Bagian 15: Jawaban Alin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aula SMA Negeri 1 Petanjungan terletak di seberang jalan, di depan kompleks gedung utama sekolah. Di sebelah aula, ada tiga set lapangan voli dan satu lapangan basket, sedangkan di belakangnya terdapat hamparan sawah yang membentang hingga ke kota tetangga.

Di luar aula, kompetisi bola voli dan basket antarkelas sedang berlangsung. Sementara itu, di dalam aula akan ada acara debat calon ketua OSIS. Para siswa pendukung kedua belah pihak tampak ramai memadati aula, khususnya pendukung Rendy. Seruan, "Rendy! Rendy!" terdengar sampai ke seberang jalan.

Siswa-siswa berjiwa bisnis tinggi memanfaatkan kesempatan ini dengan membuka lapak jajan dan minuman. Ada pula yang menjadi pedagang asongan. Beberapa cowok menjajakan cangcimen dan aksesoris murahan sambil berteriak, "Sayang kakak, sayang kakak," di depan kakak kelas cantik yang lewat.

Aku terjebak bersama Red untuk meliput debat calon ketua OSIS. Saat kami hendak ke dalam, ada sedikit ketegangan di depan pintu masuk aula.

"Maaf, Kak, selain siswa Smansa dilarang masuk," kata cowok berseragam OSIS dengan setelan jas hitam pada gerombolan berjaket pink. Jas hitam adalah seragam pengurus OSIS Smansa.

"Eh, Bacot! Kita 'kan pernah jadi siswa sini juga! Minggir!" bentak Suketi. Komplotannya turut memprotes.

Beberapa pengurus OSIS yang menjaga pintu masuk tampak kewalahan menghadapi protes dari gerombolan tersebut. Untungnya Pak Sanusi—guru olahraga kami—segera datang dan menyuruh mereka pergi.

Usai masuk, Red dan aku mengambil posisi di depan kerumunan—sekitar sepuluh meter di depan panggung. Rendy dan Ivan sudah bersiap-siap di atas panggung. Kulihat sekelilingku. Ada beberapa anggota Klub Jurik selain kami berdua. Ada Feli, Lilis, Mas Salah, Mbak Wan, dan ada Alin juga. Kukira dia tak tertarik dengan hal semacam ini.

"Aku merekam mereka, kau catat ringkasannya," kata Red padaku.

Kenapa harus mencatat kalau sudah ada rekaman? Merepotkan saja.

Sebenarnya aku ingin bilang begitu, tapi aku sedang malas berdebat. Akhirnya aku tetap mengambil buku dan alat tulisku.

Tak lama kemudian, datang dua orang—cewek dan cowok—sambil membawa mikrofon. Cowok-cowok di sekitarku langsung bergemuruh. Mereka antusias menyambut cewek yang baru saja naik panggung. Cewek itu pun tersenyum dan melambaikan tangan. Rambut panjangnya dihiasi pita merah polkadot bak kado ulang tahun. Wajahnya putih, matanya lebar, mukanya polos dan cenderung kekanak-kanakan. Tubuhnya pendek, tetapi kakinya jenjang mirip artis JAV. Ia mengenakan baju putih berlengan panjang dan rok merah berlipat-lipat. Tinggi stocking-nya sedikit di atas lutut. Sepintas, kupikir ia anak SD. Namun seandainya ada anak SD dengan dada dan pinggul seseksi dia, mungkin bakal muncul banyak pedofil di kota ini.

Sementara itu, cowok di sebelahnya memakai peci hitam, baju koko putih, dan celana hitam. Sangat kontras dengan pasangannya.

"Apa kabar semuanya!!!" seru cewek itu sambil mengangkat satu tangannya. Ucapannya disambut meriah oleh siswa-siswa di ruangan ini.

Keramaian di sini lambat laun membuatku lelah. Sebagai seorang introver, energiku cepat terkuras dalam situasi begini.

"Saya, Poppy Puspitasari," ucap cewek itu.

"Dan saya, Mustafa Kepret," sahut si cowok.

"Kami berdua akan memandu jalannya acara debat pemilos tahun ini," sambung mereka secara bersamaan. "Selamat menyaksikan!"

Red bilang Poppy adalah siswi kelas X-9, anggota klub drama, dan sepupu Rendy, sedangkan Mustafa Kepret adalah siswa kelas XI IPA 3 dan ketua ekskul rebana. Kata Red, nama aslinya Mustafa Kemal. 'Kepret' adalah julukannya karena kepretan (baca: tabuhan) rebananya telah membawa ekskul rebana Smansa juara tingkat provinsi.

Sesi pertama adalah orasi. Tiap-tiap calon dipersilakan untuk berpidato selama lima belas menit, dimulai dari peserta nomor urut satu, Rendy Prakoso.

Rendy mengambil alih mikrofon disertai tepuk tangan meriah para penonton. Tubuhnya kurus mirip Red dan aku. Tipikal kutu buku. Bedanya, ia punya karisma yang tak kami miliki. Setiap ia menyapa penonton, cewek-cewek di sekitarku histeris mirip orang kesurupan. Saat ia mulai berpidato, semua orang terdiam. Seluruh perhatian terpusat ke arahnya. Aku yakin kalau aku atau Red yang bicara di atas sana, pedagang cangcimen bakalan laris. Semuanya ingin melempari kami dengan kulit kacang.

Pidatonya lancar tanpa cacat. Terlalu sempurna. Membosankan. Krik. Yang menarik cuma gerak-gerik tangannya yang tak bisa diam. Setiap dasinya turun sedikit, ia segera menaikkannya. Saat sabuknya agak mengsol, ia langsung membetulkannya. Kadang ia bahkan menyisir rambutnya di sela-sela pidato. Padahal rambutnya sudah mengeras gara-gara kebanyakan pomade.

Saat aku mulai mengantuk, Rendy mengucapkan hal yang membuatku terjaga.

"Kemarin saya mendapat keluhan dari beberapa guru. Mereka bilang prestasi sekolah kita menurun selama setahun terakhir. Kita mungkin masih berjaya di tingkat eks-karesidenan, tetapi kita tak pernah punya kesempatan saat masuk tingkat provinsi. Bahkan sekarang Smanda (SMA Negeri 2 Petanjungan) makin mendekati perolehan prestasi kita. Kalau begini terus, jangankan bisa berjaya di tingkat provinsi, di kota sendiri saja masih terseok-seok. Kita sebenarnya tak kekurangan bakat, tapi kenapa kita kalah bersaing dengan kota-kota lain?

"Masalah utama kita adalah anggaran. Bukannya kita kekurangan anggaran, hanya anggaran yang dikeluarkan untuk mendanai klub-klub ekskul masih belum tepat sasaran. Masih ada klub-klub yang tidak dapat mengelola keuangan dan kegiatannya dengan baik meski sudah diberi amanah. Saya tidak perlu menyebut klub yang mana, sebab saya yakin kalian sudah tahu jawabannya."

Para penonton tertawa terbahak-bahak kecuali beberapa anggota Klub Jurik. Di atas panggung, wajah Ivan tampak masam.

"Karena itu, apabila saya terpilih nanti, saya akan mengawasi anggaran dengan lebih ketat. Hanya ekskul yang bisa memberikan prestasi membanggakan bagi sekolah yang bisa bertahan. Mungkin ini akan mengorbankan beberapa klub, tetapi jika demi memajukan sekolah, kenapa tidak? Saya sering mendengar kabar miring dari sekolah lain tentang ulah anggota klub yang tak bertanggung jawab. Saya yakin kalian sudah muak, 'kan?"

"Setuju!!!" seru beberapa penonton. Kemudian yang lainnya ikut-ikutan bersorak, "Rendy! Rendy! Rendy!"

Sorak-sorai orang-orang yang hadir di sini semakin bergemuruh saat Rendy mengakhiri pidatonya. Penonton netral yang tak membawa embel-embel dukungan untuk Rendy pun ikut bertepuk tangan. Saking ramainya, saat Ivan mulai membacakan pidatonya, masih terdengar bisik-bisik di sekitarku.

"Eh, klub yang Rendy maksud itu Klub Jurik, 'kan?"

"Emang klub yang mana lagi?"

"Mereka cuma memakai dana sekolah buat foya-foya. Apa gunanya dipertahankan?"

"Ketuanya aja payah, apalagi anggotanya."

"Pidato aja harus baca. Kayak Kak Rendy dong, spontan. Itu baru namanya calon pemimpin."

"Orang kayak 'gitu kok mau lawan Rendy."

Jika tadi aku bosan karena semuanya diam, sekarang telingaku berdengung karena semuanya bicara. Aku tak bisa berkonsentrasi mendengarkan pidato Ivan gara-gara mereka.

Begitu Ivan selesai membacakan pidatonya, hanya sedikit orang yang bersorak menyemangatinya. Mereka adalah Lilis, Feli, dan beberapa kakak kelas. Mungkin mereka teman sekelasnya.

Sesi kedua adalah sesi tanya jawab. Tiap-tiap calon memberikan pertanyaan pada calon lainnya, kemudian jawaban lawan bisa disanggah kembali. Dengan kata lain, ini adalah sesi debat yang sesungguhnya.

Perdebatan berlangsung sengit. Tak ada yang mau mengalah. Akan tetapi, Rendy memiliki keuntungan yang tak dimiliki Ivan. Sebagian besar penonton mendukung pendapatnya. Sebaliknya, saat Ivan berpendapat, banyak yang mencemoohnya—tak peduli itu pendapat yang bagus atau jelek.

Dalam keadaan terpojok, Ivan berkata pada penonton, "Saya akui Rendy memang hebat, cerdas, dan bla-bla-bla. Tapi kalian jangan lupa bahwa Rendy pernah dituntut atas tuduhan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap mantan ketua klub kami, Kak Ratna. Dia juga dikenal sering gonta-ganti pacar, yang menandakan bahwa dia cenderung tak setia." Ivan lalu beralih ke arah Rendy. "Bagaimana pendapatmu soal itu?"

"Ratna, huh?" Rendy terdiam sejenak. "Dia ... gadis yang sempurna. Cara dia bicara, tersenyum, dan tertawa, sampai sekarang aku masih belum dapat melupakannya. Saat ia berkata ingin menjadi pacarku, rasanya seperti mimpi. Yah, walaupun sebentar ..." Rendy tampak mengusap air matanya dengan jarinya. "... saat-saat bersamanya adalah saat-saat terindah dalam hidupku."

Para pendukung Rendy pun meneriaki Ivan.

"Kak Rendy udah terbukti nggak bersalah, Bego!"

"Nggak usah mengungkit-ungkit cerita lama!"

"Kalau mau debat, pakai argumen yang relevan dong. Dasar payah!"

"Huuu!!!"

"Para penonton harap tenang," ucap Mustafa Kepret. "Silakan, Rendy, apa masih ada yang perlu ditambahkan?"

"Ah, ya," kata Rendy sambil terisak. "Soal saya yang gonta-ganti pacar ... saya mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk mantan-mantan saya. Sepeninggal Ratna, saya tak bisa berhenti memikirkannya. Saya kira dengan berpacaran dengan gadis lain, saya bisa melupakannya. Ternyata saya salah. Saat terakhir saya berpacaran, saya akhirnya sadar bahwa Ratna adalah sosok yang tak tergantikan. Saya merasa saya tak bisa membahagiakan mereka jika saya terus-terusan memikirkan Ratna. Oleh sebab itu, saat ini saya memutuskan untuk tidak berpacaran."

Ucapan Rendy sepertinya mendapatkan simpati dari para penonton. Beberapa cewek bahkan ikut menangis mendengarkan ceritanya.

"Aw, So sweet ...."

"Jadi itu alasan dia nolak aku kemarin. Hiks. Harusnya aku sadar diri."

"Kak Rendy! Aku yakin Kakak bakal menemukan pengganti Kak Ratna!"

"Jangan sedih, Kak! Kami akan selalu mendukungmu!"

Di sisi lain, cemoohan terhadap Ivan terus berdatangan.

"Tuh dengerin!"

"Dasar cowok nggak berperasaan! Coba rasain kalau pacarmu diperkosa!"

"Kalau ngomong jangan asal njeplak dong! Dasar tukang gosip."

"Huuu!!!"

Sepertinya pemenang pemilos kali ini sudah jelas meskipun pemungutan suara belum dimulai.

"Ayo kita beri semangat pada Kak Rendy! Se-mang-ka! Semangat Kakak!"

Poppy ikut-ikutan mendukung Rendy. Padahal sebagai pembawa acara, seharusnya dia netral.

Kini giliran Rendy bertanya pada Ivan.

"Saya dengar kamu mengikuti pemilos di saat klubmu sedang dalam masa krisis. Apa kamu mau mengorbankan klub yang sudah membesarkan namamu agar bisa meraih jabatan yang lebih tinggi lagi?"

Riuh rendah penonton mengiringi pertanyaan Rendy. Mereka bilang: "Rasain!" "Makan tuh pertanyaan!" "Mampus!"

"Mengorbankan?" Ivan berkata sambil tersenyum. "Justru saya mau menyelamatkannya. Jika saya terpilih nanti, saya akan membuat klub Jurnalistik berjaya seperti saat Kak Ratna masih menjadi ketua kami, karena saat ini, kami memiliki titisan Kak Ratna."

"Hmm? Siapa itu?" tanya Rendy.

Ivan berjalan ke depan panggung dan turun menuju ke arah kerumunan penonton.

"Jika saya jadi ketua OSIS, saya akan mengangkat Alin Aurelina sebagai ketua klub Jurnalistik."

"Hah?!" Red menurunkan kameranya. Ia mengernyitkan dahi.

"Alin, jawabanmu?" tanya Ivan sembari menyodorkan mikrofon pada gadis di depannya.

"Kenapa enggak?" jawab Alin tanpa ragu.

"Haaahhh??!!"

Red makin gusar.

Alin naik ke panggung dengan percaya diri. Penampilannya rapi. Pita biru terikat di sisi kanan dan kiri rambutnya seperti biasa. Wajahnya putih bersih. Bekas tamparan dan air mata yang tadi kulihat telah tertutup make up.

Para penonton berbisik-bisik. Debat pemilos ini makin tidak masuk akal.

"Nama saya Alin, dan saya minta kalian yang bisik-bisik di belakang untuk diam. Kalau mau ngobrol, sana di luar! Dan tolong yang kerjanya cuma bisa mencemooh untuk keluar juga. Malu-maluin Smansa aja."

Heh. Benar-benar khas Alin. Sekali hentak semuanya langsung terdiam.

"Mohon maaf buat para MC, saya cuma mau ngomong sebentar kok. Sebenarnya banyak yang menggelitik pikiran saya, tapi saya cuma mau menggarisbawahi dua poin penting. Pertama, saya tidak setuju dengan pidato Kak Rendy. Menyingkirkan klub hanya karena tidak punya prestasi? Kayaknya kita perlu mendefinisikan apa yang Kak Rendy maksud dengan prestasi. Apakah piala? Piagam? Uang tunai? Mendapatkan juara? Kalau itu yang jadi ukuran, maka yang untung cuma klub-klub yang dibentuk khusus untuk berkompetisi, seperti klub olahraga dan seni. Itu bukan tujuan utama dari klub Jurnalistik. Kami cuma mau menyampaikan kebenaran, bukan mencari keuntungan atau prestasi seperti yang Kak Rendy katakan. Atau mungkin ..." Alin melirik ke arah Rendy, "Kakak sengaja ingin membubarkan kami?"

Rendy hanya tersenyum.

"Kedua, soal Kak Ivan. Aku nggak tahu kenapa kalian gemar mencaci orang tanpa tahu masalah yang sesungguhnya. Klub Jurik sekarang emang payah, bobrok, tidak enak dilihat, tapi apa Kak Ivan punya pilihan? Sejak Kak Ratna meninggal, cuma Kak Ivan yang tersisa di klub Jurnalistik. Pada dasarnya, dia memulai klub ini dari nol, dan kalian cuma bisa menghina! Asal kalian tahu, Kak Ivan lebih keren daripada orang yang ngakunya keren tapi cuma bisa mengandalkan harta orangtuanya. Aku heran. Banyak orang pintar di sekolah ini, tapi cuma sedikit yang benar-benar peka dan peduli."

Seisi ruangan bungkam. Wow. Aku bukannya tak setuju dengan pendapat Alin. Namun, ucapannya saat ini berbeda dengan ucapannya di ruang arsip Sabtu lalu. Sabtu lalu ia menganggap Ivan cuma menggunakan posisinya sebagai anak kepala sekolah agar bisa menjadi ketua OSIS, tapi sekarang ia bilang Ivan itu ... keren? Apa aku tidak salah dengar?

Setelah sempat hening, aula kembali bergemuruh. Tepuk tangan meriah menyertai kepergian Alin dari atas panggung. Tampaknya kata-kata frontalnya mendapatkan dukungan dari para penonton netral, khususnya cowok. Mereka berseru, "Alin! Alin! Alin!" mengalahkan suara pendukung Rendy dan Ivan.

Kalau tiba-tiba Alin diangkat jadi ketua OSIS, aku takkan terkejut.

Aku lebih khawatir pada kondisi kejiwaan Red.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro