Bagian 16: Noir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Debat calon ketua OSIS berakhir. Aku cepat-cepat kabur ke toilet, sedangkan Red sibuk mencari Ivan. Aku tak tahu apa yang akan ia lakukan. Mukanya mengerikan.

Usai buang hajat, kudengar ribut-ribut di luar toilet cewek. Tampaknya Feli tengah dikerumuni oleh gerombolan cewek berjaket pink.

"Aku bilang enggak ya enggak!" bentak Feli pada cewek-cewek di depannya.

"Tapi Kak, kami butuh bantuan Kakak," kata Suketi, cewek dengan rambut mirip rumput teki.

"Aku udah nggak main geng-gengan lagi. Kalian nggak kapok apa? Mau dipenjara lagi kayak tahun lalu?"

"Masalahnya gawat, Kak," balas Suketi. "Geng Tomcat makin kurang ajar. Anak-anak sering dilecehkan sama mereka. Banyak anggota kita yang keluar karena takut. Kami butuh Kakak untuk kembali menyatukan Pink Blazers!"

"Kita, kita, apaan kita-kita? Aku udah keluar! Aku mau jadi anak baik-baik sekarang. Paham?"

"Jadi Kakak masih punya rasa sama cowok cupu anaknya kepsek itu? Kak, sadar nggak sih? Dia udah membuang Kakak! Setelah semua yang Kakak lakukan buat dia, dia lebih milih cewek kelas satu itu daripada Kakak!"

Feli terdiam beberapa saat.

"Berisik! Minggir!" bentaknya. Suaranya pecah.

Feli pergi meninggalkan mereka. Saat ia berpapasan denganku, matanya tampak sembab.

"Apa lihat-lihat?!"

Aku bersiul, pura-pura tidak melihat. Setelah Feli berlalu, aku kembali memandangnya. Ia berjalan terburu-buru sambil mencengkeram roknya seperti baru saja melihat gebetannya direbut oleh wanita lain.

Di dekat dinding nan sepi di samping aula, drama lainnya sedang terjadi.

"Apa yang Kakak lakukan pada Alin?!" tanya Red sambil mencengkeram kerah cowok berjambul di depannya.

"Apa maksudmu?" Ivan bertanya balik.

"Jangan pura-pura bego! Alin nggak mungkin menuruti permintaan cowok seperti Kakak! Kakak pasti sudah mengancam dia, 'kan?"

"Mahesa," Ivan balas mencengkeram lengan Red, "jangan menguji kesabaranku. Aku sudah muak dituduh macam-macam begini, tahu?"

Red tak gentar. Meski lebih pendek dan lebih kurus daripada Ivan, cowok berkacamata itu tetap berdiri tegak di hadapannya layaknya seekor kobra.

"Setop!"

Alin, cewek yang diperebutkan, muncul sebelum pertengkaran mereka berujung pada perkelahian.

Aku tetap bersembunyi di balik tembok.

"Eh, Alin," sapa Ivan pada gadis yang baru saja datang. Setelah lepas dari cengkeraman Red, Ivan merapikan baju dan jambulnya. Lalu ia memegang lengan Alin tanpa malu-malu.

"Kak, jangan macam-macam!" bentak Red sambil berusaha melepaskan genggaman Ivan dari lengan Alin.

"Lepasin nggak?" suruh Alin.

"Kak, dengerin kata dia. Lepasin!"

"Yang aku maksud itu kamu, Ca!" tegas Alin. "Udah marah-marah nggak jelas, nuduh orang tanpa bukti, maksudmu apa? hah!?"

Red melepaskan tangannya pelan-pelan. Sementara itu, Ivan tersenyum senang seolah berkata, "Aku menang."

Alin kemudian membiarkan tangan Ivan menggenggam lengannya.

"Mustahil ..." ucap Red dengan gemetar.

"Tidak ada yang mustahil di dunia ini, Mahesa," sahut Ivan tanpa menanggalkan senyumannya.

"T-tapi, Lin, kenapa kamu sama dia bisa .... K-k-kamu tahu 'kan dia 'gimana? Saat kamu susah payah membangun klub kembali, dia malah menghambur-hamburkan uang klub buat pesta! Dia cuma mau memanfaatkan kamu, Lin!"

Alin bergeming.

"Lin! Kenapa kamu nggak pernah mendengarkanku?! Selama ini ... selama ini kamu anggap aku ini apa, hah!?"

Suara Red makin serak seperti mau menangis. Sial. Aku makin tak tega melihatnya. Namun, aku harus melihatnya sampai akhir.

"Ca, kamu bener-bener mau tahu?" tanya Alin. "Nanti malam datang ke kafe Re:Noir. Aku nggak peduli kamu mau datang atau enggak, tapi mungkin itu kesempatan terakhirmu buat mendengarnya langsung dariku."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Alin pergi bersama Ivan. Kemudian aku menepuk pundak Red dari belakang.

"Kafe Re:Noir, huh? Tak jauh dari rumahku," ujarku.

"Kau melihatnya sejak tadi, 'kan?" tanya Red. Ia tak mau menatapku. "Kalau mau tertawa, silakan."

"Hei, aku yakin ini belum berakhir. Lihat sisi positifnya. Akhirnya kau bisa bercakap-cakap dengan Alin! Aku tak pernah melihatmu bicara begitu dengannya sejak kelas dua SMP."

"Grey, bicara sekali lagi kutonjok kau."

Tidak lucu? Ya sudah.

***

Sejak peristiwa di aula, Red tak mau bicara padaku. Yang ia lakukan hanya meringkuk di bangku kelas sambil memandangi jendela. Aku pun pulang meninggalkan Red sebelum KTS hari ini berakhir. Dia butuh waktu untuk berpikir.

Malamnya, sekitar pukul tujuh Red datang ke rumahku. Ia bicara. Ia memintaku menemaninya ke kafe yang Alin katakan. Aku tak punya pilihan. Kedua tangannya sepertinya sudah siap menghajarku jika aku melawan.

Kami tiba di kafe Re:Noir sekitar pukul setengah delapan. Bangunannya berbentuk balok dua lantai, dengan papan besar bertuliskan Re:Noir Cafe di depannya. Aku sering melewatinya saat SMP, tapi baru kali ini aku masuk ke sini.

Kenapa namanya Re:Noir ya? Mungkin ada hubungannya dengan warna dan pencahayaan yang dipilih di sini. Noir dalam bahasa Perancis berarti hitam. Sejak aku masuk gapura hingga tempat parkir, semuanya monokrom dan cenderung gelap. Kau mungkin berpikir, "Ya iyalah, sekarang 'kan malam." Namun, bukan itu yang kumaksud. Mulai dari tembok, pagar, hiasan dinding, cahaya lampu, semuanya berwarna hitam, putih, atau peralihan keduanya. Asal kau tahu, aku tidak buta warna. Akan tetapi, pemandangan di sekitarku tampak seperti pemandangan di layar televisi hitam putih tahun enam puluhan.

"Selamat malam, Kak. Selamat datang di Renoar Cafe."

Begitu aku membuka pintu masuk, kami disambut oleh suara sengau seorang resepsionis cantik berjilbab putih. Ia mengatupkan kedua tangannya sambil tersenyum padaku. Manis sekali. Kurasa usianya tak terpaut jauh denganku.

Aku mendengar suara hujan. Suaranya seperti siaran radio yang hanya bisa mengulang-ulang satu nada minor dari sebait tembang kenangan. Kuintip jendela yang tertutup tirai bambu. Di luar kering. Sepertinya suara itu berasal dari piringan hitam di samping sang resepsionis cantik. Aku baru tahu, di era serba digital ini, masih ada gramofon yang berfungsi.

Bahkan di dalam sini semuanya serba hitam putih. Lantainya hitam, langit-langitnya putih. Kursi, meja, semua perabot di sini berwarna hitam. Catnya tampak mengilap diterpa sinar beberapa lampu putih. Pelayannya memakai kemeja putih lengan panjang, rompi hitam, celemek putih, dan celana hitam. Hiasan di dinding kebanyakan berupa lukisan siluet dan foto hitam putih.

Selain baju pelanggan, satu-satunya yang tidak hitam putih di sini adalah baju gadis penyanyi kafe di panggung belakang sana. Ia mengenakan gaun satin merah kekurangan bahan yang tak mampu menutupi belahan dadanya. Rambutnya ia sampirkan di salah satu bahunya dan memanjang sampai perut. Ia tengah bernyanyi diiringi sekelompok cowok bertuksedo yang memainkan bas dan piano.

Bulu romaku berdiri. Suaranya begitu seksi sehingga aku tak kuasa menahan godaan untuk memandangnya lebih lama. Gadis itu berkedip padaku—atau cuma perasaanku saja? Dia dan lagu anehnya membuat suasana ruangan ini jadi tambah berat untuk cowok yang sedang patah hati. Kuharap Red tak kenapa-kenapa. Ia membisu sejak tadi.

"Mau pesan apa, Kak?" tanya sang resepsionis cantik. Di tanda pengenal bajunya tertera: Karina Ratnasari.

Karina memberiku daftar menu. Sepertinya aku harus memesan sesuatu dulu sebelum duduk.

Drinks:

1. Al Pacino Rp 15.000,-

2. Black Eye Rp 20.000,-

3. Dead Eye Rp 25.000,-

4. Ojo de dios Rp 30.000,-

5. Spencer Wolf Rp 35.000,-

....

What. The. Hell. Is. This? Apa ini benar-benar minuman? Kenapa ada nama aktor film mafia di sini? Selain itu, harganya sungguh mencekik kocek anak dengan ongkos pas-pasan sepertiku. Padahal ini baru minuman. Aku tak sanggup melihat menu makanannya.

"Dead Eye, hot," ucap Red. Matanya seolah turut menggambarkan nama minuman yang ia pesan.

Sekarang giliranku. Uh, apa tidak ada es tung-tung di sini? Aku pasti bakal ditertawakan oleh mbak-mbak resepsionis di depanku kalau bertanya begitu. Satu-satunya pilihan adalah menggunakan istilah seperti dalam menu.

"Cold Knocker, iced."

Karina tampak bingung. "Anu, maksud Kakak apa ya?"

Sial. Usahaku agar terlihat keren gagal.

"Emm ... es tung ... tung?"

Cewek resepsionis itu menutup mulutnya menahan tawa. Tingkat kekerenanku pasti turun beberapa derajat di matanya.

"Maaf, Kak. Di sini cuma menyediakan aneka macam kopi. Silakan pilih yang ada di daftar menu saja ya, Kak."

Aku pun membaca daftar menu lagi. Ada paket hotspot juga rupanya. Kalau ruangannya nyaman, mungkin kapan-kapan aku bisa internetan di sini.

"Lho, katanya cuma ada kopi. Kok ini ada Hot Cocoa? Itu 'kan cokelat, bukan kopi."

Karina menghela napas. Kali ini ia tampak agak memaksakan senyumnya.

"Jadi Kakak mau pesan itu?"

"Nope," kataku. Harganya masih kemahalan. Namun, aku tak mau martabatku di depan cewek ini jatuh lebih jauh lagi.

"Aku pesan Aqua Glass," ujarku, sambil memberi penekanan pada huruf G. "Kalian pasti punya, 'kan? Kalian tidak mungkin menyeduh kopi tanpa air."

Karina terdiam beberapa saat. Urat-urat di pelipisnya bermunculan. Ia tetap tersenyum, tetapi alisnya berkedut-kedut menahan kesal. Kuharap setelah ini ia tak berhenti bekerja gara-gara aku.

"Ada apa ini?"

Seorang cowok berpakaian pelayan mendatangiku dan Red. Ia lebih tinggi sekitar lima sampai sepuluh sentimeter di atasku. Gaya rambut emo-nya mengingatkanku pada mantan vokalis Kangen Band.

"Rin, kamu digangguin sama cowok ini?" tanya cowok yang baru saja datang. Ia lalu menatapku sambil mengacungkan gagang sapu.

Aku mengangkat tangan. "Santai, Mas. Saya cuma mau pesan, kok."

"Mas, Mas, aku ini cewek!" bentaknya sambil menonjolkan buah dadanya yang nyaris tak ada.

"Ups, maaf." Kukira cowok. Dia sama sekali tak tampak seperti cewek. Setelah melihat tanda pengenalnya, aku baru sadar. Kurasa tidak ada cowok bernama Gita Mariska Pratiwi.

"Dia bilang apa sama kamu?" tanya Gita pada Karina.

"Bukan apa-apa kok, Git," jawab Karina. "Cuma tadi Mas ini mau pesan akua gelas."

"Akua gelas? Heh."

Gita tersenyum mengejek. Memangnya ada yang salah dengan pesananku? Itu minuman sehat, kok.

"Eh, dia Red, uh—Mahesa Aruna, 'kan?" tanya Gita sambil menunjuk cowok di sampingku.

Red tetap bergeming.

"Kok Mbak tahu?" tanyaku balik.

"Ya iyalah. Siapa yang enggak tahu sama Red? Dia itu suka ngerusuh di grup angkatan dengan teori-teori konspirasinya. Mana kalo ngomong cerewet banget lagi," terangnya. "Eh, jangan panggil Mbak. Kita seangkatan."

"Lho? Jadi Mbak anak Smansa juga? Seangkatan dengan kami?"

"Jangan panggil Mbak, budek," hardiknya sambil menyodok perutku dengan gagang sapu. "Iya, aku anak kelas X-5. Karina juga."

Aku melirik ke gadis resepsionis berjilbab. Ia tersenyum tipis.

Sudah kuduga. Dia sebaya denganku.

"Kamu teman sebangku Red, 'kan? Namamu kalau nggak salah ...."

"Grey," balasku. Saat aku ingin menjabat tangannya, ia malah menyodoriku gagang sapu dan menjaga jarak dariku.

"Nggak usah deket-deket, situ aja."

Huh, tak seperti Karina, cewek bernama Gita ini sama sekali tidak ramah.

Lalu Gita berkata, "Eh, Red, udah ditunggu Alin tuh."

Tiba-tiba Red memegang pundak Gita. "Di mana dia?"

"Kya!" Gita melompat ke belakang. Teriakannya manis juga. "D-di atas. Ada Kak Ivan dan teman-temannya juga."

Red bergegas menaiki tangga.

"Dia kenapa sih?" tanya Gita padaku.

"Urusan cowok," balasku sambil segera menyusul Red ke lantai dua.

Lantai dua kafe terdiri atas dua bagian. Bagian pertama yang kulewati adalah sebuah balkon berisikan beberapa meja bundar. Dari sini tampak gugusan toko-toko dan jalan raya di depan kafe. Bagian kedua adalah ruangan eksklusif, hanya untuk reservasi. Aku mendengar tawa renyah beberapa cowok dari dalam sana.

"Demi kesuksesan calon ketua OSIS kita yang baru, mari bersulang buat Ivan dan Alin!" seru seorang cowok. Kemudian beberapa orang bersorak, "Cheers!" disertai denting gelas-gelas beradu.

"Akhirnya Ivan udah enggak jomblo lagi, saudara-saudara!" celetuk cowok lainnya. Ucapannya mengundang tawa rekan-rekannya.

"Cie dapet dedek gemes ciee ...."

"Enak di Ivan, enggak enak di Alin."

"Hahaha! Jangan 'gitu lah, kasihan. Cepet-cepet putus ya—eh!"

"Halah, ente juga sama aja, Ndul. Bilang aja pengen sama Alin juga."

Red menggigit bibirnya sampai berdarah. Lalu ia mendobrak pintu dengan kakinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro