tertawa kecil sebagai tanggapan untuk pertanyaan polos yang Adistia ajukan. "Yang jelas nggak kayak ibu mertua di sinetron."

Adistia ikut tertawa kecil, lalu keduanya segera melangkah masuk ke rumah dengan bangunan dua lantai yang bentuknya lebih mewah dari rumah milik Adistia. Bahkan halaman tempat memarkir mobil juga sangat luas, berbeda dengan rumah Adistia yang hanya muat untuk memarkir satu mobil. Dari segi ekonomi, sepertinya Evans memang orang yang lumayan berada meski tidak bisa dikatakan kaya raya. 

*

Sambutan baik benar-benar Adistia terima dari mama Evans yang mengenalkan diri dengan nama Nawitri. Bukan hanya namanya yang khas orang jawa, tetapi dari segi penampilan mama Evans sungguh menampilkan wanita jawa sesungguhnya. Rambut yang entah panjangnya seberapa itu disanggul rapi seperti yang sering Adistia lihat jika pulang kampung ke tempat ayahnya di Jogja. Wajah mama Evans memancarkan aura lembut keibuan. Benar kata Evans, mama laki-laki ini sedikit banyak terlihat seperti bundanya. 

"Jangan sungkan, Adis, anggap saja rumah sendiri," ujar Nawitri saat melihat Adistia sedikit gugup. 

"Iya, Tante."

"Panggil saja Mama." Adistia nyaris tersedak ludahnya sendiri saat mendengar perintah dengan nada biasa itu. Bukan hanya Adistia, Evans pun terlihat cukup terkejut. Dari sini saja dia sudah yakin jika mamanya menyukai Adistia. 

"I-iya, Ma." Adistia tersenyum penuh haru, sepertinya peran sebagai calon menantu malam ini akan terasa lebih nyata. 

"Adis lagi buka usaha kue?" Mama Evans menunjuk kue lapis legit yang Adistia bawakan, tadi Evans mengatakan jika kue itu adalah buatan Adistia sendiri. 

"Ah, iya, Tan, eh Ma. Lagi buka usaha kecil-kecilan."

"Bagus dong, Mama juga ngerintis usaha pas seusia kamu. Kalau Mama dulu buka usaha katering. Masih jalan sampai sekarang, hanya saja sekarang dikelola sama kakak iparnya Evans karena tenaga Mama udah nggak kuat." Evans memiliki satu kakak laki-laki yang sudah menikah. 

Adistia tersenyum, merasa sangat senang dengan interaksi santai yang mama Evans bangun untuknya. Cara mama Evans berbicara ini sepertinya menurun ke anak laki-lakinya yang kini tengah menerima telepon di luar. Baru saja Adistia ingin membuka mulut untuk bertanya tentang bisnis yang dulu mama Evans geluti seorang bocah kecil tiba-tiba muncul. Usianya kira-kira 5 tahun. Adistia tebak itu adalah keponakan Evans yang katanya memang sering menginap di rumah ini karena rumah kakak Evans masih berada di kawasan komplek yang sama. 

"Uti! Aku bisa!" teriak anak laki-laki yang sudah mengenakan piyama itu sembari berlari ke arah mama Evans, lalu menunjukkan sebuah puzzle binatang yang baru saja dikerjakannya. 

"Wah, Kenzo pinter, ya," ujar mama Evans sembari mengusap lembut rambut cucunya. "Oh, ya, salim dulu sama Tante Adis."

Adistia segera melebarkan senyum saat Kenzo mengalihkan pandang ke arahnya. Mendekati anak kecil bukan sesuatu yang sulit untuknya. 

"Halo Kenzo. Itu apa? Tante boleh lihat?" Adistia berlutut saat dengan malu-malu Kenzo melangkah mendekat, mencium punggung tangan, lalu menunjukkan mainan di tangannya. 

"Wah, Kenzo pinter banget, ini Tante aja belum tentu bisa." Dalam hitungan detik Adistia berhasil membuat Kenzo mau berinteraksi dengannya. Hal yang diam-diam diperhatikan Evans dari tempatnya kini menerima telepon. 

Laki-laki itu tanpa sadar menyimpulkan senyum penuh kekaguman. Sebentuk senyum yang sudah lama sekali tidak pernah diberikannya untuk gadis mana pun. Apalagi saat Adistia menarik bibirnya dan terlihat gigi gingsulnya itu, entah kenapa Evans merasa ada sedikit debar yang dia rasakan di hatinya. Hanya sedikit, dan laki-laki itu coba abaikan apa artinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro